Clara yang tengah menyeruput secangkir coklat hangat, mendadak tersedak dengan penuturan Naina."Hah? Serius kamu Nan?" tanya Clara dengan netra yang membulat.Naina menarik nafas panjang dan mengeluarkanya dengan pelan. Sembari tatapannya melengos ke arah jalan raya."Bagaimana lagi Ra? Aku kira menikah dengan konglomerat benar-benar akan mengubah hidupku, tapi nyatanya justru membuatku bertambah stress tau nggak? Aku kira, aku akan gampang mengalahkan istri pertama Mas Arfaaz, namun pada kenyataanya ia itu sekuat karang di lautan tau nggak? Dan bukan hanya itu. Mas Arfaaz itu pelit sekali, gajiku dulu dengan uang bulanan dari Mas Arfaaz lebih besar gajiku dulu. Itu yang membuatku stress. Lihatlah wajahku bertambah kusam bukan? Karena aku tidak mampu memberi skincare lagi, Ra,"Sementara Clara hanya tersenyum kecil "Hanya gara-gara itu kamu memilih cerai Nan?"Naina justru melotot menatap Clara."Gara-gara itu kamu bilang? Coba deh kamu jadi aku. Berat Ra. Berat," keluh Naina lagi.
Entah mengapa hati Naina merasa tersanjung mendengar celetukan dari Herman. Kendati yang ia yakini itu hanya bahan candaan saja."Cepat pesan makan. Kita makan disini bareng-bareng," perintah Clara."Baiklah."Hampir saja Herman melangkah untuk memesan makanan, tiba-tiba handphonenya berdering. Entah dari siapa, namun dengan sigap ia segera mengangkatnya. Dan setelah mengakhiri pembicaraanya lewat sambungan telefon, ia segera menuju meja Clara dan Naina kembali."Duh ma'af ya. Sepertinya aku tidak bisa makan siang bersama kalian. Ada telefon mendadak. Tetapi Nex time wajib di agendakan lagi. Ok?" kata Herman. Ya se friendly itu. Dia terkesan ramah, hangat, juga menyenangkan."Hemm Oke deh. Maklumlah ya, orang sibuk," jawab Clara."Ya sudah aku pergi dulu ya. Bye,"Langkah Herman memang sudah menjauh tetapi harum parfumnya masih tertinggal. Yang membuat Naina tak berkedip menatap arah Herman pergi."Woiii, ngelamun aja sih," tegur Clara."Duh menyenangkan sekali sih dia. Kelihatanya as
Bahkan Bu Melia sempat menitikan air mata kala memeluk Keenandra. Haru. Itulah suasana yang saat itu menyelimuti perasaan siapapun yang ada di ruangan itu.Namun Arindi tetap gengsi mengakuinya. Rasa kesal, amarah dan kecewanya terhadap Herman, mampu menutupi semua itu.Sementara Keenandra menatap bingung ke arah Bu Melia. Ia bergantian menatap sang mama dan wanita di depanya yang mengaku sebagai neneknya tersebut.Lalu sekilas kemudian ia mempererat pelukannya pada pinggang Arindi."Ma'af. Sudah jangan di teruskan. Keenan pasti bingung. Ia masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Arindi dengan dingin sembari tanganya menjauhkan sedikit Keenan dari Bu Melia."Arindi, jangan seperti itu. Kamu jangan egois. Bagaiamana pun juga memang Bu Melia adalah nenek dari Keenan. Mau dikata apalagi? Itu sudah takdir," sanggah Pak Asmat yang sudah lumayan sehat.Arindi mendongak ke atas. Ia berusaha menahan air mata yang memaksanya ingin jatuh."Andai saja laki-laki itu lebih berani,
