69"Buatku?" tanyaku saat dia mengulurkan kotak berukuran sedang. "Iyalah. Masa buat Ijan," jawabnya sambil menaikkan alis. "Ulang tahunku masih lama." "Oh, nggak mau?" "Bercanda, Lea." Aku mencolek dagunya, tak peduli Aleea mendelik. "Boleh dibuka sekarang?" tanyaku. "Terserah." "Boleh nggak nih?" "Iya!" "Jangan marah-marah. Nanti banyak kerutan." "Kamu jangan ngoceh mulu!" Aku hendak menjawab, tetapi kemudian diurungkan karena melihatnya tengah mencebik. Terdorong rasa gemas, aku memajukan badan dan menempelkan hidung kami. Aleea menjewer telinga kanan, tak peduli aku meringis. "Jahil!" omelnya sambil mendorongku. "Gemes," sahutku sembari kembali mendekat dan kali ini menyambar bibirnya. Rasa manis dari pelembap bibirnya memancing gairahku kembali merangkak naik dengan tidak sopan. Aleea mengalungkan tangan di leher dan membuatku tak kuasa untuk menekan hasrat serta kian menempelkan tubuh kami. Aku tidak tahu berapa lama kami saling berpagutan, tetapi sebagai lelaki no
70Hari berganti menjadi minggu. Waktu bergulir hingga berubah bulan. Tibalah masanya mengurangi pertunjukan karena aku harus fokus pada ujian akhir semester. Jadwal tampil di kelab dan kafe benar-benar cuma satu hari, yaitu Jumat, Sabtu dan Minggu. Ketiga asisten pemilik kelab dan Mas Fa sepakat untuk meliburkanku selama beberapa hari, dan baru kembali bekerja penuh waktu seusai ujian. Hal itu kugunakan semaksimal mungkin belajar dan mendekati Humaira. Untunglah gadis berjilbab itu selalu senang hati mengajarkan pada teman-temannya yang berotak sedikit lemot.Senin siang seusai ujian hari pertama, aku dan beberapa sahabat berkumpul di rumahnya Humaira. Kafe ditutup sementara dan baru akan dibuka minggu depan. Hal itu sesuai kesepakatan bersama di mana kami harus fokus pada kegiatan kuliah dan menjadikan kafe sebagai aktivitas tambahan, bukan yang utama. "Ya, Allah. Kepalaku ngenyut lihat ini," keluh Ijan sembari menunjuk ke esai bahasa Mandarin yang harus kami kerjakan sebagai lati
71Akhirnya hari yang dinanti-nantikan pun tiba. Jumat sore, aku memacu motor menuju kelab Mas Benigno bersama Ijan. Sesampainya di tempat tujuan, Linda sudah menunggu dengan membawa kostum pesanan yang sengaja dibuat khusus di butik temannya Mbak Yeni. Aku membersihkan wajah dengan tisu basah di toilet, sebelum mengenakan setelan jas non formal biru pas badan. Ijan bersiul sambil mengacungkan jempol, sementara aku menyunggingkan senyuman kala bercermin. Setelahnya, kami keluar dari toilet dan menghampiri Linda yang tengah berias di belakang panggung bersama Mbak Gita dan Mas Jay. Ketiga orang tersebut kompak mengacungkan jempol sebagai tanda memuji. "Bagus, Ken. Nggak kayak jas bapak-bapak," tutur Mas Jay sambil memegangi bagian punggung tanganku. "Bahannya juga halus. Kayak jahitan mahal," sambungnya. "Iya, memang mahal. Aku ngebobol celengan demi beli ini," selorohku. "Nggak mungkin, gajimu nyanyi tiga tempat pasti banyak," sahut Mbak Gita yang membuatku terkekeh. "Ehh, iya, k
72Sabtu pagi ini, aku baru menginjakkan kaki di teras toko kue Mama ketika sebuah mobil sedan putih parkir dan membunyikan klakson. Aku terkejut saat menyadari bila itu adalah Mama Anita dan tentu saja putrinya. Aku menghentikan gerakan membuka pintu toko dan menghampiri untuk menyalami mereka. "Ken, kuenya udah siap?" tanya Mama Anita. "Kue apa, Ma? Ada mesan?" Aku balas bertanya karena memang merasa tidak dititipi orderan oleh beliau. "Belum sih. Tapi Mama baru ingat, hari ini diundang ke acara pengajian tetangga. Nggak bawa apa-apa, kan, nggak enak, lumayan bisa buat tambahan suguhan." "Oh, gitu. Ada, Ma. Lagi di-packing, bentar lagi Papa yang anter. Aku ke sini mau bersih-bersih." "Kubantuin," sahut Aleea. "Nggak usah, aku bisa sendiri. Kamu tunggu aja di dalam," tolakku. Aku membalikkan badan dan jalan ke teras, meneruskan membuka pintu toko serta mendorongnya lebar-lebar. Kemudian berpindah ke motor dan membuka ikatan pada keranjang, lalu mengangkut benda plastik biru ke
