79Aleea tertawa dan memancingku melakukan hal serupa. Selama beberapa saat kami saling menatap, sebelum aku nekat memajukan badan dan mengecup kedua pipinya dengan cepat. "Kamu nih! Entar ada yang lihat," gerutunya. "Habisnya gemes," sahutku. "Kalau yang lihat itu Bibik atau Mama sih nggak apa-apa. Tapi kalau Papa yang lihat, habis kamu diomelin nanti." "Biarin deh. Siap lahir batin aku dimarahin papamu." "Sok berani. Entar pucat lagi mukamu." "Yaelah, masih ingat dia." Kami serentak mengulaskan senyuman. Kemudian pembicaraan berlanjut hingga terdengar suara azan asar. Aku berdiri dan mengajak Aleea ke dalam. Suasana di depan sudah sepi, demikian pula di ruang tengah. Aleea bertanya pada Bibik yang menjelaskan bila kedua orang tuanya sudah pergi bersama rekan-rekannya. Aleea mengantarkanku ke kamar mandi di dekat tangga. Saat aku keluar belasan menit berikutnya, Bibik mempersilakanku memasuki kamar tamu yang adem karena mesin penyejuk udara sudah dinyalakan. Aku mempercepat
80Waktu terus bergulir. Hari ini adalah untuk pertama kalinya aku melakukan rekaman. Deg-degan campur semangat mengisi relung hati sejak pagi hingga tiba waktunya yang dinanti-nanti. Aku berdiri menghadap mikrofon. Sebuah head set menutupi area telinga. Aku memandangi wajah orang-orang terkasih yang sengaja hadir untuk memberikan dukungan. Kala intro mengalun, aku memejamkan mata dan mengatur napas agar bisa lebih tenang sekaligus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Bait pertama dinyanyikan dengan mulus tanpa hambatan. Namun, pada bait kedua, suara Pak Salim terdengar setelah musik berhenti. Aku spontan membuka mata dan menatapnya saksama. Beliau terus berbicara hingga aku benar-benar paham dan mengacungkan jempol sebagai tanda menyetujui usulan beliau. Intro kembali mengalun dan aku memandangi teks lagu di tempat khusus. Kembali bait pertama dinyanyikan dan disusul bait kedua yang akhirnya sukses dilantunkan tanpa kesalahan. Satu demi satu bait berhasil terucap sempurna, kemudian
81Matahari sudah naik sepenggalah saat aku menumpang di motor tukang ojek. Perjalanan menuju rumah kali ini terasa sangat lambat karena lalu lintas padat. Kala tiba di perempatan jalan, barulah aku mengetahui penyebab keramaian itu. Dua mobil berbeda jenis tabrakan dan para korban tengah dievakuasi. Aku meringis saat melihat dua orang penumpang yang terjepit di bagian depan mobil. Aku tidak sanggup terus melihatnya dan memutuskan untuk mengalihkan pandangan ke kanan. Selain itu aku juga berdoa setulus hati agar tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut. Sesampainya di rumah, ternyata banyak ibu-ibu tetangga yang tengah berbincang di teras. Aku menyalami mereka satu per satu sebelum memasuki ruangan dan bergabung dengan kedua adikku yang tengah menonton film kartun. "Bang, lihat kecelakaan nggak?" tanya Kai di sela-sela mengunyah kue. "Iya, ada yang kejepit rangka mobil," jelasku dengan suara pelan agar tidak didengar Khanza. "Salah satu korbannya anak Pak RW." "Iyakah?" "