Tentu Bu Melia kaget mendengar ucapan dari Bu Asih. Ya yang ia tau Arfaaz adalah seorang konglomerat. Tentu orang tuanya hujan orang sembarangan."Maksud Bu Asih, ibu dari Arfaaz begitu?" tanya Bu Melia.Sementara Arindi yang memberi isyarat kepada sang ibu agar tidak berbicara lebih lanjut, tak digubrisnya."Iya. Siapa lagi Bu. Dia galak. Jahat. Boro-boro memeluk cucu saya, mengakui saja mungkin ia tidak mau," jawab Bu Asih tanpa basa basi.Sekilas kemudian Bu Melia menatap Arindi dengan trenyuh."Lalu kenapa kamu masih bertahan Rind?" tanya Bu Melia akhirnya.Arindi yang sedari tadi hanya melengos, kini berusaha menguatkan hati "Karena saya menikah dengan Arfaaz. Bukan dengan ibunya. Selama Arfaaz menyayangi dan memperlakukan putra saya dengan baik, bagi saya apapun masalahnya, saya masih bisa berkata baik baik saja," jawab Arindi dengan tengah namun tegas. Terhambat jelas dia sosok yang mandiri"Termasuk juga mengorbankan perasaanmu yang dimadu oleh Arfaaz, begitu Rind? Aku tekank
"Kenapa kamu bilang seperti itu Man? Apa ucapan kamu tentang dimadu itu memang benar?" tanya Bu Melia menatap heran ke arah putranya.Herman mengangguk kecil. Sementara Bu Melia tentu kaget mendengarnya. Ia menutup mulutnya dengan kedua tanganya."Duh katanya wanita sukses, kok mau saja dimadu. Justru kalau sukses itu pasti bisa berfikir lebih realistis. Atau jangan-jangan memang Arindi itu hanya mengincar harta Arfaaz mungkin," komentar Bu Melia. Wajarlah dia juga seorang ibu-ibu yang hobi berkumpul dengan ibu-ibu yang lain yang mungkin memang suka membicarakan orang lain."Belum tentu Ma. Siapa tau memang ada sesuatu yang membuat Arindi bertahan. Papa lihat dia sosok wanita yang luar biasa. Tak ada tanda-tanda bahwa dia wanita yang matre. Untuk biaya rumah sakit pun dia mati-matian menolak uang dari kita bukan. Andai dia bisa kamu dapatkan, Papa pasti bangga punya menantu yang hebat seperti dia,' komentar Pak Haryanto.Herman hanya diam dibalik kemudi mobilnya. Memang Arindi berbeda
Semua terperanjat tatkala mendengar suara Arfaaz yang tiba tiba masuk ke dalam kamar rawat."Ayah dan ibu, boleh membenci saya karena keputusan yang telah saya buat. Tetapi saya tidak mau melepaskan Arindi," jawab Arfaaz. Tegas namun tidak meninggalkan sopan santunya.Sejenak Pak Asmat mengangguk."Aku mengerti. Tetapi kamu juga jangan egois. Kamu dengan seenaknya menikah lagi. Namun saat Arindi menemukan kebahagiaanya langsung kamu larang begitu saja? Memangnya anak saya bahagia begitu di madu?" tanya Pak Asmat dengan tajam.Arfaaz tau pasti itu berat untuk Arindi. Tapi keinginanya untuk membuat bahagia sang mama juga menggebu."Sudah Ayah. Jangan tekan Mas Arfaaz seperti itu. Selama Keenandra bahagia dan baik baik saja. Arindi pun akan merasakan hal yang sama," jawabnya.Bu Asih hanya menatap trenyuh putri tunggalnya itu. Ia tau yang diucapkanya hanya kebohongan semata. Keenan memang bahagia. Tetapi belum tentu Arindi juga bahagia. Jarang sekali ada wanita yang tak sakit saat meliha
Tentu Naina kaget dengan perlakuan Arindi. Netranya menatap tajam ke arah Arindi. Lalu sejenak kemudian menatap Arfaaz. Berharap sang suami tersebut dapat membelanya."Rind," pekik Arfaaz yang dirinya sendiri pun juga terkejut dengan perlakuan Arindi. Namun Arindi tidak gentar sedikitpun."Sekali lagi kamu menyebut anak ku anak haram, aku pastikan akan memperlakukanmu lebih dari ini. Paham kamu," ancam Arindi dengan netra tajam menyalang.Arindi pergi meninggalkan Arfaaz dan Naina yang mematung di tempatnya. Ia sudah tak perduli lagi jika perlakuannya terhadap Naina mungkin menyulut emosi dari Arfaaz. Namun sekali lagi, kembali kepada prinsipnya bahwa apapun yang menyangkut Keenandra ia akan usahakan semaksimal mungkin.Naina masih memegangi pipi bekas tamparan dari Arindi sembari netranya menatap Arfaaz seolah ia butuh pembelaan."Sakit, Mas," keluh NainaNamun Arfaaz hanya sejenak menatap istri keduanya itu. Ia tak berfikir ataupun panik dengan pipi Naina yang merah akibat tamparan
