Naina membanting tas yang ia bawa di tangan ke lantai dengan kasar. Tampak ia begitu marah sekali. Bahkan ia dengan kasar mengusap make up yang menempel di wajah cantiknya itu. Wajahnya langsung terlihat masam.Dan Arfaaz melihatnya di depan netranya sendiri. Naina benar benar kecewa."Mas, sudahlah. Aku tidak apa apa sendiri. Kamu harus memenuhi janji yang telah terlebih dahulu kamu buat. Kamu harus belajar konsisten," kata Arindi mencoba menjadi penengah di antara mereka. Sebelum mertuanya datang dan bisa memperkeruh suasana."Tetapi ini urgent Rind. Apa iya mereka juga tidak dapat mengerti?""Mas, dengarkan aku. Besok mama akan kembali ke luar negeri. Dan setidaknya kita harus membuat beliau senang malam ini. Tolong turuti kemauan mama kali ini. Setelah acaranya selesai, kamu boleh menyusulku ke rumah sakit," akta Arindi dengan panik."Yang benar kamu tidak apa-apa Rind jika pergi sendiri?" tanya Arfaaz tak kalah khawatirnya."Tenang saja. Aku sudah terlatih mandiri sedari dulu. Ak
Arindi berlari lari di lorong rumah sakit dengan perasaan panik dan air mata yang tidak bisa dibendung. Tak perduli dengan kehadiaran siapapun disitu, ia segera berlari ingin melihat keadaan sang ayah.Ibunya yang sudah ada di depan kamar perawatan hanya tertunduk sembari sesekali mengusap kedua sudut netranya."Bu, bagaiamana keadaan Ayah Bu? Dimana beliau? " tanya Arindi dengan panik."Tenang Rin. Ayah sudah ditangani dokter. Darah tingginya kambuh," Jawab Bu Asih mencoba tenang. Walaupun hatinya juga menyeruak sakit yang luar biasa.Arindi kaget."Hah? Kok bisa? Bukankan ayah sangat menjaga pola hidupnya? Ayah bahkan sangat berhati hati dalam memilih makanan Bu," tanya Arindi.Bu Asih seperti tidak mau menjawab. Hanya sesekali lirikan matanya menjadi jawabnua. Dan lirikan itu mengarah pada laki laki yang duduk agak jauh dari mereka. Herman.Arindi menatap masih dengan tatapan yang bingung."Bu ada apa sebenarnya? Apa karena dia penyebab ayah menjadi seperti ini? Apa yang dia lakuka
Mobil yang dikendarai Arfaaz, berhenti di salah satu restoran mewah. Tempat dimana dulu dia sangat mengfavoritkanya bersama Arindi. Dan kini ia bersama sang madu, berniat ingin mengukir kenangan yang sama seperti saat dengan Arindi.Namun lagi-lagi fikiran Arfaaz kalut dibuatnya. Tentang bagaimana Arindi? Dan bagaimana kondisi keluarganya. Arfaaz tidak tenang sama sekali.Sementara senyum manis terus terukir di wajah cantik Naina. Bagaimana tidak, mungkin ini kali pertama ia menginjakan kaki di restoran semewah dan semahal ini tentunya. Belum tentu kalau dengan orang selain Arfaaz, ia bisa merasakan ini Naina bergelayut manja di lengan kekar milik Arfaaz."Terimakasih ya Mas. Sudah mau membawaku kesini. Aku bahagia. Dan merasa tidak dibedakan," ujar Naina dengan lembut.Arfaaz tersenyum. Lebih tepatnya memaksakan senyum. Tapi tidak dengan hatinya yang dilanda panik luar biasa."Nah gitu dong Faaz. Kalau istri senang, maka rezeki suami juga akan mengalir deras. Siapa tau dengan rilek