73Perjalanan menuju kafe sore ini terasa sangat cepat. Aku masih belum rela saat Aleea melepaskan dekapan dan turun dari motor. Setelah memasang standar, aku membuka helm dan mengaitkannya di bagian depan. Sementara Aleea meletakkan helmnya ke spion kanan. Aku melambaikan tangan untuk menyapa kedua petugas parkir yang membalas dengan hal serupa. Kemudian aku menggandeng Aleea dan melangkah bersisian memasuki ruangan kafe yang sudah ramai. "Kakak!" teriak seorang perempuan sambil melambaikan tangan. "Hai," balasku sembari menghampiri dan menyalaminya beserta teman-temannya. "Udah lama?" tanyaku basa-basi. "Belum, baru sepuluh menit," jawabnya. "Kakak konser jam berapa?" tanyanya sembari bersalaman dengan Aleea. "Jam setengah tujuh dimulainya." "Oke, kutunggu." "Udah pesan makanan?" "Iya, jangan lupa diskonnya, Kak. Kami ada delapan orang ini." "Sip. Nanti kukasih tau kasirnya." Gadis berbaju putih itu mengulaskan senyuman dan membuat tampilan wajahnya kian manis. Aku berpami
74Dering ponsel di pagi ini membuatku terkejut dan segera merogoh saku jaket jin biru untuk mengambil benda yang terus bergetar dan berbunyi itu. Mataku membulat saat melihat nama pemanggil. Dengan hati deg-degan aku menggeser tanda hijau pada layar sebelum menempelkannya ke telinga kanan. "Pagi, Mas," sapaku. "Pagi, Kenzo. Lagi di mana?" tanya orang di seberang telepon. "Di kampus.""Selesai kuliah jam berapa?" "Jam satu." "Oke, nanti langsung ke studio, ya. Ada yang harus kira bicarakan. Fa kasih tahu biar dampingin kamu." "Siap!" "Satu lagi, Ken." "Ya, Mas?" "Belikan saya cilok." Aku spontan tersenyum, kemudian menjawab, "Baik, Mas. Mau satu gerobak?" "Boleh, sekalian mamangnya dibeli." Tawaku meledak, demikian pula dengan Mas Benigno. Seusai tertawa beliau menutup sambungan telepon. Aku masih cengengesan sembari memasukkan ponsel ke tempat semula. Suara panggilan Sandy dari depan kelas membuatku tersadar dan segera menghampirinya. Sepanjang perkuliahan hari ini aku k
75"Pak Irawan, perkenalkan, ini Kenzo," ucap Mas Benigno saat aku menyalami seorang pria yang hampir sama tuanya dengan Pak Erwin. "Halo, Kenzo. Saya sudah melihat video penampilanmu di kelab dan kafe. Dan saya tertarik untuk memberikanmu kesempatan berkarir lebih tinggi," tutur Pak Irawan setelah berjabat tangan denganku. "Siap, Pak!" tegasku. "Tapi harus melewati beberapa seleksi. Pertama, saya ingin melihat penampilanmu tanpa audience dan hanya diiringi gitar. Kalau bisa, kamu main gitar sendiri beberapa lagu, selebihnya nanti manajermu yang mengiringi." "Baik. Sekarang, Pak?" "Enggak. Tahun depan." Kami serentak terkekeh. Kemudian Mas Benigno mengajakku dan Ijan serta Mas Fa ke ruangan lain. Mas Fa langsung menyambar gitar listrik dan menyetemnya. Sementara Ijan membantu Mas Fa mengatur volume alat pengeras suara. Semenjak menjadi asistenku, Ijan makin banyak kemajuan. Tanpa perlu diminta, sahabat yang sudah tidak terlalu kurus itu akan bergerak cepat membantu apa pun yang
76Jalan raya yang cukup padat di siang menjelang sore ini seakan-akan tidak mempengaruhi suasana hatiku yang tengah deg-degan karena akan tampil di hadapan para petinggi perusahaannya Pak Irawan. Mas Fa yang duduk di sebelah kiri berulang kali menepuk-nepuk punggung tanganku. Mungkin dia ingin menenangkan. Sementara Ijan yang duduk di samping kanan tampak serius berbalas pesan dengan teman-teman di kafe kecil kami. Suara Papa yang mengobrol bersama Aleaa sambil mengemudikan mobil SUV hitam yang baru dibeli seminggu lalu, nyaris tidak kudengarkan karena pikiran melayang tak tentu arah. Kala mobil berhenti di depan gerbang masuk sebuah gedung tinggi, aku menggeser tubuh ke kanan dan mengintip dari balik kaca. Ijan yang terpaksa memundurkan badan akhirnya mendorongku menjauh sambil menggerutu. Aku melirik sekilas padanya yang tengah merapikan jambulnya yang kian tinggi. Setelah mobil berhenti dan terparkir sempurna, kami turun dan serentak merapikan pakaian sebelum melangkah beririn