Arindi kaget bukan main, kata-kata itu keluar dari mulut Arfaaz. Sudah sadarkah dia tentang bagaimana perangai wanita yang dipilihnya sebagai istri kedua?Arindi tak menjawab. Ia hanya menghela nafas pelan. Sembari tatapan mata yang menatap lurus ke depan."Kenapa baru sekarang?" tanya Arindi dengan lirih."Maksudmu? Waktu aku menceraikan Naina?" tanya ArfaazArindi tertawa kecil. Lalu menggeleng pelan."Dulu saat aku merintih menangis kala engkau meminta izin untuk menikahi Naina, apa yang ku harapkan selain kamu batal menikahinya Mas? Dan sekarang saat semua sudah terlanjur, engkau baru mengatakan itu? Tidak munafik tentu wanita mana yang tidak akan senang jika sang suami mengatakan hal itu. Tetapi aku juga hati, punya nurani. Naina juga wanita. Dan masalah dalam rumah tangga itu wajar terjadi bukan," ujar Arindi. Yang diam diam menuai pujian dari Arfaaz, tentang bagaimana besar hatinya menerima kehadiran Naina yang tentu tidak mudah baginya itu Sementara Arindi menarik nafas dalam
Naina hanya melengos mendengar alasan Arindi. Saat para pelayat satu persatu saat sudah pulang. Datanglah seorang tamu berpakaian rapi.Semula mereka mengira bahwa laki laki itu adalah teman atau klien Arfaaz. Ternyata laki laki itu memperkenalkan diri sebagai pengacara."Saya pengacara dari Pak Arfaaz, ingin menyampaikan amanah. Bahwa beliau mempunyai tabungan yang ia amanahkan kepada istrinya jika meninggal."Naina kaget. Namun dalam hati tentu ia bernafas lega. Ia kira ia akan hidup miskin setelah ditinggal mati Arfaaz dan perusahaannya terancam bangkrut. Namun rupanya suami pelitnya itu menyiapkan tabungan untuk mereka. Pengacara tersebut menyerahkan masing masing satu buku tabungan. Saat Arindi menerima buku tabungan itu, ekor mata Naina sempat meliriknya. Jumlahnya Wow cukup fantastis.Dan saat tiba gilirannya. Jumlahnya sangat berbeda jauh dengan yang di terima Arindi."Loh Pak. Kok jumlahnya tidak sama?""Iya Bu. Dikarenakan pernikahan Mbak Arindi dan Mas Arfaaz sudah berjala
Naina masih gemetar "Mbak Arindi," teriaknya. Suaranya bahkan hampir tercekat."Mbak," panggilnya sekali lagi sedikit keras.Arindi mendekat."Ada apa?""Mas Arfaaz kecelakaan. Dan dia meninggal.""Hah, serius kamu?""Aku Baru saja dapat telefon dari kepolisian. Dan sekarang dibawa ke RS BAYANGKARA," Jawab Naina..Arindi sebenarnya ingin menangis, meraung, menjerit saat itu. Tapi itu bukan solusi di saat genting. Ia segera menyambar kunci mobil."Aku ikut Mbak," tanya Naina dengan panik. Ia masuk ke kamar dulu."Tidak usah pakai acara dandan segala. Ini darurat," bentak ArindiSaat itu Naina tak memilih berdebat. Kecuali menuruti."Ra, kamu pulang dulu ya. Aku Mau ke rumah sakit. Suamiku kecelakaan,""Oh iya Nan. Tidak apa apa."Sepeninggal Naina, Clara hanya menggeleng. Membayangkan apesnya menjadi Naina saat itu.Saat sampai di rumah sakit, Arindi segera berlari di lorong rumah sakit. Tak perduli banyak pasang mata yang menatapnya."Sus, pasien kecelakaan atas nama Arfaaz dirawat d
