53"Sepertinya kamu kurang serius untuk menjadi artis, Kenzo," ucap Om Yoga. "Waktu sudah berjalan tiga bulan, tapi kamu belum ikut kontes ataupun coba mengirimkan demo suara ke produser," sambungnya sambil menatapku yang spontan menelan ludah. "Ehm, iya, Om. Aku mau fokus ke kuliah dulu, dua bulan lagi ujian semester," jelasku, sengaja mengungkapkan kejujuran daripada disalahkan. "Berarti kurangi main." "Siap." "Pas ujian nanti jangan ketemu Lea dulu. Biar kalian sama-sama konsentrasi." Aku mengangguk mengiakan, pasrah pada takdir yang membawa jalan hidupku berliku seperti ini. Percuma saja memprotes, karena akhirnya tetap saja harus mengalah. Lebih baik menurut, mungkin dengan begitu Om Yoga bisa lebih lunak padaku. "Satu lagi, pelajari musik lawas yang top pada masanya. Penikmat kafe live music itu justru lebih royal yang tua-tua dibandingkan seumuran kamu. Bisa merebut simpati mereka jadi fansmu itu bakal lebih bagus." "Maksudnya rock, Om?" "Nggak harus, karena tone suaram
54Sesampainya di restoran yang belum pernah kudatangi sebelumnya, seorang pria tua menyambut kedatangan Om Yoga dengan pelukan hangat. Mereka saling menepuk dan berangkulan dengan wajah semringah, menandakan pertemuan menyenangkan dengan kawan lama. "Ken, kenalin, ini Mas Erwin, papanya Benigno," ungkap Om Yoga. "Malam, Om, perkenalkan, aku Kenzo," ucapku sembari menjabat pria tua berkemeja merah tersebut. "Halo, Kenzo. Nama yang cukup unik," sahutnya. "Boleh saya tahu nama panjangnya apa?" tanyanya seusai berjabatan tangan denganku. "Kenzo Darka." "Darka? Nah, ini beneran unik." Om Erwin menepuk bahu kananku sekali, kemudian berkata, "Kemaren waktu Yoga telepon mau ke sini dan memperkenalkanmu, saya langsung cari info ke Ben, dan dia kasih unjuk video saat kamu perform di resepsi itu," terangnya. Aku yang tidak tahu harus menjawab apa akhirnya hanya mengangguk pura-pura paham padahal sebenarnya bingung. Ketika kedua teman masa lalu itu mengajak kami berpindah ke meja paling de
55Suasana kelas Sabtu pagi ini ricuh, karena Bu Ardila muncul dengan rambut dipotong pendek dan menggunakan lensa kontak biru. Setelan blazer dan celana panjang hitam garis-garis membalut tubuh langsingnya yang tidak pendek tetapi juga tidak terlalu tinggi. Riasan wajah alami, tetapi lipstik merah kian menyempurnakan penampilan perempuan yang kuketahui berusia dua puluh tujuh tahun tersebut. Statusnya yang masih sendiri membuat Bu Ardila menjadi bahan perbincangan di kampus. Bahkan ada yang menjodohkannya dengan Pak Ricky, dosen berkacamata yang gantengnya selevel denganku. Namun, sepertinya Bu Ardila mengabaikan berbagai omongan dan tetap santai di mana pun dia berada. Bu Ardila juga termasuk dosen yang ramah. Bagiku, berbincang dengan beliau seolah-olah tengah mengobrol dengan kakak yang tidak pernah kumiliki. Cara Bu Ardila memberikan nasihat itu tidak menghakimi ataupun mendikte. Beliau akan bicara dengan santai dan yang diajak berbincang tidak akan menyadari tengah dikhotbahi.