82Waktu terus bergulir. Setiap minggu aku harus rekaman pada akhir pekan. Selain karena waktunya lebih santai, hal itu juga sebagai ajang latihan tambahan lagu yang akan dilantunkan di kafe dan kedua kelab. Jadwal padat merayap membuatku kesulitan menghabiskan waktu bersama keluarga. Hanya pada hari Senin, barulah aku bisa bercengkerama dengan Kai dan Khanza. Seperti hari ini, seusai kuliah aku buru-buru pulang dengan membonceng Aleea yang ingin ikut jalan-jalan bersama keluargaku. Sesampainya di rumah, Mama meminta kami makan siang dan salat terlebih dahulu. Kemudian bersiap-siap berangkat menuju pusat perbelanjaan dengan menumpang di mobil Papa. "Kamu harus belajar nyetir, Ken," tutur Aleea, sesaat setelah kami berada di jalur utama kompleks. "Waktunya nggak ada, Lea. Bukannya nggak mau," sanggahku. "Iya, sih. Karena setelah ujian nanti, kamu harus promosi gencar dan kita semua sibuk," imbuh Aleea."Mas Fa lagi bikin jadwal anggota tim yang menemaniku nanti kalau harus melakuk
83"Aku nggak ngeh dia udah pulang," tuturku sebelum menyuapkan es krim ke mulut. "Aku ada dengar dari Mama, tapi nggak nanya-nanya. Nggak ada urusannya juga denganku," jawab Aleea. "Mama penasaran, Sarah ditinggal untuk kedua kalinya karena nggak direstui orang tuanya Ryan. Alasannya apa nggak direstui?" tanya Mama. "Dulu, Kang Ryan pernah cerita. Orang tuanya nggak mau punya menantu yang kehidupan strata sosialnya berbeda," terang Aleea. "Maksudnya lebih miskin, gitu?" sela Papa. "Iya, Pa. Mbak Sarah itu yatim. Dia sama kakaknya yang berjuang cari nafkah buat Ibu dan kedua adiknya. Sekarang Mbak Sarah sering sakit, adiknya, Mas Farhan yang sering bantu di kafe. Persiapan bantuin Kak Hasna kalau Mbak Sarah cuti," imbuhku. "Ya, Allah. Kasihannya, Sarah." Mama menggeleng pelan, kemudian berkata, "Tapi ini mungkin hukuman buatnya yang udah ngebohongin kamu, Lea. Harusnya mereka jangan selingkuh, dulu, mending ngaku ke keluarga biar Ryan nggak perlu nyakitin kamu juga." Aleea terd
84Hari Rabu sore, aku tiba di kafe yang masih belum ramai dengan tubuh sakit-sakit. Aku meminta waktu istirahat pada Bang Ali yang menjadi ketua pelaksana hari ini. Pria berkumis itu bahkan menemaniku ke ruangan khusus karyawan di lantai dua selama beberapa menit, sebelum dia berpamitan untuk salat. Entah kenapa hari ini rasanya badanku lemah sekali. Benar-benar tidak bersemangat, tetapi tetap memaksakan diri bekerja. Beberapa belas menit sebelum jam tujuh, aku hendak berdiri tetapi nyaris jatuh karena pandanganku gelap. "Ken, kenapa?" Suara khas Linda terdengar tidak jauh. "Aku mau ke toilet, tapi nggak bisa bangun," jawabku sambil memegangi perut yang tiba-tiba mual. "Aku papah, ya." "Aku lebih berat dari kamu, Lin. Nanti kita jatuh.' "Ehm, tunggu. Aku cari bantuan dulu." Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Pandanganku mengabur seiring dengan perut yang kian bergejolak. Tak berselang lama, aku merasa tubuh ditarik dan dipapah keluar oleh dua orang. Sesampainya di kamar mandi, seo
85Pagi-pagi Mama sudah tiba dengan membawa berbagai pembekalan buatku dan Papa. Seusai menghabiskan bubur ayam, Mas Fa berpamitan dan berjanji akan datang ke rumah sakit yang dekat dengan rumahku nanti sore, karena siang ini rencananya aku akan dipindahkan ke sana. Seusai kunjungan dokter dan tim, Mama membereskan barang-barang, sementara Papa mengurus administrasi. Jam sebelas lewat para sahabat datang bersama Aleaa. Kami sempat berbincang sesaat sebelum seorang perawat mengabarkan bila aku sudah diizinkan keluar. Aleea mendorong kursi rodaku yang masih belum kuat untuk perjalanan jauh. Sementara yang lainnya menyusul di belakang dengan mengangkut semua barang bawaan. Setibanya di bagian depan, dua orang petugas ambulans membantuku naik dan berbaring di brankar kecil. Aleea dan Mama ikut di ambulans, sementara yang lainnya ikut di mobilnya Papa dan mobilnya Aleea yang dikemudikan Willy. Aku meringis ketika pergelangan tangan kiri dipasangi infus. Terpaksa dipindah dari tangan kan