Netra Naina membulat sempurna. Ya sepertinya ia memang tidak main main dengan ucapanya itu. Di belakang sang menantu, Bu Tami tampak terus mengusap punggungnya untuk menenangkannya.Sebenarnya Arfaaz sudah teramat panik. Namun ia pun harus pintar mengatur emosi agar situasi tidak bertambah semakin kacau.Sejenak ia mengatur nafas."Nan, ini bukan masalah condong ke salah satu. Bukan. Ini darurat Nan. Dan kamu harus mengerti. Oke, begini saja coba posisikan kamu di posisi Arindi. Kamu anak tunggal. Orang tuamu masuk rumah sakit. Sementara kamu punya suami. Tetapi kamu harus pontang panting seorang diri. Bagaimana perasaanmu? Kasihan bukan?"Bukanya menjawab. Naina justru melengos menatap arah lain."Nan," panggil Arfaaz sekali lagi "Baiklah. Kalau begitu bagaiamana jika Mbak Arindi ada di posisiku. Sudah diberi janjim Dan sudah mempunyai ekspektasi yang indah, namun sekejap mata semua hancur begitu saja. Aku tanya, dia kesal atau tidak?" balas Naina tak kalah kesalKepala Arfaaz mendo
"Siapa kamu? Berani sekali menyuruh anak saya turun dari jabatanya? Memangnya kamu yang membuat anak saya berhasil menjadi seorang abdi negara dengan pangkat yang tinggi? Tidak bukan?" tanya seorang wanita paruh baya dengan make up yang sedikit glamour. Di sampingnya, ia ditemani oleh laki-laki yang tampak seusia dengan wanita itu."Mama," panggil Herman.Ya ternyata mereka adalah orang tua Herman."Jangan mau kamu diatur oleh orang lain, Man. Memangnya dia siapa?" tanya Mama Herman dengan ketus.Arindi mengatur nafas."Tante sudah tau kelakuan anak Tante?" tanya balik Arindi."Memangnya kelakuan anak saya bagaiamana? Tapi saya yakin pasti anak saya baik kok. Terbukti, lihatlah jabatan yang sekarang ia sandang. Itu juga menjadi njukan bagaimana kepribadian anak saya bukan?" Arindi tertawa kecil sembari melengos."Asal Tante dan Om tau, bahwa anak kalian itu bejad. Anak kalian telah memperkosa saya tujuh tahun yang lalu. Memang sudah lama, tetapi sakitnya masih terasa. Lalu bagaimana?
Pasti semua orang yang ada disitu akan mengira Arindi akan meledak emosinya saat mendengar permintaan dari Mama Herman. Tetapi tidak. Arindi sejenak diam. Namun sekejap kemudian air matanya tidak dapat terbendung lagi. "Mudah sekali kalian berucap demikian. Kalian tidak tau betapa hancurnya hati saya dan orang tua saya waktu itu. Bagaimana saya menjadi bahan pembicaraan orang lain. Bagaimana saya dianggap wanita murahan. Dan bagaimana anak saya di cap sebagai anak haram. Kalian tidak tau kan?" tanya Arindi dengan air mata yang terus mengalir Raut wajah kedua orang tua Herman menatap dengan penuh tidak enak hati. "Biarkanlah kami anggap dia cucu sebagaimana mestinya kalau memang dalam tubuhnya mengalir darah putra kami," pinta mereka lagi. Arindi berkacak pinggang "Tidak perlu. Lebih baik seperti ini. Lebih baik dia tidak tau siapa ayah kandungnya yang sebenarnya," jawab Arindi dengan tegas. "Tidak bisa begitu Arindi. Bagaimanapun juga Keenan harus tau siapa ayah kandungnya. Itu
Naina melempar tas dengan keras ke arah Sofa empuk ruang tamu. Ia terlihat emosi sekali. Tak perduli rambutnya yang mulai acak acakan. Dan make up-nya yang juga berantakan. "Argghhh," teriaknya memecah keheningan malam di rumah ini. Namun di luar justru Bu Tami takut. Ia takut jika Naina kesetanan dan melakukan apapun. Bahkan ia memilih untuk diam di luar saja sementara waktu. Teriaknya yang keras, mampu membangunkan Keenandra yang tengah tertidur. Keenan sudah besar. Sudah bisa ditinggal sang mama, jika sang Mama ada urusan keluar. Langkah Keenandra menuruni tangga. "Tante kenapa?" tanya Keenan yang melihat Naina sudah seperti orang gila. Naina menoleh. Menatap tajam ke arah Keenandra. "Tanya sama mamamu sana. Dasar anak haram tidak tau malu," bentak Naina dengan keras. Anak sekecil Keenan yang belum terlalu mengerti, reflek menangis dibentak oleh Naina. Awalnya Keenan baik baik saja. Ia tak mempermasalahkan dengan ketidak adaan mamanya. Namun mendengar bentakan Naina, ia menj