56Sore harinya, aku tiba di kafe tepat pukul 5. Bang Ali dan Mas Steven telah lebih dulu tiba serta tengah mengecek perpaduan alat musik agar seusai magrib nanti bisa langsung siap dimainkan. "Ken, ada yang nanyain kamu," tutur Linda yang baru saja memasuki ruangan. "Siapa?" tanyaku. "Cowok, rambutnya gondrong." "Mas Ben?" "Nggak tahu, orangnya ada di tempat parkir, di mobil hitam besar." Aku meletakkan gitar ke kursi dan bergegas keluar. Seorang pria melambaikan tangan dari dalam mobil yang sesuai dengan penjelasan Linda. Aku segera menghampiri dan membuka pintu mobil serta masuk. "Masuk, yuk, Mas," ajakku sambil menyalami Mas Benigno. "Saya ada janji sama orang di kafe yang ujung. Kamu, kapan perform lagi di sini?" tanyanya. "Besok sama Rabu." "Ya, udah, besok saya mampir." Mas Benigno mengambil ponsel, kemudian berkata, "Saya kirim file, kamu pelajari lagunya. Jumat jam lima sore saya tunggu di club." Beberapa detik kemudian masuklah pesan dari pria berkemeja hitam ters
57Matahari nyaris sepenggalah saat aku bangun di Minggu pagi dan itu pun karena pintu kamar digedor Khanza atas suruhan Mama. Aku menggeliat membetulkan posisi tulang punggung yang sempat melengkung lama. Beberapa puluh menit berlalu, aku sudah duduk bersila di sofa ruang tengah sambil memegangi mangkuk berisi bubur kacang hijau buatan Mama sesuai permintaanku saat pulang dini hari tadi. Mama yang baru selesai salat Tahajud sempat membantuku mengunci pintu samping, sebelum kembali ke kamar. "Abang, besok yang nganterin kue ke rumahnya Willy, sanggup sendiri?" tanya Mama sembari duduk di samping kiriku. "Bisa, Ma. Pake dua keranjang," jawabku di sela-sela mengunyah. "Terus Abang balik lagi ke sini balikin keranjang?" Aku terdiam sejenak, kemudian meringis. "Iya, ya? Abang 'kan mau ke kafe, gantiin Linda. Dia Selasa pagi mau sidang." "Berarti sama Mang Jono aja. Biar keranjang dia yang bawa pulang." Aku manggut-manggut. Kemudian melanjutkan acara makan hingga isi mangkuk habis.
58Hingga waktu asar tiba aku sudah menyanyikan sepuluh lagu berbeda genre. Tinggal dua lagu lagi yang harus dikuasai, dan aku optimis bisa menyelesaikannya sebelum tampil Jumat mendatang. Setelah mandi, berganti pakaian dan salat Asar, aku berpamitan pada orang rumah, kemudian berangkat menuju kafe. Jalanan Kota Jakarta di sore hari libur ini cukup lengang. Seandainya ini berlaku setiap hari, kemungkinan pengendara akan sangat senang karena tidak harus bermacet-macet. Sesampainya di tempat tujuan, Mas Fa dan Mbak Yeni sudah tiba. Bang Ali dan Kak Carol hari ini dapat jatah libur. Posisi Bang Ali akan digantikan Mas Steven yang cukup piawai memainkan bass. Sedangkan drum dibiarkan kosong, karena aku dan Mas Mono tidak bisa memainkan alat musik itu. Jika dipaksa, mungkin hasilnya akan seperti menabuh beduk masjid. "Mas, aku mau coba lagu ini," ucapku sambil memperlihatkan catatan di layar ponsel. "Boleh, kita latihan dulu," jawab Mas Fa. "Lagunya apa?" tanya Mas Steven. "Forever
59Senin siang menjelang sore, aku dan Mang Jono memacu motor masing-masing menyusuri jalan raya yang cukup padat. Meskipun belum jam pulang kerja, tetapi kendaraan sudah ramai memenuhi jalan raya. Berbekal pengalaman sebagai mantan pembalap, aku bisa mengendarai motor dengan lincah dan khusyuk.Setibanya di kediaman orang tua Willy, sahabatku yang montok itu sudah menunggu di teras. Willy berdiri dan menghampiri serta membantuku menggotong keranjang ke dalam rumah. Kami meletakkan benda penuh kotak kue itu di dekat meja makan dan langsung menyusunnya dengan rapi. Selanjutnya Mang Jono pulang dengan membawa dua keranjang, sedangkan aku menuju rumah Mas Fa. Pria bertubuh sedang itu sedang mengutak-atik gitar kala aku tiba. Mas Fa menengadah dan seketika tersenyum melihat kotak kue berukuran besar yang kukeluarkan dari ransel. "Aku demen kalau mamamu ngirim beginian," ujar Mas Fa sambil mencomot sosis Solo dan membuka plastiknya. "Rasanya beda dari toko lain. Pernah nyoba beli yang di