86"Ken. Ken!" seruan seseorang yang diiringi tepukan di pipi dan lengan membuatku terbangun. "Kamu mimpi buruk kayaknya," sambungnya yang akhirnya kukenali sebagai Ijan. "Astagfirullah," ucapku sambil mengusap bagian tengah tubuh beberapa kali. "Mimpi apa, sih? Sampai teriak-teriak gitu?" "Dicium Tante." "Tante yang mana?" "Pemilik salon tuh." Ijan cengengesan, kemudian tergelak. Tak peduli aku bersungut-sungut karena mimpi itu seolah-olah nyata. Ijan baru berhenti tertawa setelah aku memukuli lengannya sambil menggerutu. Matahari sore menggantikan siang. Aku meminta bantuan Ijan untuk diantarkan ke kamar mandi. Berbeda dengan tadi pagi, kini aku tidak menggigil dan bisa membersihkan tubuh lebih teliti walaupun tangan kiri masih terpasang infus. Setelah mengenakan celana dalam dan celana pendek, aku memanggil Ijan yang segera memasuki bilik termenung. Dia membantuku menggunakan kemeja dengan hati-hati agar tidak menyentuh jarum infus. Setelahnya, aku berdiri dan melangkah pel
Persiapan menuju pernikahan dikebut. Aku mengurus semua surat-surat dengan dibantu Papa dan teman-teman. Mama bekerjasama dengan Mama Anita menyiapkan segala sesuatunya untuk acara akad nikah. Sedangkan untuk resepsi, semuanya diambil alih tim manajemen. Dikarenakan pestanya mendadak dan harus tertutup, akhirnya kami memutuskan acaranya diadakan di resor wilayah Bogor. Tempat itu merupakan area wisata milik rekan bisnis Om Yoga, sekaligus pengusaha senior yang merupakan salah satu penggiat bisnis terkenal. Hari berganti menjadi minggu. Persiapan yang dilakukan hanya dalam waktu empat pekan akhirnya tuntas. Saat ini aku dan rombongan telah tiba di resor. Kami diarahkan pegawai untuk menempati sisi kiri area. Sementara keluarga Aleea akan mengisi sayap kanan. Tim panitia yang dipimpin Mas David sengaja memisahkan kami agar bisa dipingit. Aku tidak bisa memprotes dan terpaksa menerima semua arahan pria berkulit kuning langsat, yang sejak awal kami datang sudah membentuk ekspresi seri
Suasana hening menyelimuti ruang kerja ini. Aku menelan ludah beberapa kali karena gugup. Om Yoga tengah mengobrol dengan seseorang melalui sambungan telepon, dan itu menyebabkanku gelisah karena harus menunggu. Setelah Om Yoga menutup sambungan telepon, kegugupanku kian bertambah seiring dengan tatapan tajam yang beliau arahkan padaku. Meskipun kami sudah cukup akrab, tetap saja dipandangi sedemikian rupa menyebabkan nyaliku menciut. "Lea sudah menceritakan mengenai lamaranmu padanya," ucap pria yang rambutnya dihiasi uban di beberapa tempat. "Kenapa kamu ingin menikah segera, Ken?" tanyanya. Aku terdiam sesaat untuk memaksa otak bekerja cepat. Setelahnya aku mendengkus pelan, kemudian menyahut, "Aku mencintai Lea, Om. Dan kami sudah sangat dekat. Aku juga takut kehilangannya." "Usia kalian masih sangat muda. Saya tidak yakin kalian sanggup meniti rumah tangga," balas Om Yoga. "Begini, Kenzo. Pernikahan tidak hanya tentang cinta. Ke depannya itu sangat berat untuk dilalui. Teruta
