Pasti semua orang yang ada disitu akan mengira Arindi akan meledak emosinya saat mendengar permintaan dari Mama Herman. Tetapi tidak. Arindi sejenak diam. Namun sekejap kemudian air matanya tidak dapat terbendung lagi. "Mudah sekali kalian berucap demikian. Kalian tidak tau betapa hancurnya hati saya dan orang tua saya waktu itu. Bagaimana saya menjadi bahan pembicaraan orang lain. Bagaimana saya dianggap wanita murahan. Dan bagaimana anak saya di cap sebagai anak haram. Kalian tidak tau kan?" tanya Arindi dengan air mata yang terus mengalir Raut wajah kedua orang tua Herman menatap dengan penuh tidak enak hati. "Biarkanlah kami anggap dia cucu sebagaimana mestinya kalau memang dalam tubuhnya mengalir darah putra kami," pinta mereka lagi. Arindi berkacak pinggang "Tidak perlu. Lebih baik seperti ini. Lebih baik dia tidak tau siapa ayah kandungnya yang sebenarnya," jawab Arindi dengan tegas. "Tidak bisa begitu Arindi. Bagaimanapun juga Keenan harus tau siapa ayah kandungnya. Itu
Naina melempar tas dengan keras ke arah Sofa empuk ruang tamu. Ia terlihat emosi sekali. Tak perduli rambutnya yang mulai acak acakan. Dan make up-nya yang juga berantakan. "Argghhh," teriaknya memecah keheningan malam di rumah ini. Namun di luar justru Bu Tami takut. Ia takut jika Naina kesetanan dan melakukan apapun. Bahkan ia memilih untuk diam di luar saja sementara waktu. Teriaknya yang keras, mampu membangunkan Keenandra yang tengah tertidur. Keenan sudah besar. Sudah bisa ditinggal sang mama, jika sang Mama ada urusan keluar. Langkah Keenandra menuruni tangga. "Tante kenapa?" tanya Keenan yang melihat Naina sudah seperti orang gila. Naina menoleh. Menatap tajam ke arah Keenandra. "Tanya sama mamamu sana. Dasar anak haram tidak tau malu," bentak Naina dengan keras. Anak sekecil Keenan yang belum terlalu mengerti, reflek menangis dibentak oleh Naina. Awalnya Keenan baik baik saja. Ia tak mempermasalahkan dengan ketidak adaan mamanya. Namun mendengar bentakan Naina, ia menj
Langkah Naina semakin gusar. Rasa kecewa dan bencinya sudah menjadi satu. Bahkan ia tak tau tujuan akan kemana setelah menaiki taksi ini. "Kemana kita neng?" tanya sopir Taksi akhirnya. Naina sedikit bingung sembari berfikir keras. "Ke Lionfly," jawabnya singkat namun tegas. "Club malam, Neng?" tanya sang sopir taksi sedikit kaget. Naina mengibaskan tanganya di udara sebagai isyarat bahwa dirinya kesal. "Sudahlah Pak. Tidak usah banyak tanya. Kamu saya bayar bukan untuk kepo dengan urusan saya. Mengerti," gerutu Naina. Yang membuat sopir taksi menjadi diam seribu bahasa. Dan akhirnya taksi itu berhenti tepat di tempat yang ingin ia tuju. Naina menyerahkan selembar uang kepada sopir taksi. "Ayo cepat. Mana kembaliannya?" tanya Naina dengan ketus. Sang sopir kaget. Karena kembaliannya hanya seribu rupiah "Waduh saya tidak punya seribuan Mbak. Di ikhlaskan saja kenapa Mbak," jawab sopir taksi. "Enak banget di ikhlasin. Enggak enggak. Aku catat plat nomor kamu ya. Awas kalau ka
Arindi hanya menatap Arfaa dengan nanar saat Bu Tami mengatakan bahwa Naina pergi entah kemana karena kecewa dengan Arfaaz. "Cari dia Mas," perintah Arindi. "Dia sudah besar Rin. Sudah tau mana yang salah dan mana yang benar. Sepertinya tidak perlu aku ajari lagi," jawab Arfaaz dengan enteng. "Sebelum Mama berangkat seharusnya diperlakukan dengan baik. Justru dibuat pontang panting seperti ini. Merepotkan saja," gerutu Bu Tami sembari melipat tanganya di dada Tanpa sungkan bahkan di depan sang besan. Arfaaz mendesah pelan. "Sebaiknya kamu antar pulang mama saja Mas. Lagipula kamu besok harus kerja kan?" perintah Arindi dengan lembut Sejenak Arfaaz bimbang. Tetapi gestur tubuh Arindi seolah selalu meyakinkan. Terpaksa Arfaaz mengangguk menyetujuinya. "Keenan ikut Papa pulang saja ya Nak. Hari sudah malam. Besok Keenan harus sekolah," lanjut Arindi kepada putra semata wayangnya tersebut. Namun dengan cepat, Keenan langsung menggeleng. "Aku mau disini saja. Mau sama mama," jaw