60Pagi harinya, aku memacu motor dengan kecepatan tinggi hingga tiba di kampus tepat waktu. Ban motor yang bocor sedikit merusak hari hingga aku harus menjadi pembalap dadakan demi tidak terlambat. Dosen yang memasuki ruangan hanya berbeda detik denganku itu sepertinya memang senang memberi kejutan. Pria berambut dua puluh sembilan helai dengan santainya menyuruh kami mengerjakan soal-soal di tiga bab yang belum dipelajari. Tentu saja hal itu membuatku dan teman-teman panik, terutama karena kami bukan pelajar yang baik, alias mengerjakan tugas mepet waktu. Kalau sudah begini, mau tidak mau aku dan ketiga sahabat somplak mendekati Humaira dan Tie yang memang lebih rajin daripada kami. Dalam puluhan menit kemudian kertas kecil beredar dari kursi kami berenam, hingga semua soal selesai dikerjakan tepat waktu. Kala kelas usai, kami serentak menghela napas lega karena masa-masa menegangkan sudah terlewati. "Stres aku kalau ketemu dosen itu. Udahlah irit bicara, ngasih tugas aja terus,
Persiapan menuju pernikahan dikebut. Aku mengurus semua surat-surat dengan dibantu Papa dan teman-teman. Mama bekerjasama dengan Mama Anita menyiapkan segala sesuatunya untuk acara akad nikah. Sedangkan untuk resepsi, semuanya diambil alih tim manajemen. Dikarenakan pestanya mendadak dan harus tertutup, akhirnya kami memutuskan acaranya diadakan di resor wilayah Bogor. Tempat itu merupakan area wisata milik rekan bisnis Om Yoga, sekaligus pengusaha senior yang merupakan salah satu penggiat bisnis terkenal. Hari berganti menjadi minggu. Persiapan yang dilakukan hanya dalam waktu empat pekan akhirnya tuntas. Saat ini aku dan rombongan telah tiba di resor. Kami diarahkan pegawai untuk menempati sisi kiri area. Sementara keluarga Aleea akan mengisi sayap kanan. Tim panitia yang dipimpin Mas David sengaja memisahkan kami agar bisa dipingit. Aku tidak bisa memprotes dan terpaksa menerima semua arahan pria berkulit kuning langsat, yang sejak awal kami datang sudah membentuk ekspresi seri
Suasana hening menyelimuti ruang kerja ini. Aku menelan ludah beberapa kali karena gugup. Om Yoga tengah mengobrol dengan seseorang melalui sambungan telepon, dan itu menyebabkanku gelisah karena harus menunggu. Setelah Om Yoga menutup sambungan telepon, kegugupanku kian bertambah seiring dengan tatapan tajam yang beliau arahkan padaku. Meskipun kami sudah cukup akrab, tetap saja dipandangi sedemikian rupa menyebabkan nyaliku menciut. "Lea sudah menceritakan mengenai lamaranmu padanya," ucap pria yang rambutnya dihiasi uban di beberapa tempat. "Kenapa kamu ingin menikah segera, Ken?" tanyanya. Aku terdiam sesaat untuk memaksa otak bekerja cepat. Setelahnya aku mendengkus pelan, kemudian menyahut, "Aku mencintai Lea, Om. Dan kami sudah sangat dekat. Aku juga takut kehilangannya." "Usia kalian masih sangat muda. Saya tidak yakin kalian sanggup meniti rumah tangga," balas Om Yoga. "Begini, Kenzo. Pernikahan tidak hanya tentang cinta. Ke depannya itu sangat berat untuk dilalui. Teruta
