Tentu Bu Melia kaget mendengar ucapan dari Bu Asih. Ya yang ia tau Arfaaz adalah seorang konglomerat. Tentu orang tuanya hujan orang sembarangan."Maksud Bu Asih, ibu dari Arfaaz begitu?" tanya Bu Melia.Sementara Arindi yang memberi isyarat kepada sang ibu agar tidak berbicara lebih lanjut, tak digubrisnya."Iya. Siapa lagi Bu. Dia galak. Jahat. Boro-boro memeluk cucu saya, mengakui saja mungkin ia tidak mau," jawab Bu Asih tanpa basa basi.Sekilas kemudian Bu Melia menatap Arindi dengan trenyuh."Lalu kenapa kamu masih bertahan Rind?" tanya Bu Melia akhirnya.Arindi yang sedari tadi hanya melengos, kini berusaha menguatkan hati "Karena saya menikah dengan Arfaaz. Bukan dengan ibunya. Selama Arfaaz menyayangi dan memperlakukan putra saya dengan baik, bagi saya apapun masalahnya, saya masih bisa berkata baik baik saja," jawab Arindi dengan tengah namun tegas. Terhambat jelas dia sosok yang mandiri"Termasuk juga mengorbankan perasaanmu yang dimadu oleh Arfaaz, begitu Rind? Aku tekank
"Kenapa kamu bilang seperti itu Man? Apa ucapan kamu tentang dimadu itu memang benar?" tanya Bu Melia menatap heran ke arah putranya.Herman mengangguk kecil. Sementara Bu Melia tentu kaget mendengarnya. Ia menutup mulutnya dengan kedua tanganya."Duh katanya wanita sukses, kok mau saja dimadu. Justru kalau sukses itu pasti bisa berfikir lebih realistis. Atau jangan-jangan memang Arindi itu hanya mengincar harta Arfaaz mungkin," komentar Bu Melia. Wajarlah dia juga seorang ibu-ibu yang hobi berkumpul dengan ibu-ibu yang lain yang mungkin memang suka membicarakan orang lain."Belum tentu Ma. Siapa tau memang ada sesuatu yang membuat Arindi bertahan. Papa lihat dia sosok wanita yang luar biasa. Tak ada tanda-tanda bahwa dia wanita yang matre. Untuk biaya rumah sakit pun dia mati-matian menolak uang dari kita bukan. Andai dia bisa kamu dapatkan, Papa pasti bangga punya menantu yang hebat seperti dia,' komentar Pak Haryanto.Herman hanya diam dibalik kemudi mobilnya. Memang Arindi berbeda
Semua terperanjat tatkala mendengar suara Arfaaz yang tiba tiba masuk ke dalam kamar rawat."Ayah dan ibu, boleh membenci saya karena keputusan yang telah saya buat. Tetapi saya tidak mau melepaskan Arindi," jawab Arfaaz. Tegas namun tidak meninggalkan sopan santunya.Sejenak Pak Asmat mengangguk."Aku mengerti. Tetapi kamu juga jangan egois. Kamu dengan seenaknya menikah lagi. Namun saat Arindi menemukan kebahagiaanya langsung kamu larang begitu saja? Memangnya anak saya bahagia begitu di madu?" tanya Pak Asmat dengan tajam.Arfaaz tau pasti itu berat untuk Arindi. Tapi keinginanya untuk membuat bahagia sang mama juga menggebu."Sudah Ayah. Jangan tekan Mas Arfaaz seperti itu. Selama Keenandra bahagia dan baik baik saja. Arindi pun akan merasakan hal yang sama," jawabnya.Bu Asih hanya menatap trenyuh putri tunggalnya itu. Ia tau yang diucapkanya hanya kebohongan semata. Keenan memang bahagia. Tetapi belum tentu Arindi juga bahagia. Jarang sekali ada wanita yang tak sakit saat meliha
Tentu Naina kaget dengan perlakuan Arindi. Netranya menatap tajam ke arah Arindi. Lalu sejenak kemudian menatap Arfaaz. Berharap sang suami tersebut dapat membelanya."Rind," pekik Arfaaz yang dirinya sendiri pun juga terkejut dengan perlakuan Arindi. Namun Arindi tidak gentar sedikitpun."Sekali lagi kamu menyebut anak ku anak haram, aku pastikan akan memperlakukanmu lebih dari ini. Paham kamu," ancam Arindi dengan netra tajam menyalang.Arindi pergi meninggalkan Arfaaz dan Naina yang mematung di tempatnya. Ia sudah tak perduli lagi jika perlakuannya terhadap Naina mungkin menyulut emosi dari Arfaaz. Namun sekali lagi, kembali kepada prinsipnya bahwa apapun yang menyangkut Keenandra ia akan usahakan semaksimal mungkin.Naina masih memegangi pipi bekas tamparan dari Arindi sembari netranya menatap Arfaaz seolah ia butuh pembelaan."Sakit, Mas," keluh NainaNamun Arfaaz hanya sejenak menatap istri keduanya itu. Ia tak berfikir ataupun panik dengan pipi Naina yang merah akibat tamparan