Langkah Naina semakin gusar. Rasa kecewa dan bencinya sudah menjadi satu. Bahkan ia tak tau tujuan akan kemana setelah menaiki taksi ini. "Kemana kita neng?" tanya sopir Taksi akhirnya. Naina sedikit bingung sembari berfikir keras. "Ke Lionfly," jawabnya singkat namun tegas. "Club malam, Neng?" tanya sang sopir taksi sedikit kaget. Naina mengibaskan tanganya di udara sebagai isyarat bahwa dirinya kesal. "Sudahlah Pak. Tidak usah banyak tanya. Kamu saya bayar bukan untuk kepo dengan urusan saya. Mengerti," gerutu Naina. Yang membuat sopir taksi menjadi diam seribu bahasa. Dan akhirnya taksi itu berhenti tepat di tempat yang ingin ia tuju. Naina menyerahkan selembar uang kepada sopir taksi. "Ayo cepat. Mana kembaliannya?" tanya Naina dengan ketus. Sang sopir kaget. Karena kembaliannya hanya seribu rupiah "Waduh saya tidak punya seribuan Mbak. Di ikhlaskan saja kenapa Mbak," jawab sopir taksi. "Enak banget di ikhlasin. Enggak enggak. Aku catat plat nomor kamu ya. Awas kalau ka
Naina hanya melengos mendengar alasan Arindi. Saat para pelayat satu persatu saat sudah pulang. Datanglah seorang tamu berpakaian rapi.Semula mereka mengira bahwa laki laki itu adalah teman atau klien Arfaaz. Ternyata laki laki itu memperkenalkan diri sebagai pengacara."Saya pengacara dari Pak Arfaaz, ingin menyampaikan amanah. Bahwa beliau mempunyai tabungan yang ia amanahkan kepada istrinya jika meninggal."Naina kaget. Namun dalam hati tentu ia bernafas lega. Ia kira ia akan hidup miskin setelah ditinggal mati Arfaaz dan perusahaannya terancam bangkrut. Namun rupanya suami pelitnya itu menyiapkan tabungan untuk mereka. Pengacara tersebut menyerahkan masing masing satu buku tabungan. Saat Arindi menerima buku tabungan itu, ekor mata Naina sempat meliriknya. Jumlahnya Wow cukup fantastis.Dan saat tiba gilirannya. Jumlahnya sangat berbeda jauh dengan yang di terima Arindi."Loh Pak. Kok jumlahnya tidak sama?""Iya Bu. Dikarenakan pernikahan Mbak Arindi dan Mas Arfaaz sudah berjala
Naina masih gemetar "Mbak Arindi," teriaknya. Suaranya bahkan hampir tercekat."Mbak," panggilnya sekali lagi sedikit keras.Arindi mendekat."Ada apa?""Mas Arfaaz kecelakaan. Dan dia meninggal.""Hah, serius kamu?""Aku Baru saja dapat telefon dari kepolisian. Dan sekarang dibawa ke RS BAYANGKARA," Jawab Naina..Arindi sebenarnya ingin menangis, meraung, menjerit saat itu. Tapi itu bukan solusi di saat genting. Ia segera menyambar kunci mobil."Aku ikut Mbak," tanya Naina dengan panik. Ia masuk ke kamar dulu."Tidak usah pakai acara dandan segala. Ini darurat," bentak ArindiSaat itu Naina tak memilih berdebat. Kecuali menuruti."Ra, kamu pulang dulu ya. Aku Mau ke rumah sakit. Suamiku kecelakaan,""Oh iya Nan. Tidak apa apa."Sepeninggal Naina, Clara hanya menggeleng. Membayangkan apesnya menjadi Naina saat itu.Saat sampai di rumah sakit, Arindi segera berlari di lorong rumah sakit. Tak perduli banyak pasang mata yang menatapnya."Sus, pasien kecelakaan atas nama Arfaaz dirawat d
