Langkah Naina semakin gusar. Rasa kecewa dan bencinya sudah menjadi satu. Bahkan ia tak tau tujuan akan kemana setelah menaiki taksi ini. "Kemana kita neng?" tanya sopir Taksi akhirnya. Naina sedikit bingung sembari berfikir keras. "Ke Lionfly," jawabnya singkat namun tegas. "Club malam, Neng?" tanya sang sopir taksi sedikit kaget. Naina mengibaskan tanganya di udara sebagai isyarat bahwa dirinya kesal. "Sudahlah Pak. Tidak usah banyak tanya. Kamu saya bayar bukan untuk kepo dengan urusan saya. Mengerti," gerutu Naina. Yang membuat sopir taksi menjadi diam seribu bahasa. Dan akhirnya taksi itu berhenti tepat di tempat yang ingin ia tuju. Naina menyerahkan selembar uang kepada sopir taksi. "Ayo cepat. Mana kembaliannya?" tanya Naina dengan ketus. Sang sopir kaget. Karena kembaliannya hanya seribu rupiah "Waduh saya tidak punya seribuan Mbak. Di ikhlaskan saja kenapa Mbak," jawab sopir taksi. "Enak banget di ikhlasin. Enggak enggak. Aku catat plat nomor kamu ya. Awas kalau ka
Arindi hanya menatap Arfaa dengan nanar saat Bu Tami mengatakan bahwa Naina pergi entah kemana karena kecewa dengan Arfaaz. "Cari dia Mas," perintah Arindi. "Dia sudah besar Rin. Sudah tau mana yang salah dan mana yang benar. Sepertinya tidak perlu aku ajari lagi," jawab Arfaaz dengan enteng. "Sebelum Mama berangkat seharusnya diperlakukan dengan baik. Justru dibuat pontang panting seperti ini. Merepotkan saja," gerutu Bu Tami sembari melipat tanganya di dada Tanpa sungkan bahkan di depan sang besan. Arfaaz mendesah pelan. "Sebaiknya kamu antar pulang mama saja Mas. Lagipula kamu besok harus kerja kan?" perintah Arindi dengan lembut Sejenak Arfaaz bimbang. Tetapi gestur tubuh Arindi seolah selalu meyakinkan. Terpaksa Arfaaz mengangguk menyetujuinya. "Keenan ikut Papa pulang saja ya Nak. Hari sudah malam. Besok Keenan harus sekolah," lanjut Arindi kepada putra semata wayangnya tersebut. Namun dengan cepat, Keenan langsung menggeleng. "Aku mau disini saja. Mau sama mama," jaw
"Sepertinya wajahmu tak asing. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Herman. Naina hanya tersenyum. Yang menambah cantik wajahnya. Ditambah dengan lesung Pipit di pipi chubbinya itu. "Entahlah. Aku pun lupa. Ah tidak perlu mengingatnya. Untuk apa? Yang penting kita disini untuk bersenang-senang bukan?" tanyanya. Herman pun mengangguk. Dan keduanya maju ke depan. Bergoyang dan asyik dengan dentuman suara musik DJ itu. Ditambah dengan bergelas-gelas minuman beralkohol yang membuat Naina merasa malam ini adalah malam yang dirindukannya sekaligus malam yang membahagiakan untuk dia melepas sejenak beban pikiran yang menggelayuti kepalanya saat ini. Hingga tanpa sadar waktu telah beranjak tengah malam. "Nan, ayo pulang," ajak Clara yang juga sempoyongan karena pengaruh minuman keras. Naina yang menaruh kepalanya di meja hanya mengangkat satu tanganya. Tubuh Naina pun tak kalah lemasnya. Bahkan ia seperti kehabisan daya. "Aku pusing banget Ra," jawabnya lirih. "Mungkin Naina mema