Clara mengusap wajahnya dengan kasar. Berarti memang apa yang dikatakan Naina saat itu adalah benar."Ya Tuhan, Man. Kamu kok tega sekali sih?" protes Clara."Tega? Maksut kamu? Aku tidak menyakitinya.""Kamu itu sebagai laki laki peka sedikit kenapa sih. Kamu tau jika Naina itu suka dengan kamu. Masih tidak mengerti. Selama ini kamu berusaha mendekatinya. Lalu untuk apa kalau Ki tidak suka?" tanya Clara lagi."Ya Jan sikapku ke Naina ya sama seperti ke kamu Ra. Kita teman. Aku tidak pernah memberinya harapan lebih.""Tapi kalau dia berharap lebih bagaimana?""Ya dia yang salah.""Loh kok dia yang salah?" tanya Clara."Dia sudah bersuami. Kalaupun menjalin hubungan denganku, tujuannya untuk apa? Suatu hubungan itu harus ada tujuan yang jelas ke depannya seperti apa. Kalau aku dan Naina menikah itu adalah hal yang mustahil." jawab HermanAlis Clara bertaut."Kenapa mustahil? Kalian tidak ada ikatan darah. Kalian juga satu agama. Toh Naina juga hanya menjadi istri kedua. Bisa lah menik
Sesampai rumah juga Naina tak mengatakan apapun. Meskipun ia begitu kesal dengan Herman. Namun justru seperti Arfaaz yang terkena dampaknya."Nan, aku balik ke kantor ya," ucap Arfaaz.Naina hanya cemberut.'Mau balik ke kantor, mau balik ke alam kubur. Aku tidak perduli,' gumam Naina dalam hati.Namun saat Arfaaz hendak masuk ke dalam mobilnya, tiba-tiba ada sebuah taksi yang berhenti di depan rumah. Dan Arfaaz yakin dibalik taksi itu ada Arindi.Benar saja. Arindi turun bersama Keenandra. Dan laki laki itu mengurungkan niatnya untuk balik ke kantor."Rind," sapa Arfaaz."Iya.""Ada yang perlu aku bicarakan Rind.""Iya aku ingat Mas. Ada apa?"Langkah Arindi menuju teras. Dan Arfaaz mengekor di belakang."Kamu sedekat apa sih dengan Herman sekarang?" tanya Arfaaz.Arindi tertawa kecil."Dekat? Aku tidak dekat sedikit pun dengan dia. Ya kali sudah besuami dekat dengan laki laki lain," jawab Arindi dengan santai."Tapi lihatlah, bagaimana orang tuamu sekarang tidak menyukaiku Rind. It
Arfaaz tidak dapat berkata apa apa dengan penolakan Arindi tersebut. Ya memang karena nyatanya ada Naina yang sudah menunggunya di luar. Ia kenal Arindi menang berwatak tegas dan keras."Aku pesankan taksi untuk kamu ya nanti," tawar Arfaaz lagi.Arindi menggeleng pelan."Tidak usah Mas. Aku bisa pesan sendiri." jawab Arindi "Ya sudah. Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku ya." pesan Arfaaz lagi.Arindi hanya mengangguk."Ada hal penting juga yang ingin aku sampaikan Rind. Tapi nanti saja menunggu di rumah," pesannya lagi.Arfaaz hanya menurut. Ia memilih segera berlalu dari situ. Bukan karena apa. Toh kehadirannya juga sudah tidak diharapkan oleh orang tua Arindi. Jadi untuk apa?Naina sudah ada di mobil. Hatinya kesal bukan main. Bukan karena direndahkan karena menjadi istri kedua oleh orang lain. Tetapi karena Herman menganggapnya mereka hanya teman biasa.Lalu apa artinya kedekatan mereka selama ini?"Lama sekali sih Mas." gerutu Naina."Sabar Nan. Aku juga harus pamit kepada ora
"Bu," pekik Arindi sebagai bentuk rasa protesnya."Biarlah Arindi. Biar semua tau dan menilai. Bagaimana suamimu ini," jawab Bu Asih."Kasihan sekali sih Arindi. Padahal kamu cantik, pintar, hebat, sukses lagi, kenapa mau saja dimadu?" jawab Mama Herman."Tante, Bu, saya kesini tidak berharap mendapatkan komentar apapun. Mau bagaimanapun, mau seperti apapun kehidupan saya, tetapi tidak dapat menutup kenyataan bahwa memang Naina adalah istri saya." jawab Arfaaz dengan berani.Naina yang sudah kesal karena Herman. Kini harus mendapatkan kesal lebih dobel lagi. Ia memegang tangan Arfaaz. Menandakan ia tidak suka di sini. Herman pun hanya diam seribu bahasa.Naina tiba tiba keluar begitu saja."Nan," pekik Arfaaz. Naina juga tidak menggubris lagi. Namun Arfaaz juga tidak mengejarnya sama sekali. Ia tentu tidak enak hati dengan keluarga mertuanya.Naina kesal dan menunggu di ruang tunggu yang agak jauh dengan kamar perawatan sang mertua.. "Heran dengan Mas Arfaaz. Orang kok hobinya mencar
