76Jalan raya yang cukup padat di siang menjelang sore ini seakan-akan tidak mempengaruhi suasana hatiku yang tengah deg-degan karena akan tampil di hadapan para petinggi perusahaannya Pak Irawan. Mas Fa yang duduk di sebelah kiri berulang kali menepuk-nepuk punggung tanganku. Mungkin dia ingin menenangkan. Sementara Ijan yang duduk di samping kanan tampak serius berbalas pesan dengan teman-teman di kafe kecil kami. Suara Papa yang mengobrol bersama Aleaa sambil mengemudikan mobil SUV hitam yang baru dibeli seminggu lalu, nyaris tidak kudengarkan karena pikiran melayang tak tentu arah. Kala mobil berhenti di depan gerbang masuk sebuah gedung tinggi, aku menggeser tubuh ke kanan dan mengintip dari balik kaca. Ijan yang terpaksa memundurkan badan akhirnya mendorongku menjauh sambil menggerutu. Aku melirik sekilas padanya yang tengah merapikan jambulnya yang kian tinggi. Setelah mobil berhenti dan terparkir sempurna, kami turun dan serentak merapikan pakaian sebelum melangkah beririn
77Semenjak hari itu, Mas Fa dan Mbak Yeni kian sibuk mengeksplorasi lagu-lagu yang bisa menjadi referensi buatku. Sementara Linda, Kak Carol dan Mas Mono kompak menciptakan gerakan tarian yang hampir setiap hari harus dihafal dan diamalkan saat pertunjukan di mana pun tempatnya. Sementara Aleea dan Mama sibuk merancang kostum yang akan kugunakan pada setiap pertunjukan. Sedangkan Ijan, Mas Steven dan Bang Ali bergantian menemaniku bila harus bekerja di kelab, karena Mas Fa sudah sibuk mengurusi berbagai keperluanku bersama Mas David. Malam ini, aku berangkat ke kelab bersama Papa dan Ijan. Aleea dan dua dayang-dayang sudah terlebih dahulu tiba. Mereka tengah berbincang dengan Mas David dan Mbak Gita saat aku, Papa dan Ijan menghampiri meja mereka. "Kami mendapat mandat dari Mas Ben, kamu malam ini tampil maksimal tiga kali, dengan delapan belas lagu," tutur Mbak Gita sembari memberikan buku catatan yang segera disalin Ijan ke buku kecilnya. "Kenapa, Mbak?" tanyaku. "Biasanya empa
78Tepat pukul 8 pagi aku sudah berada di tokonya Mama bersama Papa dan ketiga asisten. Kami berjibaku membereskan toko, kemudian Papa kembali ke rumah untuk membantu Mama mengantarkan pesanan ratusan kotak kue dan nasi lengkap untuk acara di kompleks sebelah. Aku diwajibkan ikut Papa mengantarkan pesanan. Sepanjang perjalanan kami membahas beberapa klausul kontrak yang sudah ditandatangani beliau dan akan kami serahkan kembali ke perusahaan Pak Irawan Senin nanti.Sepulangnya dari rumah pembeli, aku meminta berhenti di depan sebuah rumah toko. Papa melanjutkan perjalanan menuju rumah, sedangkan aku menunggu ojek online. Aku memasuki toko kecil tetapi lengkap itu dan membeli minuman dingin. Kemudian aku keluar dan duduk di bangku panjang di ujung kanan tempat parkir. Seorang pria yang sepertinya tidak terlalu jauh beda usianya denganku ikut duduk dan mengajak mengobrol. Sesuai tebakan awal, dia memang satu tahun lebih muda dariku, dan kini terpaksa bekerja sebagai tukang parkir untu
79Aleea tertawa dan memancingku melakukan hal serupa. Selama beberapa saat kami saling menatap, sebelum aku nekat memajukan badan dan mengecup kedua pipinya dengan cepat. "Kamu nih! Entar ada yang lihat," gerutunya. "Habisnya gemes," sahutku. "Kalau yang lihat itu Bibik atau Mama sih nggak apa-apa. Tapi kalau Papa yang lihat, habis kamu diomelin nanti." "Biarin deh. Siap lahir batin aku dimarahin papamu." "Sok berani. Entar pucat lagi mukamu." "Yaelah, masih ingat dia." Kami serentak mengulaskan senyuman. Kemudian pembicaraan berlanjut hingga terdengar suara azan asar. Aku berdiri dan mengajak Aleea ke dalam. Suasana di depan sudah sepi, demikian pula di ruang tengah. Aleea bertanya pada Bibik yang menjelaskan bila kedua orang tuanya sudah pergi bersama rekan-rekannya. Aleea mengantarkanku ke kamar mandi di dekat tangga. Saat aku keluar belasan menit berikutnya, Bibik mempersilakanku memasuki kamar tamu yang adem karena mesin penyejuk udara sudah dinyalakan. Aku mempercepat