Detik terjalin menjadi menit. Putaran waktu terus melaju tanpa bisa ditahan oleh siapa pun. Musim hujan bergeser ke musim kemarau. Jalanan mulai berdebu karena jarang tersiram air dari langit.Makin mendekati hari keberangkatan Aleea ke London, aku makin gelisah. Bila kami tengah menghabiskan waktu bersama, aku kesulitan mengalihkan pandangan darinya karena aku ingin menyimpan setiap detail dari dirinya yang indah. Seperti hari ini, kami memiliki kesempatan untuk berkencan di Minggu malam. Mas Fa mengizinkanku tidak bekerja seharian karena aku sudah merengek meminta istirahat setelah sebulan penuh bekerja. Aleea tampak begitu cantik dan anggun. Gaun biru tua mengilat yang digunakannya memperjelas kulit putihnya yang bersih. Wajahnya yang sudah cantik, dirias tidak tebal yang membuatnya kian memesona. Rambut panjangnya dijepit sirkam di sisi kanan dan kiri, sisanya dibiarkan tergerai ke belakang. Aku nyaris tidak bisa mengalihkan pandangan dan terus-menerus mengamatinya. Rasa cinta
Saat paling mendebarkan pun tiba. Aku duduk di kursi bersama ketiga sahabat sembari menyatukan telapak tangan di ujung lutut. Ekspresi kami nyaris sama, yakni tegang. Pintu besar hitam di seberang seolah-olah seperti pintu menuju ruang penyiksaan. Kami masih menunggu giliran untuk masuk dan dicecar para dosen penguji. Kala namaku dipanggil petugas, kaki seketika terasa berat untuk dilangkahkan. Dengan menahan degup jantung yang menggila, aku mengayunkan tungkai menuju pintu dan membukanya. Setelah masuk dan menutup pintu kembali, aku meneruskan langkah hingga tiba di kursi tunggu di mana kedua teman sekelas tengah menunggu giliran masuk ke ruang penguji. Tiba waktunya aku menjalankan pengujian. Keringat dingin meluncur turun dari kepala hingga punggung. Aku yang sudah terbiasa menghadapi banyak orang. Namun, kali ini tetap gemetaran dan jantung pun jumpalitan. Seusai menyapa ketiga penguji, aku memulai memaparkan isi tugas akhir. Rasa percaya diri yang sempat lenyap saat masuk ke r
Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Tidak ada apa pun atau siapa pun yang sanggup menghentikan perputaran masa. Semuanya melesat tidak terbatas dan membuat setiap insan berlomba-lomba menguasai waktu. Hingga semua rutinitas berlangsung runut dan lancar. Demikian pula denganku. Hal serupa seperti masa awal kuliah dijalani dengan sungguh-sungguh. Aku benar-benar berusaha memanfaatkan setiap menitnya agar penyelesaian bab demi bab skripsi bisa berjalan tertib dan berhasil diselesaikan tepat waktu. Waktu cuti dari label musik hanya satu semester, artinya cuma enam bulan aku bisa mengerjakan tugas akhir dengan fokus maksimal. Lewat dari waktu itu, aku sudah harus berjibaku dengan melakukan rekaman album kedua, sekaligus masih terus mempromosikan album pertama. Tiba di penghujung minggu. Akhirnya aku bisa melepas penat dan menghabiskan waktu bersama kekasih tercinta. Tentu saja kami tidak pergi berdua saja, readers. Trio kwek-kwek dan kedua adikku juga turut serta. Demikian
"Hasil album pertamamu sudah lumayan naiknya. Walau nggak langsung hits, kamu harus tetap semangat, Ken," ujar Pak Daud sembari menepuk pundak kiriku. "Ya, Pak. Jujur, bisa nyampe di titik ini aku udah bahagia banget. Tanpa bantuan bapak-bapak di sini, mungkin selamanya aku hanya menjadi penyanyi kafe," tuturku sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Kami hanya membantu sedikit. Selebihnya usahamu yang sudah maksimal yang menjadikanmu cukup terkenal," cakap Pak Salim yang berada di kursi seberang. "Setelah kamu beres skripsi, kita langsung kerjakan penggarapan album kedua," ungkap Mas Benigno yang kubalas dengan anggukan. "Ya, Mas," jawabku. "Moga-moga nggak ada halangan dalam pembuatan skripsi," lanjutku. "Kapan dimulainya?" tanya Mas David. "Dua minggu lagi," paparku. "Berarti tampil di akhir pekan aja. Senin sampai Kamis fokus ke urusan kuliah." Aku mengangguk mengiakan. "Mas Fa udah nyetop semua jadwal panggung. Terakhir minggu ini." "Lebih baik memang beg
