54Sesampainya di restoran yang belum pernah kudatangi sebelumnya, seorang pria tua menyambut kedatangan Om Yoga dengan pelukan hangat. Mereka saling menepuk dan berangkulan dengan wajah semringah, menandakan pertemuan menyenangkan dengan kawan lama. "Ken, kenalin, ini Mas Erwin, papanya Benigno," ungkap Om Yoga. "Malam, Om, perkenalkan, aku Kenzo," ucapku sembari menjabat pria tua berkemeja merah tersebut. "Halo, Kenzo. Nama yang cukup unik," sahutnya. "Boleh saya tahu nama panjangnya apa?" tanyanya seusai berjabatan tangan denganku. "Kenzo Darka." "Darka? Nah, ini beneran unik." Om Erwin menepuk bahu kananku sekali, kemudian berkata, "Kemaren waktu Yoga telepon mau ke sini dan memperkenalkanmu, saya langsung cari info ke Ben, dan dia kasih unjuk video saat kamu perform di resepsi itu," terangnya. Aku yang tidak tahu harus menjawab apa akhirnya hanya mengangguk pura-pura paham padahal sebenarnya bingung. Ketika kedua teman masa lalu itu mengajak kami berpindah ke meja paling de
55Suasana kelas Sabtu pagi ini ricuh, karena Bu Ardila muncul dengan rambut dipotong pendek dan menggunakan lensa kontak biru. Setelan blazer dan celana panjang hitam garis-garis membalut tubuh langsingnya yang tidak pendek tetapi juga tidak terlalu tinggi. Riasan wajah alami, tetapi lipstik merah kian menyempurnakan penampilan perempuan yang kuketahui berusia dua puluh tujuh tahun tersebut. Statusnya yang masih sendiri membuat Bu Ardila menjadi bahan perbincangan di kampus. Bahkan ada yang menjodohkannya dengan Pak Ricky, dosen berkacamata yang gantengnya selevel denganku. Namun, sepertinya Bu Ardila mengabaikan berbagai omongan dan tetap santai di mana pun dia berada. Bu Ardila juga termasuk dosen yang ramah. Bagiku, berbincang dengan beliau seolah-olah tengah mengobrol dengan kakak yang tidak pernah kumiliki. Cara Bu Ardila memberikan nasihat itu tidak menghakimi ataupun mendikte. Beliau akan bicara dengan santai dan yang diajak berbincang tidak akan menyadari tengah dikhotbahi.
56Sore harinya, aku tiba di kafe tepat pukul 5. Bang Ali dan Mas Steven telah lebih dulu tiba serta tengah mengecek perpaduan alat musik agar seusai magrib nanti bisa langsung siap dimainkan. "Ken, ada yang nanyain kamu," tutur Linda yang baru saja memasuki ruangan. "Siapa?" tanyaku. "Cowok, rambutnya gondrong." "Mas Ben?" "Nggak tahu, orangnya ada di tempat parkir, di mobil hitam besar." Aku meletakkan gitar ke kursi dan bergegas keluar. Seorang pria melambaikan tangan dari dalam mobil yang sesuai dengan penjelasan Linda. Aku segera menghampiri dan membuka pintu mobil serta masuk. "Masuk, yuk, Mas," ajakku sambil menyalami Mas Benigno. "Saya ada janji sama orang di kafe yang ujung. Kamu, kapan perform lagi di sini?" tanyanya. "Besok sama Rabu." "Ya, udah, besok saya mampir." Mas Benigno mengambil ponsel, kemudian berkata, "Saya kirim file, kamu pelajari lagunya. Jumat jam lima sore saya tunggu di club." Beberapa detik kemudian masuklah pesan dari pria berkemeja hitam ters
57Matahari nyaris sepenggalah saat aku bangun di Minggu pagi dan itu pun karena pintu kamar digedor Khanza atas suruhan Mama. Aku menggeliat membetulkan posisi tulang punggung yang sempat melengkung lama. Beberapa puluh menit berlalu, aku sudah duduk bersila di sofa ruang tengah sambil memegangi mangkuk berisi bubur kacang hijau buatan Mama sesuai permintaanku saat pulang dini hari tadi. Mama yang baru selesai salat Tahajud sempat membantuku mengunci pintu samping, sebelum kembali ke kamar. "Abang, besok yang nganterin kue ke rumahnya Willy, sanggup sendiri?" tanya Mama sembari duduk di samping kiriku. "Bisa, Ma. Pake dua keranjang," jawabku di sela-sela mengunyah. "Terus Abang balik lagi ke sini balikin keranjang?" Aku terdiam sejenak, kemudian meringis. "Iya, ya? Abang 'kan mau ke kafe, gantiin Linda. Dia Selasa pagi mau sidang." "Berarti sama Mang Jono aja. Biar keranjang dia yang bawa pulang." Aku manggut-manggut. Kemudian melanjutkan acara makan hingga isi mangkuk habis.