80Waktu terus bergulir. Hari ini adalah untuk pertama kalinya aku melakukan rekaman. Deg-degan campur semangat mengisi relung hati sejak pagi hingga tiba waktunya yang dinanti-nanti. Aku berdiri menghadap mikrofon. Sebuah head set menutupi area telinga. Aku memandangi wajah orang-orang terkasih yang sengaja hadir untuk memberikan dukungan. Kala intro mengalun, aku memejamkan mata dan mengatur napas agar bisa lebih tenang sekaligus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Bait pertama dinyanyikan dengan mulus tanpa hambatan. Namun, pada bait kedua, suara Pak Salim terdengar setelah musik berhenti. Aku spontan membuka mata dan menatapnya saksama. Beliau terus berbicara hingga aku benar-benar paham dan mengacungkan jempol sebagai tanda menyetujui usulan beliau. Intro kembali mengalun dan aku memandangi teks lagu di tempat khusus. Kembali bait pertama dinyanyikan dan disusul bait kedua yang akhirnya sukses dilantunkan tanpa kesalahan. Satu demi satu bait berhasil terucap sempurna, kemudian
81Matahari sudah naik sepenggalah saat aku menumpang di motor tukang ojek. Perjalanan menuju rumah kali ini terasa sangat lambat karena lalu lintas padat. Kala tiba di perempatan jalan, barulah aku mengetahui penyebab keramaian itu. Dua mobil berbeda jenis tabrakan dan para korban tengah dievakuasi. Aku meringis saat melihat dua orang penumpang yang terjepit di bagian depan mobil. Aku tidak sanggup terus melihatnya dan memutuskan untuk mengalihkan pandangan ke kanan. Selain itu aku juga berdoa setulus hati agar tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut. Sesampainya di rumah, ternyata banyak ibu-ibu tetangga yang tengah berbincang di teras. Aku menyalami mereka satu per satu sebelum memasuki ruangan dan bergabung dengan kedua adikku yang tengah menonton film kartun. "Bang, lihat kecelakaan nggak?" tanya Kai di sela-sela mengunyah kue. "Iya, ada yang kejepit rangka mobil," jelasku dengan suara pelan agar tidak didengar Khanza. "Salah satu korbannya anak Pak RW." "Iyakah?" "
82Waktu terus bergulir. Setiap minggu aku harus rekaman pada akhir pekan. Selain karena waktunya lebih santai, hal itu juga sebagai ajang latihan tambahan lagu yang akan dilantunkan di kafe dan kedua kelab. Jadwal padat merayap membuatku kesulitan menghabiskan waktu bersama keluarga. Hanya pada hari Senin, barulah aku bisa bercengkerama dengan Kai dan Khanza. Seperti hari ini, seusai kuliah aku buru-buru pulang dengan membonceng Aleea yang ingin ikut jalan-jalan bersama keluargaku. Sesampainya di rumah, Mama meminta kami makan siang dan salat terlebih dahulu. Kemudian bersiap-siap berangkat menuju pusat perbelanjaan dengan menumpang di mobil Papa. "Kamu harus belajar nyetir, Ken," tutur Aleea, sesaat setelah kami berada di jalur utama kompleks. "Waktunya nggak ada, Lea. Bukannya nggak mau," sanggahku. "Iya, sih. Karena setelah ujian nanti, kamu harus promosi gencar dan kita semua sibuk," imbuh Aleea."Mas Fa lagi bikin jadwal anggota tim yang menemaniku nanti kalau harus melakuk
83"Aku nggak ngeh dia udah pulang," tuturku sebelum menyuapkan es krim ke mulut. "Aku ada dengar dari Mama, tapi nggak nanya-nanya. Nggak ada urusannya juga denganku," jawab Aleea. "Mama penasaran, Sarah ditinggal untuk kedua kalinya karena nggak direstui orang tuanya Ryan. Alasannya apa nggak direstui?" tanya Mama. "Dulu, Kang Ryan pernah cerita. Orang tuanya nggak mau punya menantu yang kehidupan strata sosialnya berbeda," terang Aleea. "Maksudnya lebih miskin, gitu?" sela Papa. "Iya, Pa. Mbak Sarah itu yatim. Dia sama kakaknya yang berjuang cari nafkah buat Ibu dan kedua adiknya. Sekarang Mbak Sarah sering sakit, adiknya, Mas Farhan yang sering bantu di kafe. Persiapan bantuin Kak Hasna kalau Mbak Sarah cuti," imbuhku. "Ya, Allah. Kasihannya, Sarah." Mama menggeleng pelan, kemudian berkata, "Tapi ini mungkin hukuman buatnya yang udah ngebohongin kamu, Lea. Harusnya mereka jangan selingkuh, dulu, mending ngaku ke keluarga biar Ryan nggak perlu nyakitin kamu juga." Aleea terd