"Nan, Naina," teriak Arfaaz sesaat setelah turun dari mobil. Ia mempercepat langkahnya bahkan ia juga berlari kecil. "Faaz, mama kan sudah bilang jika Naina tidak ada. Dia sedang keluar. Dia terlihat frustasi sekali," kata Bu Tami. Arfaaz mengusap wajahnya dengan kasar. Ia berkacak pinggang. "Tetapi ini sudah hampir tengah malam, Ma. Apa pantas seorang istri kelayapan hingga jam segini belum pulang?" Bu Tami hanya mengangkat bahu. "Ya ini juga salahmu Faaz. Kamu terlalu berat sebelah," "Bukan seperti itu Ma. Seandainya aku punya janji dengan Arindi pun, sementara keadaan Naina sedang gawat pun juga aku akan memprioritaskan dia. Ini bukab tentang berat sebelah Ma. Tetapi melainkan tentang pola pikir," kata Arfaaz menjelaskan. Lalu ia berkali-kali menghubungi nomor handphone Naina. Dan nihil. Handphone tersebut tidak aktif. Dan Arfaaz melempar handphone tersebut ke arah Sofa "Sial. Pakai tidak aktif segala," umpatnya. Kini ia hanya sendirian di ruangan ini. Sang mama sudah masuk
"Ayah, bicara apa sih?" gerutu Arindi."Ayah serius Rind."Arindi menggeleng."Tidak Yah. Mau bagaimanapun aku ini istri sah dari Mas Arfaaz. Jadi sepertinya tidak pantas untuk membahas itu," elak Arindi."Difikir-fikit apa yang dikatakan ayahmu ada benarnya juga Rind. Lihat orang tua Herman terlihat menghargai kamu juga ingin sekali bertemu dengan Keenandra. Sementara ibu Arfaaz hanya marah-marah saja," imbuh Bu Asih"Hah? Orang tua Herman juga kesini Bu?" tanya Pak AsmatBu Asih mengangguk pelan."Iya. Mereka juga menyampaikan permohonan ma'af Yah. Sekaligus berniat bertanggung jawab dengan biaya rumah sakit," jawab Bu Asih"Pribadi yang baik," gumam Pak Asmat."Tetapi ayah harus ingat bahwa Herman lah yang membuat Ayah seperti ini," kata Arindi yang mengingatkan."Kalau tentang itu, mungkin hanya mental Ayah saja yang lemah Rin. Andai ayah bisa berfikir panjang, justru ayah ingin Herman menikahimu saja," jawab Pak Asmat."Ayah berhenti mengatakan itu. Arindi tidak suka. Dan sampai
Entah mengapa Naina begitu takut. Apalagi saat mendengar ia telah berada di hotel bersama laki-laki lain. Bayangan Arfaaz seketika langsung melintas di fikiranya.Lagi-lagi Herman hanya tertawa kecil."Kamu takut?"Rona wajah Naina yang berbeda sontak membuat wanita itu menganggukan kepalanya pelan."Tenang saja. Aku kemarin tidur di sofa kok. Ma'af ya aku bawa kamu kesini. Kemarin saat aku bertanya rumah kamu, justru kamu menggeleng tidak mau memberi tau. Mungkin kamu kemarin dalam pengaruh alkohol yang besar. Dan juga tak mungkin aku mengajak kamu untuk ke rumahku. Karena aku masih tinggal bersama orang tua," kata Herman.Dan Naina mengangguk mengerti."Aku yang justru meminta ma'af kepadamu karena telah membuatmu repot," ujar Naina."Oh tidak apa-apa. Kamu temanya Clara, berarti temanku juga dong," jawab Herman yang memaksakan seulas senyum.Naina tersenyum simpul."Apa kamu punya masalah berat hingga kamu minum sebanyak itu Nan?" tanya Herman. Naina sejenak tertunduk."Oh ma'af b
Naina gugup dengan tuduhan Arfaaz barusan. Ia salah tingkah. Tak tau harus menjawab apa "Jawab Naina," bentak Arfaaz lagi."Kalau iya kenapa? Aku stress Mas. Aku stress. Apa kamu perduli? Tidak kan?" jawab Naina tak kalah kencang.Arfaaz mengusap wajahnya dengan kasar."Ya Tuhan Naina. Kenapa harus ke tempat itu lagi?"Entah kenapa kali ini air mata Naina justru jatuh."Lalu ke tempat siapa yang kamu mau mas? Ke tempat siapa aku harus pulang? Bahkan aku sudah tak punya orang tua. Apa aku harus pulang ke kampung tempat saudara saudaraku yang menempuh jarak yang lumayan. Dan juga belum tentu mau menerima aku Mas? Begitu maumu? Iya?" cerocos Naina yang membuat Arfaaz juga menjadi bingung."Lalu kamu menginap dimana kemarin malam?""Di hotel," jawab Naina singkat.Reflek netra Arfaaz mendelik tajam menatap Naina."Dengan siapa? Dan kamu melakukan apa saja? Hah?" Arfaaz seperti tambah murka."Kenapa? Kamu berfikir bahwa menginap di hotel pun juga berbuat yang macam macam begitu Mas? Apa