Clara mengusap wajahnya dengan kasar. Berarti memang apa yang dikatakan Naina saat itu adalah benar."Ya Tuhan, Man. Kamu kok tega sekali sih?" protes Clara."Tega? Maksut kamu? Aku tidak menyakitinya.""Kamu itu sebagai laki laki peka sedikit kenapa sih. Kamu tau jika Naina itu suka dengan kamu. Masih tidak mengerti. Selama ini kamu berusaha mendekatinya. Lalu untuk apa kalau Ki tidak suka?" tanya Clara lagi."Ya Jan sikapku ke Naina ya sama seperti ke kamu Ra. Kita teman. Aku tidak pernah memberinya harapan lebih.""Tapi kalau dia berharap lebih bagaimana?""Ya dia yang salah.""Loh kok dia yang salah?" tanya Clara."Dia sudah bersuami. Kalaupun menjalin hubungan denganku, tujuannya untuk apa? Suatu hubungan itu harus ada tujuan yang jelas ke depannya seperti apa. Kalau aku dan Naina menikah itu adalah hal yang mustahil." jawab HermanAlis Clara bertaut."Kenapa mustahil? Kalian tidak ada ikatan darah. Kalian juga satu agama. Toh Naina juga hanya menjadi istri kedua. Bisa lah menik
Sesampai rumah juga Naina tak mengatakan apapun. Meskipun ia begitu kesal dengan Herman. Namun justru seperti Arfaaz yang terkena dampaknya."Nan, aku balik ke kantor ya," ucap Arfaaz.Naina hanya cemberut.'Mau balik ke kantor, mau balik ke alam kubur. Aku tidak perduli,' gumam Naina dalam hati.Namun saat Arfaaz hendak masuk ke dalam mobilnya, tiba-tiba ada sebuah taksi yang berhenti di depan rumah. Dan Arfaaz yakin dibalik taksi itu ada Arindi.Benar saja. Arindi turun bersama Keenandra. Dan laki laki itu mengurungkan niatnya untuk balik ke kantor."Rind," sapa Arfaaz."Iya.""Ada yang perlu aku bicarakan Rind.""Iya aku ingat Mas. Ada apa?"Langkah Arindi menuju teras. Dan Arfaaz mengekor di belakang."Kamu sedekat apa sih dengan Herman sekarang?" tanya Arfaaz.Arindi tertawa kecil."Dekat? Aku tidak dekat sedikit pun dengan dia. Ya kali sudah besuami dekat dengan laki laki lain," jawab Arindi dengan santai."Tapi lihatlah, bagaimana orang tuamu sekarang tidak menyukaiku Rind. It
Arfaaz tidak dapat berkata apa apa dengan penolakan Arindi tersebut. Ya memang karena nyatanya ada Naina yang sudah menunggunya di luar. Ia kenal Arindi menang berwatak tegas dan keras."Aku pesankan taksi untuk kamu ya nanti," tawar Arfaaz lagi.Arindi menggeleng pelan."Tidak usah Mas. Aku bisa pesan sendiri." jawab Arindi "Ya sudah. Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku ya." pesan Arfaaz lagi.Arindi hanya mengangguk."Ada hal penting juga yang ingin aku sampaikan Rind. Tapi nanti saja menunggu di rumah," pesannya lagi.Arfaaz hanya menurut. Ia memilih segera berlalu dari situ. Bukan karena apa. Toh kehadirannya juga sudah tidak diharapkan oleh orang tua Arindi. Jadi untuk apa?Naina sudah ada di mobil. Hatinya kesal bukan main. Bukan karena direndahkan karena menjadi istri kedua oleh orang lain. Tetapi karena Herman menganggapnya mereka hanya teman biasa.Lalu apa artinya kedekatan mereka selama ini?"Lama sekali sih Mas." gerutu Naina."Sabar Nan. Aku juga harus pamit kepada ora
"Bu," pekik Arindi sebagai bentuk rasa protesnya."Biarlah Arindi. Biar semua tau dan menilai. Bagaimana suamimu ini," jawab Bu Asih."Kasihan sekali sih Arindi. Padahal kamu cantik, pintar, hebat, sukses lagi, kenapa mau saja dimadu?" jawab Mama Herman."Tante, Bu, saya kesini tidak berharap mendapatkan komentar apapun. Mau bagaimanapun, mau seperti apapun kehidupan saya, tetapi tidak dapat menutup kenyataan bahwa memang Naina adalah istri saya." jawab Arfaaz dengan berani.Naina yang sudah kesal karena Herman. Kini harus mendapatkan kesal lebih dobel lagi. Ia memegang tangan Arfaaz. Menandakan ia tidak suka di sini. Herman pun hanya diam seribu bahasa.Naina tiba tiba keluar begitu saja."Nan," pekik Arfaaz. Naina juga tidak menggubris lagi. Namun Arfaaz juga tidak mengejarnya sama sekali. Ia tentu tidak enak hati dengan keluarga mertuanya.Naina kesal dan menunggu di ruang tunggu yang agak jauh dengan kamar perawatan sang mertua.. "Heran dengan Mas Arfaaz. Orang kok hobinya mencar