"Sepertinya wajahmu tak asing. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Herman. Naina hanya tersenyum. Yang menambah cantik wajahnya. Ditambah dengan lesung Pipit di pipi chubbinya itu. "Entahlah. Aku pun lupa. Ah tidak perlu mengingatnya. Untuk apa? Yang penting kita disini untuk bersenang-senang bukan?" tanyanya. Herman pun mengangguk. Dan keduanya maju ke depan. Bergoyang dan asyik dengan dentuman suara musik DJ itu. Ditambah dengan bergelas-gelas minuman beralkohol yang membuat Naina merasa malam ini adalah malam yang dirindukannya sekaligus malam yang membahagiakan untuk dia melepas sejenak beban pikiran yang menggelayuti kepalanya saat ini. Hingga tanpa sadar waktu telah beranjak tengah malam. "Nan, ayo pulang," ajak Clara yang juga sempoyongan karena pengaruh minuman keras. Naina yang menaruh kepalanya di meja hanya mengangkat satu tanganya. Tubuh Naina pun tak kalah lemasnya. Bahkan ia seperti kehabisan daya. "Aku pusing banget Ra," jawabnya lirih. "Mungkin Naina mema
"Nan, Naina," teriak Arfaaz sesaat setelah turun dari mobil. Ia mempercepat langkahnya bahkan ia juga berlari kecil. "Faaz, mama kan sudah bilang jika Naina tidak ada. Dia sedang keluar. Dia terlihat frustasi sekali," kata Bu Tami. Arfaaz mengusap wajahnya dengan kasar. Ia berkacak pinggang. "Tetapi ini sudah hampir tengah malam, Ma. Apa pantas seorang istri kelayapan hingga jam segini belum pulang?" Bu Tami hanya mengangkat bahu. "Ya ini juga salahmu Faaz. Kamu terlalu berat sebelah," "Bukan seperti itu Ma. Seandainya aku punya janji dengan Arindi pun, sementara keadaan Naina sedang gawat pun juga aku akan memprioritaskan dia. Ini bukab tentang berat sebelah Ma. Tetapi melainkan tentang pola pikir," kata Arfaaz menjelaskan. Lalu ia berkali-kali menghubungi nomor handphone Naina. Dan nihil. Handphone tersebut tidak aktif. Dan Arfaaz melempar handphone tersebut ke arah Sofa "Sial. Pakai tidak aktif segala," umpatnya. Kini ia hanya sendirian di ruangan ini. Sang mama sudah masuk
"Ayah, bicara apa sih?" gerutu Arindi."Ayah serius Rind."Arindi menggeleng."Tidak Yah. Mau bagaimanapun aku ini istri sah dari Mas Arfaaz. Jadi sepertinya tidak pantas untuk membahas itu," elak Arindi."Difikir-fikit apa yang dikatakan ayahmu ada benarnya juga Rind. Lihat orang tua Herman terlihat menghargai kamu juga ingin sekali bertemu dengan Keenandra. Sementara ibu Arfaaz hanya marah-marah saja," imbuh Bu Asih"Hah? Orang tua Herman juga kesini Bu?" tanya Pak AsmatBu Asih mengangguk pelan."Iya. Mereka juga menyampaikan permohonan ma'af Yah. Sekaligus berniat bertanggung jawab dengan biaya rumah sakit," jawab Bu Asih"Pribadi yang baik," gumam Pak Asmat."Tetapi ayah harus ingat bahwa Herman lah yang membuat Ayah seperti ini," kata Arindi yang mengingatkan."Kalau tentang itu, mungkin hanya mental Ayah saja yang lemah Rin. Andai ayah bisa berfikir panjang, justru ayah ingin Herman menikahimu saja," jawab Pak Asmat."Ayah berhenti mengatakan itu. Arindi tidak suka. Dan sampai
Entah mengapa Naina begitu takut. Apalagi saat mendengar ia telah berada di hotel bersama laki-laki lain. Bayangan Arfaaz seketika langsung melintas di fikiranya.Lagi-lagi Herman hanya tertawa kecil."Kamu takut?"Rona wajah Naina yang berbeda sontak membuat wanita itu menganggukan kepalanya pelan."Tenang saja. Aku kemarin tidur di sofa kok. Ma'af ya aku bawa kamu kesini. Kemarin saat aku bertanya rumah kamu, justru kamu menggeleng tidak mau memberi tau. Mungkin kamu kemarin dalam pengaruh alkohol yang besar. Dan juga tak mungkin aku mengajak kamu untuk ke rumahku. Karena aku masih tinggal bersama orang tua," kata Herman.Dan Naina mengangguk mengerti."Aku yang justru meminta ma'af kepadamu karena telah membuatmu repot," ujar Naina."Oh tidak apa-apa. Kamu temanya Clara, berarti temanku juga dong," jawab Herman yang memaksakan seulas senyum.Naina tersenyum simpul."Apa kamu punya masalah berat hingga kamu minum sebanyak itu Nan?" tanya Herman. Naina sejenak tertunduk."Oh ma'af b