Arindi kaget bukan main, kata-kata itu keluar dari mulut Arfaaz. Sudah sadarkah dia tentang bagaimana perangai wanita yang dipilihnya sebagai istri kedua?Arindi tak menjawab. Ia hanya menghela nafas pelan. Sembari tatapan mata yang menatap lurus ke depan."Kenapa baru sekarang?" tanya Arindi dengan lirih."Maksudmu? Waktu aku menceraikan Naina?" tanya ArfaazArindi tertawa kecil. Lalu menggeleng pelan."Dulu saat aku merintih menangis kala engkau meminta izin untuk menikahi Naina, apa yang ku harapkan selain kamu batal menikahinya Mas? Dan sekarang saat semua sudah terlanjur, engkau baru mengatakan itu? Tidak munafik tentu wanita mana yang tidak akan senang jika sang suami mengatakan hal itu. Tetapi aku juga hati, punya nurani. Naina juga wanita. Dan masalah dalam rumah tangga itu wajar terjadi bukan," ujar Arindi. Yang diam diam menuai pujian dari Arfaaz, tentang bagaimana besar hatinya menerima kehadiran Naina yang tentu tidak mudah baginya itu Sementara Arindi menarik nafas dalam
"Mas, aku nanti izin ke rumah Ayah. Mau lihat keadaan ayah," kata Arindi di sela sarapan pagi mereka.Arfaaz mengangguk."Iya. Sampaikan kepada Ayah ya, aku belum bisa menjenguk beliau. Akhir-akhir ini banyak meeting penting yang tidak bisa aku tinggalkan," jawab ArfaazArindi hanya mengangguk."Nan, barangkali kamu mau ikutan? Ya siapa tau kamu jenuh di rumah," usul Arfaaz. Ya dia hanya menginginkan dua istrinya tersebut untuk bisa akur..Naina langsung tersedak dengan saran dari Arfaaz. Dan Arindi hanya menatapnya santai. Bisa-bisanya Arfaaz menganggap Naina bosan di rumah. Yang padahal sebenarnya ia sering sekali keluar tanpa izin Arfaaz.Naina menggeleng pelan."Tidak Mas. Aku di rumah saja. Daripada menghampiri penyakit," elaknya.Mendengar jawaban dari Naina, Arindi menoleh tajam."Maksut kamu?""Ya kan Mbak Arindi tadi bilang bahwa mau menjenguk bapaknya. Bapaknya sedang sakit bukan? Kalau menular bagaimana? Memangnya situ tanggung jawab?" tanya Naina dengan sinis.Sebagian ora
Setengah hati Hernan menuju rumah orang tua Arindi. Meskipun keluarga Pak Asmat menyambut baik kedatangan mereka."Bagaimana keadaanya Pak? Apakah sudah lebih baik?" tanya Papa Herman.Pak Asmat melempar senyum penuh hormat."Alhamdulillah sudah lebih baik ini. Saya sudah bisa beraktivitas sehari hari. Bagaimana? Apa kita jadwalkan main golf sama sama jika ada kesempatan?" tawar Pak Asmat.Pak Hartono tersenyum lebar menanggapi."Wah benar benar ide yang bagus itu. Lebih baik segera kita agendakan saja," jawab Pak Hartono.Ya kedua keluarga itu sudah terlihat akrab. Bahkan lebih cocok untuk menjadi besan.Suara mobil terdengar berhenti di depan."Nah pucuk dicinta ulampun tiba, itu suara mobil Arindi. Dia kesini juga. Panjang umur mungkin," celetuk Pak Asmat."Apa kamu menghubungi Arindi Man?" tanya Bu Melia penuh harap. Jika memang iya, berarti kesempatan Herman untuk bisa kembali kepada Arindi tentu semakin besar.Namun Herman hanya menggeleng kecil. Mana mungkin ia menghubungi Arin
Arindi salah tingkah dengan ucapannya tersebut. Tapi dengan sempurna ia mampu menutupinya"Maksutku tidak mungkin sekarang. Keenan masih kecil. Aku belum mau menambah momongan." elak Arindi."Belum bukan berarti tidak bukan? Mau kamu tutupi seperti apapun. Darah Herman mengalir di tubuh anakmu Rind. Dan itu tidak bisa kamu sangka. Mau sampai kapanpun. karena itu fakta," ucap Pak Asmat.Arindi hanya diam.Namun Bu Asih sebagai ibu kandung yang tau betul bagaimana sifat Arindi menaruh curiga. Sepertinya memang Arindi menyembunyikan suatu rahasia saat ini.Nina bergegas pulang setelah Herman tiba tiba membatalkan janji mereka. Namun langkahnya pulang ternyata bersamaan dengan Arfaaz yang juga pulang."Ada yang ketinggalan Mas?" tanya Nina.Arfaaz menggeleng "Tidak. Aku ada perlu dengan kamu." Degg..Nina meratap. Ia kaget. Kiranya apa dia melakukan sebuah kesalahan."A-ada apa ya Mas?" tanyanya setengah gugup "Kamu siap siap ya. Lima belas menit lagi kita pergi,""Kemana Mas?""Ke rum