Clara yang tengah menyeruput secangkir coklat hangat, mendadak tersedak dengan penuturan Naina."Hah? Serius kamu Nan?" tanya Clara dengan netra yang membulat.Naina menarik nafas panjang dan mengeluarkanya dengan pelan. Sembari tatapannya melengos ke arah jalan raya."Bagaimana lagi Ra? Aku kira menikah dengan konglomerat benar-benar akan mengubah hidupku, tapi nyatanya justru membuatku bertambah stress tau nggak? Aku kira, aku akan gampang mengalahkan istri pertama Mas Arfaaz, namun pada kenyataanya ia itu sekuat karang di lautan tau nggak? Dan bukan hanya itu. Mas Arfaaz itu pelit sekali, gajiku dulu dengan uang bulanan dari Mas Arfaaz lebih besar gajiku dulu. Itu yang membuatku stress. Lihatlah wajahku bertambah kusam bukan? Karena aku tidak mampu memberi skincare lagi, Ra,"Sementara Clara hanya tersenyum kecil "Hanya gara-gara itu kamu memilih cerai Nan?"Naina justru melotot menatap Clara."Gara-gara itu kamu bilang? Coba deh kamu jadi aku. Berat Ra. Berat," keluh Naina lagi.
Naina hanya melengos mendengar alasan Arindi. Saat para pelayat satu persatu saat sudah pulang. Datanglah seorang tamu berpakaian rapi.Semula mereka mengira bahwa laki laki itu adalah teman atau klien Arfaaz. Ternyata laki laki itu memperkenalkan diri sebagai pengacara."Saya pengacara dari Pak Arfaaz, ingin menyampaikan amanah. Bahwa beliau mempunyai tabungan yang ia amanahkan kepada istrinya jika meninggal."Naina kaget. Namun dalam hati tentu ia bernafas lega. Ia kira ia akan hidup miskin setelah ditinggal mati Arfaaz dan perusahaannya terancam bangkrut. Namun rupanya suami pelitnya itu menyiapkan tabungan untuk mereka. Pengacara tersebut menyerahkan masing masing satu buku tabungan. Saat Arindi menerima buku tabungan itu, ekor mata Naina sempat meliriknya. Jumlahnya Wow cukup fantastis.Dan saat tiba gilirannya. Jumlahnya sangat berbeda jauh dengan yang di terima Arindi."Loh Pak. Kok jumlahnya tidak sama?""Iya Bu. Dikarenakan pernikahan Mbak Arindi dan Mas Arfaaz sudah berjala
Naina masih gemetar "Mbak Arindi," teriaknya. Suaranya bahkan hampir tercekat."Mbak," panggilnya sekali lagi sedikit keras.Arindi mendekat."Ada apa?""Mas Arfaaz kecelakaan. Dan dia meninggal.""Hah, serius kamu?""Aku Baru saja dapat telefon dari kepolisian. Dan sekarang dibawa ke RS BAYANGKARA," Jawab Naina..Arindi sebenarnya ingin menangis, meraung, menjerit saat itu. Tapi itu bukan solusi di saat genting. Ia segera menyambar kunci mobil."Aku ikut Mbak," tanya Naina dengan panik. Ia masuk ke kamar dulu."Tidak usah pakai acara dandan segala. Ini darurat," bentak ArindiSaat itu Naina tak memilih berdebat. Kecuali menuruti."Ra, kamu pulang dulu ya. Aku Mau ke rumah sakit. Suamiku kecelakaan,""Oh iya Nan. Tidak apa apa."Sepeninggal Naina, Clara hanya menggeleng. Membayangkan apesnya menjadi Naina saat itu.Saat sampai di rumah sakit, Arindi segera berlari di lorong rumah sakit. Tak perduli banyak pasang mata yang menatapnya."Sus, pasien kecelakaan atas nama Arfaaz dirawat d
