Home / Pernikahan / Aibku Ditukar Dengan Madu / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Aibku Ditukar Dengan Madu: Chapter 31 - Chapter 40

62 Chapters

31. PAK ASMAT MARAH

Pak Asmat dan Bu Asih sejenak terdiam dengan pengakuan Herman. Entah kaget atapun percaya dengan apa yang disampaikan Herman."Saya serius Pak Bu. Ma'afkan saya yang tidak bisa menjaga hawa nafsu. Saya begitu menyayangi Arindi. Dan saya tau Arindi wanita baik baik yang tidak mungkin melakukan hal terlarang itu." kata Herman dengan lirih dan tertunduk.Dada Pak Asmat tampak naik turun. Wajahnya mulai tampak tegang. Rahangnya mengeras. Dan ia bangkit. Tanpa aba-aba ia langsung menarik kerah baju Herman tanpa ampun."Dasar binatang. Mau kamu ku bunuh sekarang juga?" gertak Pak Asmat dengan emosi berapi-api. Bu Asih dibelakangnya juga tak kalah emosi dengan tangisnya yang terus berderai sembari menenangkan suaminya yang kalap."Kamu tau akibat perbuatanmu itu? Masa depan Arindi sudah rusak. Bagaimana ia tertatih tatih mengobati lukanya seorang diri? Bagaimana kami mencoba menguatkan walau hati kami juga ikut hancur? Ahh,"Pak Asmat melepaskan kerah Herman dengan kasar. Sementara Herman ma
Read more

32. Arindi Mengalah

Naina membanting tas yang ia bawa di tangan ke lantai dengan kasar. Tampak ia begitu marah sekali. Bahkan ia dengan kasar mengusap make up yang menempel di wajah cantiknya itu. Wajahnya langsung terlihat masam.Dan Arfaaz melihatnya di depan netranya sendiri. Naina benar benar kecewa."Mas, sudahlah. Aku tidak apa apa sendiri. Kamu harus memenuhi janji yang telah terlebih dahulu kamu buat. Kamu harus belajar konsisten," kata Arindi mencoba menjadi penengah di antara mereka. Sebelum mertuanya datang dan bisa memperkeruh suasana."Tetapi ini urgent Rind. Apa iya mereka juga tidak dapat mengerti?""Mas, dengarkan aku. Besok mama akan kembali ke luar negeri. Dan setidaknya kita harus membuat beliau senang malam ini. Tolong turuti kemauan mama kali ini. Setelah acaranya selesai, kamu boleh menyusulku ke rumah sakit," akta Arindi dengan panik."Yang benar kamu tidak apa-apa Rind jika pergi sendiri?" tanya Arfaaz tak kalah khawatirnya."Tenang saja. Aku sudah terlatih mandiri sedari dulu. Ak
Read more

33. Marah Besar

Arindi berlari lari di lorong rumah sakit dengan perasaan panik dan air mata yang tidak bisa dibendung. Tak perduli dengan kehadiaran siapapun disitu, ia segera berlari ingin melihat keadaan sang ayah.Ibunya yang sudah ada di depan kamar perawatan hanya tertunduk sembari sesekali mengusap kedua sudut netranya."Bu, bagaiamana keadaan Ayah Bu? Dimana beliau? " tanya Arindi dengan panik."Tenang Rin. Ayah sudah ditangani dokter. Darah tingginya kambuh," Jawab Bu Asih mencoba tenang. Walaupun hatinya juga menyeruak sakit yang luar biasa.Arindi kaget."Hah? Kok bisa? Bukankan ayah sangat menjaga pola hidupnya? Ayah bahkan sangat berhati hati dalam memilih makanan Bu," tanya Arindi.Bu Asih seperti tidak mau menjawab. Hanya sesekali lirikan matanya menjadi jawabnua. Dan lirikan itu mengarah pada laki laki yang duduk agak jauh dari mereka. Herman.Arindi menatap masih dengan tatapan yang bingung."Bu ada apa sebenarnya? Apa karena dia penyebab ayah menjadi seperti ini? Apa yang dia lakuka
Read more

