"Ayah, bicara apa sih?" gerutu Arindi."Ayah serius Rind."Arindi menggeleng."Tidak Yah. Mau bagaimanapun aku ini istri sah dari Mas Arfaaz. Jadi sepertinya tidak pantas untuk membahas itu," elak Arindi."Difikir-fikit apa yang dikatakan ayahmu ada benarnya juga Rind. Lihat orang tua Herman terlihat menghargai kamu juga ingin sekali bertemu dengan Keenandra. Sementara ibu Arfaaz hanya marah-marah saja," imbuh Bu Asih"Hah? Orang tua Herman juga kesini Bu?" tanya Pak AsmatBu Asih mengangguk pelan."Iya. Mereka juga menyampaikan permohonan ma'af Yah. Sekaligus berniat bertanggung jawab dengan biaya rumah sakit," jawab Bu Asih"Pribadi yang baik," gumam Pak Asmat."Tetapi ayah harus ingat bahwa Herman lah yang membuat Ayah seperti ini," kata Arindi yang mengingatkan."Kalau tentang itu, mungkin hanya mental Ayah saja yang lemah Rin. Andai ayah bisa berfikir panjang, justru ayah ingin Herman menikahimu saja," jawab Pak Asmat."Ayah berhenti mengatakan itu. Arindi tidak suka. Dan sampai
Entah mengapa Naina begitu takut. Apalagi saat mendengar ia telah berada di hotel bersama laki-laki lain. Bayangan Arfaaz seketika langsung melintas di fikiranya.Lagi-lagi Herman hanya tertawa kecil."Kamu takut?"Rona wajah Naina yang berbeda sontak membuat wanita itu menganggukan kepalanya pelan."Tenang saja. Aku kemarin tidur di sofa kok. Ma'af ya aku bawa kamu kesini. Kemarin saat aku bertanya rumah kamu, justru kamu menggeleng tidak mau memberi tau. Mungkin kamu kemarin dalam pengaruh alkohol yang besar. Dan juga tak mungkin aku mengajak kamu untuk ke rumahku. Karena aku masih tinggal bersama orang tua," kata Herman.Dan Naina mengangguk mengerti."Aku yang justru meminta ma'af kepadamu karena telah membuatmu repot," ujar Naina."Oh tidak apa-apa. Kamu temanya Clara, berarti temanku juga dong," jawab Herman yang memaksakan seulas senyum.Naina tersenyum simpul."Apa kamu punya masalah berat hingga kamu minum sebanyak itu Nan?" tanya Herman. Naina sejenak tertunduk."Oh ma'af b
Naina gugup dengan tuduhan Arfaaz barusan. Ia salah tingkah. Tak tau harus menjawab apa "Jawab Naina," bentak Arfaaz lagi."Kalau iya kenapa? Aku stress Mas. Aku stress. Apa kamu perduli? Tidak kan?" jawab Naina tak kalah kencang.Arfaaz mengusap wajahnya dengan kasar."Ya Tuhan Naina. Kenapa harus ke tempat itu lagi?"Entah kenapa kali ini air mata Naina justru jatuh."Lalu ke tempat siapa yang kamu mau mas? Ke tempat siapa aku harus pulang? Bahkan aku sudah tak punya orang tua. Apa aku harus pulang ke kampung tempat saudara saudaraku yang menempuh jarak yang lumayan. Dan juga belum tentu mau menerima aku Mas? Begitu maumu? Iya?" cerocos Naina yang membuat Arfaaz juga menjadi bingung."Lalu kamu menginap dimana kemarin malam?""Di hotel," jawab Naina singkat.Reflek netra Arfaaz mendelik tajam menatap Naina."Dengan siapa? Dan kamu melakukan apa saja? Hah?" Arfaaz seperti tambah murka."Kenapa? Kamu berfikir bahwa menginap di hotel pun juga berbuat yang macam macam begitu Mas? Apa
Clara yang tengah menyeruput secangkir coklat hangat, mendadak tersedak dengan penuturan Naina."Hah? Serius kamu Nan?" tanya Clara dengan netra yang membulat.Naina menarik nafas panjang dan mengeluarkanya dengan pelan. Sembari tatapannya melengos ke arah jalan raya."Bagaimana lagi Ra? Aku kira menikah dengan konglomerat benar-benar akan mengubah hidupku, tapi nyatanya justru membuatku bertambah stress tau nggak? Aku kira, aku akan gampang mengalahkan istri pertama Mas Arfaaz, namun pada kenyataanya ia itu sekuat karang di lautan tau nggak? Dan bukan hanya itu. Mas Arfaaz itu pelit sekali, gajiku dulu dengan uang bulanan dari Mas Arfaaz lebih besar gajiku dulu. Itu yang membuatku stress. Lihatlah wajahku bertambah kusam bukan? Karena aku tidak mampu memberi skincare lagi, Ra,"Sementara Clara hanya tersenyum kecil "Hanya gara-gara itu kamu memilih cerai Nan?"Naina justru melotot menatap Clara."Gara-gara itu kamu bilang? Coba deh kamu jadi aku. Berat Ra. Berat," keluh Naina lagi.