Clara mengusap wajahnya dengan kasar. Berarti memang apa yang dikatakan Naina saat itu adalah benar."Ya Tuhan, Man. Kamu kok tega sekali sih?" protes Clara."Tega? Maksut kamu? Aku tidak menyakitinya.""Kamu itu sebagai laki laki peka sedikit kenapa sih. Kamu tau jika Naina itu suka dengan kamu. Masih tidak mengerti. Selama ini kamu berusaha mendekatinya. Lalu untuk apa kalau Ki tidak suka?" tanya Clara lagi."Ya Jan sikapku ke Naina ya sama seperti ke kamu Ra. Kita teman. Aku tidak pernah memberinya harapan lebih.""Tapi kalau dia berharap lebih bagaimana?""Ya dia yang salah.""Loh kok dia yang salah?" tanya Clara."Dia sudah bersuami. Kalaupun menjalin hubungan denganku, tujuannya untuk apa? Suatu hubungan itu harus ada tujuan yang jelas ke depannya seperti apa. Kalau aku dan Naina menikah itu adalah hal yang mustahil." jawab HermanAlis Clara bertaut."Kenapa mustahil? Kalian tidak ada ikatan darah. Kalian juga satu agama. Toh Naina juga hanya menjadi istri kedua. Bisa lah menik
Sesampai rumah juga Naina tak mengatakan apapun. Meskipun ia begitu kesal dengan Herman. Namun justru seperti Arfaaz yang terkena dampaknya."Nan, aku balik ke kantor ya," ucap Arfaaz.Naina hanya cemberut.'Mau balik ke kantor, mau balik ke alam kubur. Aku tidak perduli,' gumam Naina dalam hati.Namun saat Arfaaz hendak masuk ke dalam mobilnya, tiba-tiba ada sebuah taksi yang berhenti di depan rumah. Dan Arfaaz yakin dibalik taksi itu ada Arindi.Benar saja. Arindi turun bersama Keenandra. Dan laki laki itu mengurungkan niatnya untuk balik ke kantor."Rind," sapa Arfaaz."Iya.""Ada yang perlu aku bicarakan Rind.""Iya aku ingat Mas. Ada apa?"Langkah Arindi menuju teras. Dan Arfaaz mengekor di belakang."Kamu sedekat apa sih dengan Herman sekarang?" tanya Arfaaz.Arindi tertawa kecil."Dekat? Aku tidak dekat sedikit pun dengan dia. Ya kali sudah besuami dekat dengan laki laki lain," jawab Arindi dengan santai."Tapi lihatlah, bagaimana orang tuamu sekarang tidak menyukaiku Rind. It
Arfaaz tidak dapat berkata apa apa dengan penolakan Arindi tersebut. Ya memang karena nyatanya ada Naina yang sudah menunggunya di luar. Ia kenal Arindi menang berwatak tegas dan keras."Aku pesankan taksi untuk kamu ya nanti," tawar Arfaaz lagi.Arindi menggeleng pelan."Tidak usah Mas. Aku bisa pesan sendiri." jawab Arindi "Ya sudah. Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku ya." pesan Arfaaz lagi.Arindi hanya mengangguk."Ada hal penting juga yang ingin aku sampaikan Rind. Tapi nanti saja menunggu di rumah," pesannya lagi.Arfaaz hanya menurut. Ia memilih segera berlalu dari situ. Bukan karena apa. Toh kehadirannya juga sudah tidak diharapkan oleh orang tua Arindi. Jadi untuk apa?Naina sudah ada di mobil. Hatinya kesal bukan main. Bukan karena direndahkan karena menjadi istri kedua oleh orang lain. Tetapi karena Herman menganggapnya mereka hanya teman biasa.Lalu apa artinya kedekatan mereka selama ini?"Lama sekali sih Mas." gerutu Naina."Sabar Nan. Aku juga harus pamit kepada ora
"Bu," pekik Arindi sebagai bentuk rasa protesnya."Biarlah Arindi. Biar semua tau dan menilai. Bagaimana suamimu ini," jawab Bu Asih."Kasihan sekali sih Arindi. Padahal kamu cantik, pintar, hebat, sukses lagi, kenapa mau saja dimadu?" jawab Mama Herman."Tante, Bu, saya kesini tidak berharap mendapatkan komentar apapun. Mau bagaimanapun, mau seperti apapun kehidupan saya, tetapi tidak dapat menutup kenyataan bahwa memang Naina adalah istri saya." jawab Arfaaz dengan berani.Naina yang sudah kesal karena Herman. Kini harus mendapatkan kesal lebih dobel lagi. Ia memegang tangan Arfaaz. Menandakan ia tidak suka di sini. Herman pun hanya diam seribu bahasa.Naina tiba tiba keluar begitu saja."Nan," pekik Arfaaz. Naina juga tidak menggubris lagi. Namun Arfaaz juga tidak mengejarnya sama sekali. Ia tentu tidak enak hati dengan keluarga mertuanya.Naina kesal dan menunggu di ruang tunggu yang agak jauh dengan kamar perawatan sang mertua.. "Heran dengan Mas Arfaaz. Orang kok hobinya mencar