34. Makan Malam Yang Hancur

Mobil yang dikendarai Arfaaz, berhenti di salah satu restoran mewah. Tempat dimana dulu dia sangat mengfavoritkanya bersama Arindi. Dan kini ia bersama sang madu, berniat ingin mengukir kenangan yang sama seperti saat dengan Arindi.Namun lagi-lagi fikiran Arfaaz kalut dibuatnya. Tentang bagaimana Arindi? Dan bagaimana kondisi keluarganya. Arfaaz tidak tenang sama sekali.Sementara senyum manis terus terukir di wajah cantik Naina. Bagaimana tidak, mungkin ini kali pertama ia menginjakan kaki di restoran semewah dan semahal ini tentunya. Belum tentu kalau dengan orang selain Arfaaz, ia bisa merasakan ini Naina bergelayut manja di lengan kekar milik Arfaaz."Terimakasih ya Mas. Sudah mau membawaku kesini. Aku bahagia. Dan merasa tidak dibedakan," ujar Naina dengan lembut.Arfaaz tersenyum. Lebih tepatnya memaksakan senyum. Tapi tidak dengan hatinya yang dilanda panik luar biasa."Nah gitu dong Faaz. Kalau istri senang, maka rezeki suami juga akan mengalir deras. Siapa tau dengan rilek
Read more

35. Reaksi Arfaaz

Netra Naina membulat sempurna. Ya sepertinya ia memang tidak main main dengan ucapanya itu. Di belakang sang menantu, Bu Tami tampak terus mengusap punggungnya untuk menenangkannya.Sebenarnya Arfaaz sudah teramat panik. Namun ia pun harus pintar mengatur emosi agar situasi tidak bertambah semakin kacau.Sejenak ia mengatur nafas."Nan, ini bukan masalah condong ke salah satu. Bukan. Ini darurat Nan. Dan kamu harus mengerti. Oke, begini saja coba posisikan kamu di posisi Arindi. Kamu anak tunggal. Orang tuamu masuk rumah sakit. Sementara kamu punya suami. Tetapi kamu harus pontang panting seorang diri. Bagaimana perasaanmu? Kasihan bukan?"Bukanya menjawab. Naina justru melengos menatap arah lain."Nan," panggil Arfaaz sekali lagi "Baiklah. Kalau begitu bagaiamana jika Mbak Arindi ada di posisiku. Sudah diberi janjim Dan sudah mempunyai ekspektasi yang indah, namun sekejap mata semua hancur begitu saja. Aku tanya, dia kesal atau tidak?" balas Naina tak kalah kesalKepala Arfaaz mendo
Read more

36. Permintaan Orang Tua Herman

"Siapa kamu? Berani sekali menyuruh anak saya turun dari jabatanya? Memangnya kamu yang membuat anak saya berhasil menjadi seorang abdi negara dengan pangkat yang tinggi? Tidak bukan?" tanya seorang wanita paruh baya dengan make up yang sedikit glamour. Di sampingnya, ia ditemani oleh laki-laki yang tampak seusia dengan wanita itu."Mama," panggil Herman.Ya ternyata mereka adalah orang tua Herman."Jangan mau kamu diatur oleh orang lain, Man. Memangnya dia siapa?" tanya Mama Herman dengan ketus.Arindi mengatur nafas."Tante sudah tau kelakuan anak Tante?" tanya balik Arindi."Memangnya kelakuan anak saya bagaiamana? Tapi saya yakin pasti anak saya baik kok. Terbukti, lihatlah jabatan yang sekarang ia sandang. Itu juga menjadi njukan bagaimana kepribadian anak saya bukan?" Arindi tertawa kecil sembari melengos."Asal Tante dan Om tau, bahwa anak kalian itu bejad. Anak kalian telah memperkosa saya tujuh tahun yang lalu. Memang sudah lama, tetapi sakitnya masih terasa. Lalu bagaimana?
Read more

37. Dimana Kalian dulu?

Pasti semua orang yang ada disitu akan mengira Arindi akan meledak emosinya saat mendengar permintaan dari Mama Herman. Tetapi tidak. Arindi sejenak diam. Namun sekejap kemudian air matanya tidak dapat terbendung lagi. "Mudah sekali kalian berucap demikian. Kalian tidak tau betapa hancurnya hati saya dan orang tua saya waktu itu. Bagaimana saya menjadi bahan pembicaraan orang lain. Bagaimana saya dianggap wanita murahan. Dan bagaimana anak saya di cap sebagai anak haram. Kalian tidak tau kan?" tanya Arindi dengan air mata yang terus mengalir Raut wajah kedua orang tua Herman menatap dengan penuh tidak enak hati. "Biarkanlah kami anggap dia cucu sebagaimana mestinya kalau memang dalam tubuhnya mengalir darah putra kami," pinta mereka lagi. Arindi berkacak pinggang "Tidak perlu. Lebih baik seperti ini. Lebih baik dia tidak tau siapa ayah kandungnya yang sebenarnya," jawab Arindi dengan tegas. "Tidak bisa begitu Arindi. Bagaimanapun juga Keenan harus tau siapa ayah kandungnya. Itu
Read more