Entah mengapa hati Naina merasa tersanjung mendengar celetukan dari Herman. Kendati yang ia yakini itu hanya bahan candaan saja."Cepat pesan makan. Kita makan disini bareng-bareng," perintah Clara."Baiklah."Hampir saja Herman melangkah untuk memesan makanan, tiba-tiba handphonenya berdering. Entah dari siapa, namun dengan sigap ia segera mengangkatnya. Dan setelah mengakhiri pembicaraanya lewat sambungan telefon, ia segera menuju meja Clara dan Naina kembali."Duh ma'af ya. Sepertinya aku tidak bisa makan siang bersama kalian. Ada telefon mendadak. Tetapi Nex time wajib di agendakan lagi. Ok?" kata Herman. Ya se friendly itu. Dia terkesan ramah, hangat, juga menyenangkan."Hemm Oke deh. Maklumlah ya, orang sibuk," jawab Clara."Ya sudah aku pergi dulu ya. Bye,"Langkah Herman memang sudah menjauh tetapi harum parfumnya masih tertinggal. Yang membuat Naina tak berkedip menatap arah Herman pergi."Woiii, ngelamun aja sih," tegur Clara."Duh menyenangkan sekali sih dia. Kelihatanya as
Bahkan Bu Melia sempat menitikan air mata kala memeluk Keenandra. Haru. Itulah suasana yang saat itu menyelimuti perasaan siapapun yang ada di ruangan itu.Namun Arindi tetap gengsi mengakuinya. Rasa kesal, amarah dan kecewanya terhadap Herman, mampu menutupi semua itu.Sementara Keenandra menatap bingung ke arah Bu Melia. Ia bergantian menatap sang mama dan wanita di depanya yang mengaku sebagai neneknya tersebut.Lalu sekilas kemudian ia mempererat pelukannya pada pinggang Arindi."Ma'af. Sudah jangan di teruskan. Keenan pasti bingung. Ia masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Arindi dengan dingin sembari tanganya menjauhkan sedikit Keenan dari Bu Melia."Arindi, jangan seperti itu. Kamu jangan egois. Bagaiamana pun juga memang Bu Melia adalah nenek dari Keenan. Mau dikata apalagi? Itu sudah takdir," sanggah Pak Asmat yang sudah lumayan sehat.Arindi mendongak ke atas. Ia berusaha menahan air mata yang memaksanya ingin jatuh."Andai saja laki-laki itu lebih berani,
Tentu Bu Melia kaget mendengar ucapan dari Bu Asih. Ya yang ia tau Arfaaz adalah seorang konglomerat. Tentu orang tuanya hujan orang sembarangan."Maksud Bu Asih, ibu dari Arfaaz begitu?" tanya Bu Melia.Sementara Arindi yang memberi isyarat kepada sang ibu agar tidak berbicara lebih lanjut, tak digubrisnya."Iya. Siapa lagi Bu. Dia galak. Jahat. Boro-boro memeluk cucu saya, mengakui saja mungkin ia tidak mau," jawab Bu Asih tanpa basa basi.Sekilas kemudian Bu Melia menatap Arindi dengan trenyuh."Lalu kenapa kamu masih bertahan Rind?" tanya Bu Melia akhirnya.Arindi yang sedari tadi hanya melengos, kini berusaha menguatkan hati "Karena saya menikah dengan Arfaaz. Bukan dengan ibunya. Selama Arfaaz menyayangi dan memperlakukan putra saya dengan baik, bagi saya apapun masalahnya, saya masih bisa berkata baik baik saja," jawab Arindi dengan tengah namun tegas. Terhambat jelas dia sosok yang mandiri"Termasuk juga mengorbankan perasaanmu yang dimadu oleh Arfaaz, begitu Rind? Aku tekank
"Kenapa kamu bilang seperti itu Man? Apa ucapan kamu tentang dimadu itu memang benar?" tanya Bu Melia menatap heran ke arah putranya.Herman mengangguk kecil. Sementara Bu Melia tentu kaget mendengarnya. Ia menutup mulutnya dengan kedua tanganya."Duh katanya wanita sukses, kok mau saja dimadu. Justru kalau sukses itu pasti bisa berfikir lebih realistis. Atau jangan-jangan memang Arindi itu hanya mengincar harta Arfaaz mungkin," komentar Bu Melia. Wajarlah dia juga seorang ibu-ibu yang hobi berkumpul dengan ibu-ibu yang lain yang mungkin memang suka membicarakan orang lain."Belum tentu Ma. Siapa tau memang ada sesuatu yang membuat Arindi bertahan. Papa lihat dia sosok wanita yang luar biasa. Tak ada tanda-tanda bahwa dia wanita yang matre. Untuk biaya rumah sakit pun dia mati-matian menolak uang dari kita bukan. Andai dia bisa kamu dapatkan, Papa pasti bangga punya menantu yang hebat seperti dia,' komentar Pak Haryanto.Herman hanya diam dibalik kemudi mobilnya. Memang Arindi berbeda