Detik terjalin menjadi menit. Putaran waktu terus melaju tanpa bisa ditahan oleh siapa pun. Musim hujan bergeser ke musim kemarau. Jalanan mulai berdebu karena jarang tersiram air dari langit.Makin mendekati hari keberangkatan Aleea ke London, aku makin gelisah. Bila kami tengah menghabiskan waktu bersama, aku kesulitan mengalihkan pandangan darinya karena aku ingin menyimpan setiap detail dari dirinya yang indah. Seperti hari ini, kami memiliki kesempatan untuk berkencan di Minggu malam. Mas Fa mengizinkanku tidak bekerja seharian karena aku sudah merengek meminta istirahat setelah sebulan penuh bekerja. Aleea tampak begitu cantik dan anggun. Gaun biru tua mengilat yang digunakannya memperjelas kulit putihnya yang bersih. Wajahnya yang sudah cantik, dirias tidak tebal yang membuatnya kian memesona. Rambut panjangnya dijepit sirkam di sisi kanan dan kiri, sisanya dibiarkan tergerai ke belakang. Aku nyaris tidak bisa mengalihkan pandangan dan terus-menerus mengamatinya. Rasa cinta
Saat paling mendebarkan pun tiba. Aku duduk di kursi bersama ketiga sahabat sembari menyatukan telapak tangan di ujung lutut. Ekspresi kami nyaris sama, yakni tegang. Pintu besar hitam di seberang seolah-olah seperti pintu menuju ruang penyiksaan. Kami masih menunggu giliran untuk masuk dan dicecar para dosen penguji. Kala namaku dipanggil petugas, kaki seketika terasa berat untuk dilangkahkan. Dengan menahan degup jantung yang menggila, aku mengayunkan tungkai menuju pintu dan membukanya. Setelah masuk dan menutup pintu kembali, aku meneruskan langkah hingga tiba di kursi tunggu di mana kedua teman sekelas tengah menunggu giliran masuk ke ruang penguji. Tiba waktunya aku menjalankan pengujian. Keringat dingin meluncur turun dari kepala hingga punggung. Aku yang sudah terbiasa menghadapi banyak orang. Namun, kali ini tetap gemetaran dan jantung pun jumpalitan. Seusai menyapa ketiga penguji, aku memulai memaparkan isi tugas akhir. Rasa percaya diri yang sempat lenyap saat masuk ke r
Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Tidak ada apa pun atau siapa pun yang sanggup menghentikan perputaran masa. Semuanya melesat tidak terbatas dan membuat setiap insan berlomba-lomba menguasai waktu. Hingga semua rutinitas berlangsung runut dan lancar. Demikian pula denganku. Hal serupa seperti masa awal kuliah dijalani dengan sungguh-sungguh. Aku benar-benar berusaha memanfaatkan setiap menitnya agar penyelesaian bab demi bab skripsi bisa berjalan tertib dan berhasil diselesaikan tepat waktu. Waktu cuti dari label musik hanya satu semester, artinya cuma enam bulan aku bisa mengerjakan tugas akhir dengan fokus maksimal. Lewat dari waktu itu, aku sudah harus berjibaku dengan melakukan rekaman album kedua, sekaligus masih terus mempromosikan album pertama. Tiba di penghujung minggu. Akhirnya aku bisa melepas penat dan menghabiskan waktu bersama kekasih tercinta. Tentu saja kami tidak pergi berdua saja, readers. Trio kwek-kwek dan kedua adikku juga turut serta. Demikian
"Hasil album pertamamu sudah lumayan naiknya. Walau nggak langsung hits, kamu harus tetap semangat, Ken," ujar Pak Daud sembari menepuk pundak kiriku. "Ya, Pak. Jujur, bisa nyampe di titik ini aku udah bahagia banget. Tanpa bantuan bapak-bapak di sini, mungkin selamanya aku hanya menjadi penyanyi kafe," tuturku sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Kami hanya membantu sedikit. Selebihnya usahamu yang sudah maksimal yang menjadikanmu cukup terkenal," cakap Pak Salim yang berada di kursi seberang. "Setelah kamu beres skripsi, kita langsung kerjakan penggarapan album kedua," ungkap Mas Benigno yang kubalas dengan anggukan. "Ya, Mas," jawabku. "Moga-moga nggak ada halangan dalam pembuatan skripsi," lanjutku. "Kapan dimulainya?" tanya Mas David. "Dua minggu lagi," paparku. "Berarti tampil di akhir pekan aja. Senin sampai Kamis fokus ke urusan kuliah." Aku mengangguk mengiakan. "Mas Fa udah nyetop semua jadwal panggung. Terakhir minggu ini." "Lebih baik memang beg