Arindi salah tingkah dengan ucapannya tersebut. Tapi dengan sempurna ia mampu menutupinya"Maksutku tidak mungkin sekarang. Keenan masih kecil. Aku belum mau menambah momongan." elak Arindi."Belum bukan berarti tidak bukan? Mau kamu tutupi seperti apapun. Darah Herman mengalir di tubuh anakmu Rind. Dan itu tidak bisa kamu sangka. Mau sampai kapanpun. karena itu fakta," ucap Pak Asmat.Arindi hanya diam.Namun Bu Asih sebagai ibu kandung yang tau betul bagaimana sifat Arindi menaruh curiga. Sepertinya memang Arindi menyembunyikan suatu rahasia saat ini.Nina bergegas pulang setelah Herman tiba tiba membatalkan janji mereka. Namun langkahnya pulang ternyata bersamaan dengan Arfaaz yang juga pulang."Ada yang ketinggalan Mas?" tanya Nina.Arfaaz menggeleng "Tidak. Aku ada perlu dengan kamu." Degg..Nina meratap. Ia kaget. Kiranya apa dia melakukan sebuah kesalahan."A-ada apa ya Mas?" tanyanya setengah gugup "Kamu siap siap ya. Lima belas menit lagi kita pergi,""Kemana Mas?""Ke rum
Setengah hati Hernan menuju rumah orang tua Arindi. Meskipun keluarga Pak Asmat menyambut baik kedatangan mereka."Bagaimana keadaanya Pak? Apakah sudah lebih baik?" tanya Papa Herman.Pak Asmat melempar senyum penuh hormat."Alhamdulillah sudah lebih baik ini. Saya sudah bisa beraktivitas sehari hari. Bagaimana? Apa kita jadwalkan main golf sama sama jika ada kesempatan?" tawar Pak Asmat.Pak Hartono tersenyum lebar menanggapi."Wah benar benar ide yang bagus itu. Lebih baik segera kita agendakan saja," jawab Pak Hartono.Ya kedua keluarga itu sudah terlihat akrab. Bahkan lebih cocok untuk menjadi besan.Suara mobil terdengar berhenti di depan."Nah pucuk dicinta ulampun tiba, itu suara mobil Arindi. Dia kesini juga. Panjang umur mungkin," celetuk Pak Asmat."Apa kamu menghubungi Arindi Man?" tanya Bu Melia penuh harap. Jika memang iya, berarti kesempatan Herman untuk bisa kembali kepada Arindi tentu semakin besar.Namun Herman hanya menggeleng kecil. Mana mungkin ia menghubungi Arin
"Mas, aku nanti izin ke rumah Ayah. Mau lihat keadaan ayah," kata Arindi di sela sarapan pagi mereka.Arfaaz mengangguk."Iya. Sampaikan kepada Ayah ya, aku belum bisa menjenguk beliau. Akhir-akhir ini banyak meeting penting yang tidak bisa aku tinggalkan," jawab ArfaazArindi hanya mengangguk."Nan, barangkali kamu mau ikutan? Ya siapa tau kamu jenuh di rumah," usul Arfaaz. Ya dia hanya menginginkan dua istrinya tersebut untuk bisa akur..Naina langsung tersedak dengan saran dari Arfaaz. Dan Arindi hanya menatapnya santai. Bisa-bisanya Arfaaz menganggap Naina bosan di rumah. Yang padahal sebenarnya ia sering sekali keluar tanpa izin Arfaaz.Naina menggeleng pelan."Tidak Mas. Aku di rumah saja. Daripada menghampiri penyakit," elaknya.Mendengar jawaban dari Naina, Arindi menoleh tajam."Maksut kamu?""Ya kan Mbak Arindi tadi bilang bahwa mau menjenguk bapaknya. Bapaknya sedang sakit bukan? Kalau menular bagaimana? Memangnya situ tanggung jawab?" tanya Naina dengan sinis.Sebagian ora