38. Merepotkan

Naina melempar tas dengan keras ke arah Sofa empuk ruang tamu. Ia terlihat emosi sekali. Tak perduli rambutnya yang mulai acak acakan. Dan make up-nya yang juga berantakan. "Argghhh," teriaknya memecah keheningan malam di rumah ini. Namun di luar justru Bu Tami takut. Ia takut jika Naina kesetanan dan melakukan apapun. Bahkan ia memilih untuk diam di luar saja sementara waktu. Teriaknya yang keras, mampu membangunkan Keenandra yang tengah tertidur. Keenan sudah besar. Sudah bisa ditinggal sang mama, jika sang Mama ada urusan keluar. Langkah Keenandra menuruni tangga. "Tante kenapa?" tanya Keenan yang melihat Naina sudah seperti orang gila. Naina menoleh. Menatap tajam ke arah Keenandra. "Tanya sama mamamu sana. Dasar anak haram tidak tau malu," bentak Naina dengan keras. Anak sekecil Keenan yang belum terlalu mengerti, reflek menangis dibentak oleh Naina. Awalnya Keenan baik baik saja. Ia tak mempermasalahkan dengan ketidak adaan mamanya. Namun mendengar bentakan Naina, ia menj
Read more

39. Club Malam

Langkah Naina semakin gusar. Rasa kecewa dan bencinya sudah menjadi satu. Bahkan ia tak tau tujuan akan kemana setelah menaiki taksi ini. "Kemana kita neng?" tanya sopir Taksi akhirnya. Naina sedikit bingung sembari berfikir keras. "Ke Lionfly," jawabnya singkat namun tegas. "Club malam, Neng?" tanya sang sopir taksi sedikit kaget. Naina mengibaskan tanganya di udara sebagai isyarat bahwa dirinya kesal. "Sudahlah Pak. Tidak usah banyak tanya. Kamu saya bayar bukan untuk kepo dengan urusan saya. Mengerti," gerutu Naina. Yang membuat sopir taksi menjadi diam seribu bahasa. Dan akhirnya taksi itu berhenti tepat di tempat yang ingin ia tuju. Naina menyerahkan selembar uang kepada sopir taksi. "Ayo cepat. Mana kembaliannya?" tanya Naina dengan ketus. Sang sopir kaget. Karena kembaliannya hanya seribu rupiah "Waduh saya tidak punya seribuan Mbak. Di ikhlaskan saja kenapa Mbak," jawab sopir taksi. "Enak banget di ikhlasin. Enggak enggak. Aku catat plat nomor kamu ya. Awas kalau ka
Read more

40. Anak Haram

Arindi hanya menatap Arfaa dengan nanar saat Bu Tami mengatakan bahwa Naina pergi entah kemana karena kecewa dengan Arfaaz. "Cari dia Mas," perintah Arindi. "Dia sudah besar Rin. Sudah tau mana yang salah dan mana yang benar. Sepertinya tidak perlu aku ajari lagi," jawab Arfaaz dengan enteng. "Sebelum Mama berangkat seharusnya diperlakukan dengan baik. Justru dibuat pontang panting seperti ini. Merepotkan saja," gerutu Bu Tami sembari melipat tanganya di dada Tanpa sungkan bahkan di depan sang besan. Arfaaz mendesah pelan. "Sebaiknya kamu antar pulang mama saja Mas. Lagipula kamu besok harus kerja kan?" perintah Arindi dengan lembut Sejenak Arfaaz bimbang. Tetapi gestur tubuh Arindi seolah selalu meyakinkan. Terpaksa Arfaaz mengangguk menyetujuinya. "Keenan ikut Papa pulang saja ya Nak. Hari sudah malam. Besok Keenan harus sekolah," lanjut Arindi kepada putra semata wayangnya tersebut. Namun dengan cepat, Keenan langsung menggeleng. "Aku mau disini saja. Mau sama mama," jaw
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status