Arindi salah tingkah dengan ucapannya tersebut. Tapi dengan sempurna ia mampu menutupinya"Maksutku tidak mungkin sekarang. Keenan masih kecil. Aku belum mau menambah momongan." elak Arindi."Belum bukan berarti tidak bukan? Mau kamu tutupi seperti apapun. Darah Herman mengalir di tubuh anakmu Rind. Dan itu tidak bisa kamu sangka. Mau sampai kapanpun. karena itu fakta," ucap Pak Asmat.Arindi hanya diam.Namun Bu Asih sebagai ibu kandung yang tau betul bagaimana sifat Arindi menaruh curiga. Sepertinya memang Arindi menyembunyikan suatu rahasia saat ini.Nina bergegas pulang setelah Herman tiba tiba membatalkan janji mereka. Namun langkahnya pulang ternyata bersamaan dengan Arfaaz yang juga pulang."Ada yang ketinggalan Mas?" tanya Nina.Arfaaz menggeleng "Tidak. Aku ada perlu dengan kamu." Degg..Nina meratap. Ia kaget. Kiranya apa dia melakukan sebuah kesalahan."A-ada apa ya Mas?" tanyanya setengah gugup "Kamu siap siap ya. Lima belas menit lagi kita pergi,""Kemana Mas?""Ke rum
Setengah hati Hernan menuju rumah orang tua Arindi. Meskipun keluarga Pak Asmat menyambut baik kedatangan mereka."Bagaimana keadaanya Pak? Apakah sudah lebih baik?" tanya Papa Herman.Pak Asmat melempar senyum penuh hormat."Alhamdulillah sudah lebih baik ini. Saya sudah bisa beraktivitas sehari hari. Bagaimana? Apa kita jadwalkan main golf sama sama jika ada kesempatan?" tawar Pak Asmat.Pak Hartono tersenyum lebar menanggapi."Wah benar benar ide yang bagus itu. Lebih baik segera kita agendakan saja," jawab Pak Hartono.Ya kedua keluarga itu sudah terlihat akrab. Bahkan lebih cocok untuk menjadi besan.Suara mobil terdengar berhenti di depan."Nah pucuk dicinta ulampun tiba, itu suara mobil Arindi. Dia kesini juga. Panjang umur mungkin," celetuk Pak Asmat."Apa kamu menghubungi Arindi Man?" tanya Bu Melia penuh harap. Jika memang iya, berarti kesempatan Herman untuk bisa kembali kepada Arindi tentu semakin besar.Namun Herman hanya menggeleng kecil. Mana mungkin ia menghubungi Arin
"Mas, aku nanti izin ke rumah Ayah. Mau lihat keadaan ayah," kata Arindi di sela sarapan pagi mereka.Arfaaz mengangguk."Iya. Sampaikan kepada Ayah ya, aku belum bisa menjenguk beliau. Akhir-akhir ini banyak meeting penting yang tidak bisa aku tinggalkan," jawab ArfaazArindi hanya mengangguk."Nan, barangkali kamu mau ikutan? Ya siapa tau kamu jenuh di rumah," usul Arfaaz. Ya dia hanya menginginkan dua istrinya tersebut untuk bisa akur..Naina langsung tersedak dengan saran dari Arfaaz. Dan Arindi hanya menatapnya santai. Bisa-bisanya Arfaaz menganggap Naina bosan di rumah. Yang padahal sebenarnya ia sering sekali keluar tanpa izin Arfaaz.Naina menggeleng pelan."Tidak Mas. Aku di rumah saja. Daripada menghampiri penyakit," elaknya.Mendengar jawaban dari Naina, Arindi menoleh tajam."Maksut kamu?""Ya kan Mbak Arindi tadi bilang bahwa mau menjenguk bapaknya. Bapaknya sedang sakit bukan? Kalau menular bagaimana? Memangnya situ tanggung jawab?" tanya Naina dengan sinis.Sebagian ora