58Hingga waktu asar tiba aku sudah menyanyikan sepuluh lagu berbeda genre. Tinggal dua lagu lagi yang harus dikuasai, dan aku optimis bisa menyelesaikannya sebelum tampil Jumat mendatang. Setelah mandi, berganti pakaian dan salat Asar, aku berpamitan pada orang rumah, kemudian berangkat menuju kafe. Jalanan Kota Jakarta di sore hari libur ini cukup lengang. Seandainya ini berlaku setiap hari, kemungkinan pengendara akan sangat senang karena tidak harus bermacet-macet. Sesampainya di tempat tujuan, Mas Fa dan Mbak Yeni sudah tiba. Bang Ali dan Kak Carol hari ini dapat jatah libur. Posisi Bang Ali akan digantikan Mas Steven yang cukup piawai memainkan bass. Sedangkan drum dibiarkan kosong, karena aku dan Mas Mono tidak bisa memainkan alat musik itu. Jika dipaksa, mungkin hasilnya akan seperti menabuh beduk masjid. "Mas, aku mau coba lagu ini," ucapku sambil memperlihatkan catatan di layar ponsel. "Boleh, kita latihan dulu," jawab Mas Fa. "Lagunya apa?" tanya Mas Steven. "Forever
59Senin siang menjelang sore, aku dan Mang Jono memacu motor masing-masing menyusuri jalan raya yang cukup padat. Meskipun belum jam pulang kerja, tetapi kendaraan sudah ramai memenuhi jalan raya. Berbekal pengalaman sebagai mantan pembalap, aku bisa mengendarai motor dengan lincah dan khusyuk.Setibanya di kediaman orang tua Willy, sahabatku yang montok itu sudah menunggu di teras. Willy berdiri dan menghampiri serta membantuku menggotong keranjang ke dalam rumah. Kami meletakkan benda penuh kotak kue itu di dekat meja makan dan langsung menyusunnya dengan rapi. Selanjutnya Mang Jono pulang dengan membawa dua keranjang, sedangkan aku menuju rumah Mas Fa. Pria bertubuh sedang itu sedang mengutak-atik gitar kala aku tiba. Mas Fa menengadah dan seketika tersenyum melihat kotak kue berukuran besar yang kukeluarkan dari ransel. "Aku demen kalau mamamu ngirim beginian," ujar Mas Fa sambil mencomot sosis Solo dan membuka plastiknya. "Rasanya beda dari toko lain. Pernah nyoba beli yang di
60Pagi harinya, aku memacu motor dengan kecepatan tinggi hingga tiba di kampus tepat waktu. Ban motor yang bocor sedikit merusak hari hingga aku harus menjadi pembalap dadakan demi tidak terlambat. Dosen yang memasuki ruangan hanya berbeda detik denganku itu sepertinya memang senang memberi kejutan. Pria berambut dua puluh sembilan helai dengan santainya menyuruh kami mengerjakan soal-soal di tiga bab yang belum dipelajari. Tentu saja hal itu membuatku dan teman-teman panik, terutama karena kami bukan pelajar yang baik, alias mengerjakan tugas mepet waktu. Kalau sudah begini, mau tidak mau aku dan ketiga sahabat somplak mendekati Humaira dan Tie yang memang lebih rajin daripada kami. Dalam puluhan menit kemudian kertas kecil beredar dari kursi kami berenam, hingga semua soal selesai dikerjakan tepat waktu. Kala kelas usai, kami serentak menghela napas lega karena masa-masa menegangkan sudah terlewati. "Stres aku kalau ketemu dosen itu. Udahlah irit bicara, ngasih tugas aja terus,
61Mata kuliah hari Rabu ini membuatku senewen. Kedua dosennya sama-sama tidak masuk dan menugaskan asisten masing-masing memberi kami banyak tugas. Kepalaku pusing karena memikirkan cara membagi waktu mengerjakan tugas-tugas di sela-sela pekerjaan. Namun, untunglah kedua peri baik hati memahami masalah dan bersedia membantu mengerjakan satu tugas per orang. Kami beramai-ramai berpindah ke kafe dan menunggu Aleea tiba bersama dua dayang-dayang. Kemudian kami membahas tentang rencana pembukaan kafe awal bulan depan yang berarti dua minggu lagi dari sekarang. "Hari Sabtu nanti, aku jemput Humaira, setelah itu kami sama-sama mendatangi pemilik ruko buat nyerahin biaya sewa untuk enam bulan ke depan. Hari Minggu jam sembilan pagi kita ketemu di depan ruko buat memulai dekorasi," tutur Aleea yang didaulat sebagai pemimpin tim bersama Humaira. "Ijan dan Sandy, Minggu pagi-pagi kalian ke rumahku. Ngangkut cat dan lainnya," pinta Willy yang dibalas anggukan kedua orang tersebut. "Nanti ak