Arindi salah tingkah dengan ucapannya tersebut. Tapi dengan sempurna ia mampu menutupinya"Maksutku tidak mungkin sekarang. Keenan masih kecil. Aku belum mau menambah momongan." elak Arindi."Belum bukan berarti tidak bukan? Mau kamu tutupi seperti apapun. Darah Herman mengalir di tubuh anakmu Rind. Dan itu tidak bisa kamu sangka. Mau sampai kapanpun. karena itu fakta," ucap Pak Asmat.Arindi hanya diam.Namun Bu Asih sebagai ibu kandung yang tau betul bagaimana sifat Arindi menaruh curiga. Sepertinya memang Arindi menyembunyikan suatu rahasia saat ini.Nina bergegas pulang setelah Herman tiba tiba membatalkan janji mereka. Namun langkahnya pulang ternyata bersamaan dengan Arfaaz yang juga pulang."Ada yang ketinggalan Mas?" tanya Nina.Arfaaz menggeleng "Tidak. Aku ada perlu dengan kamu." Degg..Nina meratap. Ia kaget. Kiranya apa dia melakukan sebuah kesalahan."A-ada apa ya Mas?" tanyanya setengah gugup "Kamu siap siap ya. Lima belas menit lagi kita pergi,""Kemana Mas?""Ke rum
Setengah hati Hernan menuju rumah orang tua Arindi. Meskipun keluarga Pak Asmat menyambut baik kedatangan mereka."Bagaimana keadaanya Pak? Apakah sudah lebih baik?" tanya Papa Herman.Pak Asmat melempar senyum penuh hormat."Alhamdulillah sudah lebih baik ini. Saya sudah bisa beraktivitas sehari hari. Bagaimana? Apa kita jadwalkan main golf sama sama jika ada kesempatan?" tawar Pak Asmat.Pak Hartono tersenyum lebar menanggapi."Wah benar benar ide yang bagus itu. Lebih baik segera kita agendakan saja," jawab Pak Hartono.Ya kedua keluarga itu sudah terlihat akrab. Bahkan lebih cocok untuk menjadi besan.Suara mobil terdengar berhenti di depan."Nah pucuk dicinta ulampun tiba, itu suara mobil Arindi. Dia kesini juga. Panjang umur mungkin," celetuk Pak Asmat."Apa kamu menghubungi Arindi Man?" tanya Bu Melia penuh harap. Jika memang iya, berarti kesempatan Herman untuk bisa kembali kepada Arindi tentu semakin besar.Namun Herman hanya menggeleng kecil. Mana mungkin ia menghubungi Arin
"Mas, aku nanti izin ke rumah Ayah. Mau lihat keadaan ayah," kata Arindi di sela sarapan pagi mereka.Arfaaz mengangguk."Iya. Sampaikan kepada Ayah ya, aku belum bisa menjenguk beliau. Akhir-akhir ini banyak meeting penting yang tidak bisa aku tinggalkan," jawab ArfaazArindi hanya mengangguk."Nan, barangkali kamu mau ikutan? Ya siapa tau kamu jenuh di rumah," usul Arfaaz. Ya dia hanya menginginkan dua istrinya tersebut untuk bisa akur..Naina langsung tersedak dengan saran dari Arfaaz. Dan Arindi hanya menatapnya santai. Bisa-bisanya Arfaaz menganggap Naina bosan di rumah. Yang padahal sebenarnya ia sering sekali keluar tanpa izin Arfaaz.Naina menggeleng pelan."Tidak Mas. Aku di rumah saja. Daripada menghampiri penyakit," elaknya.Mendengar jawaban dari Naina, Arindi menoleh tajam."Maksut kamu?""Ya kan Mbak Arindi tadi bilang bahwa mau menjenguk bapaknya. Bapaknya sedang sakit bukan? Kalau menular bagaimana? Memangnya situ tanggung jawab?" tanya Naina dengan sinis.Sebagian ora