Sorot lampu dari berbagai arah membuatku silau. Aku mengerjap-ngerjapkan mata untuk membiasakannya menatap cahaya berkekuatan penuh yang mengiringi gerakan serta langkahku ke semua sudut panggung. Setelah lagu keenam, aku berpindah ke belakang panggung. Linda menggantikan posisiku untuk menyanyikan tiga lagu sebagai pengisi kekosongan. Aku membuka baju yang lembap dan melemparkannya ke tas biru tua di ujung kursi. Ijan mengulurkan handuk kecil merah dan aku mengambilnya untuk menyeka peluh di wajah serta leher. Ijan mengarahkan kipas kecil bertenaga baterai ke badanku. Sementara Sandy menyiapkan pakaian ganti. Belum hilang keringat, aku bergegas berganti pakaian dan berias seadanya. Rambut yang basah segera dikeringkan Ijan menggunakan hairdryer, sedangkan Sandy memegangi kipas elektrik sekaligus kipas konvensional. Teriakan Mas Fa yang tadi mengecek penampilan Linda menyadarkanku untuk bergerak lebih cepat. Pria berkemeja putih pas badan berpindah ke dekat kursi dan membantuku men
Mimpi buruk akhirnya menimpaku. Hal yang paling ditakuti oleh semua penyanyi adalah memburuknya kualitas pita suara. Aku diminta Papa untuk menghemat bicara. Selama beberapa hari di rumah aku membawa kertas dan pulpen ke mana-mana. Bila ada yang bertanya aku menjawabnya dengan tulisan. Semua jadwal kerja ditangguhkan hingga minggu berikutnya. Mas Fa dan yang lainnya benar-benar ketat pengawasan agar suaraku benar-benar pulih. Mereka bahkan melarangku berlatih karena takut suara kian rusak dan akhirnya menghilang.Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Akhirnya suaraku kembali normal dan bisa bekerja lagi, walaupun porsinya sedikit. Jadwal manggung di tiga tempat hanya tiga hari di akhir pekan, empat hari berikutnya difokuskan pada promosi. Bulan berganti, aku dan teman-teman bersiap melakukan ujian. Seperti biasa, Humaira dan Tie menjadi andalanku untuk menjelaskan semua mata kuliah. Selain itu, setiap malam aku dan Ijan belajar bersama untuk mengejar ketertinggalan. "Ya,
Tepat pukul 07.00 WIB, aku dan kelompok keluar dari hotel menuju tempat wisata terkenal di daerah Lembang. Aku ikut dalam mobil yang dikemudikan Aleea. Nin dan Maia berada di kursi belakang. Sementara yang lainnya menaiki mobil SUV milik Papa. Suasana jalan raya yang padat, tidak mengurangi semangat kami untuk meneruskan perjalanan. Aleea mengemudi dengan cekatan dan membuatku terintimidasi karena masih belum lancar menyetir. Sesampainya di Farm House Susu Lembang, para gadis begitu heboh untuk melakukan swa foto. Gaya khas cerianya perempuan muda membuatku tersenyum menyaksikan tingkah mereka yang alami dan tanpa dibuat-buat. Namun, seruan beberapa orang membuatku meringis karena dikenali sebagai artis baru. Mau tidak mau aku melayani acara foto bersama dan sesi tanda tangan. Sedapat mungkin berusaha ramah meskipun sudah ingin kabur dan melanjutkan berlibur. "Sudah cukup, ya, Akang-akang dan teteh-teteh. Abang Kenzo mau berwisata dulu," tutur Ijan sembari memegangi pundakku. "Per