Sorot lampu dari berbagai arah membuatku silau. Aku mengerjap-ngerjapkan mata untuk membiasakannya menatap cahaya berkekuatan penuh yang mengiringi gerakan serta langkahku ke semua sudut panggung. Setelah lagu keenam, aku berpindah ke belakang panggung. Linda menggantikan posisiku untuk menyanyikan tiga lagu sebagai pengisi kekosongan. Aku membuka baju yang lembap dan melemparkannya ke tas biru tua di ujung kursi. Ijan mengulurkan handuk kecil merah dan aku mengambilnya untuk menyeka peluh di wajah serta leher. Ijan mengarahkan kipas kecil bertenaga baterai ke badanku. Sementara Sandy menyiapkan pakaian ganti. Belum hilang keringat, aku bergegas berganti pakaian dan berias seadanya. Rambut yang basah segera dikeringkan Ijan menggunakan hairdryer, sedangkan Sandy memegangi kipas elektrik sekaligus kipas konvensional. Teriakan Mas Fa yang tadi mengecek penampilan Linda menyadarkanku untuk bergerak lebih cepat. Pria berkemeja putih pas badan berpindah ke dekat kursi dan membantuku men
Mimpi buruk akhirnya menimpaku. Hal yang paling ditakuti oleh semua penyanyi adalah memburuknya kualitas pita suara. Aku diminta Papa untuk menghemat bicara. Selama beberapa hari di rumah aku membawa kertas dan pulpen ke mana-mana. Bila ada yang bertanya aku menjawabnya dengan tulisan. Semua jadwal kerja ditangguhkan hingga minggu berikutnya. Mas Fa dan yang lainnya benar-benar ketat pengawasan agar suaraku benar-benar pulih. Mereka bahkan melarangku berlatih karena takut suara kian rusak dan akhirnya menghilang.Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Akhirnya suaraku kembali normal dan bisa bekerja lagi, walaupun porsinya sedikit. Jadwal manggung di tiga tempat hanya tiga hari di akhir pekan, empat hari berikutnya difokuskan pada promosi. Bulan berganti, aku dan teman-teman bersiap melakukan ujian. Seperti biasa, Humaira dan Tie menjadi andalanku untuk menjelaskan semua mata kuliah. Selain itu, setiap malam aku dan Ijan belajar bersama untuk mengejar ketertinggalan. "Ya,
Tepat pukul 07.00 WIB, aku dan kelompok keluar dari hotel menuju tempat wisata terkenal di daerah Lembang. Aku ikut dalam mobil yang dikemudikan Aleea. Nin dan Maia berada di kursi belakang. Sementara yang lainnya menaiki mobil SUV milik Papa. Suasana jalan raya yang padat, tidak mengurangi semangat kami untuk meneruskan perjalanan. Aleea mengemudi dengan cekatan dan membuatku terintimidasi karena masih belum lancar menyetir. Sesampainya di Farm House Susu Lembang, para gadis begitu heboh untuk melakukan swa foto. Gaya khas cerianya perempuan muda membuatku tersenyum menyaksikan tingkah mereka yang alami dan tanpa dibuat-buat. Namun, seruan beberapa orang membuatku meringis karena dikenali sebagai artis baru. Mau tidak mau aku melayani acara foto bersama dan sesi tanda tangan. Sedapat mungkin berusaha ramah meskipun sudah ingin kabur dan melanjutkan berlibur. "Sudah cukup, ya, Akang-akang dan teteh-teteh. Abang Kenzo mau berwisata dulu," tutur Ijan sembari memegangi pundakku. "Per