Semua Bab Kubalas Kekejaman Mertua Dan Suami : Bab 101 - Bab 110

195 Bab

Bab 101. Tentang Zen

POV Zen Tentang Zen.Aku membolak-balikkan halaman kitab ini dengan pikiran kosong. 5 bulan sudah aku mengalami gejala yang tidak aku tahu apa penyakitnya, yang jelas semenjak kepulangan Mama sama perempuan itu pikiranku melalang buana sendiri.Aku di sini sudah menjadi pengajar untuk santri putra kelas pertama. Hidupku aku dedikasikan dengan belajar dengan giat hingga ini akhirnya, aku lulus lebih awal dibandingkan teman seangkatanku. Sekarang aku tidak perlu ikut mengaji di majelis, karena aku langsung dibimbing oleh Abah langsung dengan seangkatan para ustadz yang lebih awal mengajar.Tapi Semenjak kehadiran perempuan itu, hidupku sangat berantakan, seringkali aku meminta ijin untuk bolos mengajar. Karena percuma, di dalam kelas pun aku hanya menghabiskan waktuku dengan melamun hingga seorang santri yang mengingatkan. Itu sangat membuatku malu, aku yang terkenal paling giat dan antusias dalam belajar tapi bisa kecolongan dengan memikirkan wanita yang tidak jelas.Aku memijit pelip
Baca selengkapnya

Bab 102. Disambangi Ibu

Dia berdiri mengusap kasar wajahnya. Sepertinya tidak terima dengan apa yang aku katakan barusan. Aneh! Aku yang curhat dia yang gusar sendiri. Lagian kenapa dengan janda. Buatku tidak masalah yang penting setelahnya hanya aku yang memiliki.“Kang Dimas, boleh minta tolong lagi, Ndak?““Apa?““Pinjamkan ponsel di ustadz Zaki, pengen nelpon orang rumah aku.““Huh, Kamu ini. Ya sudah lah. Aku ke tempat kang Zaki dulu.“Aku mengangguk lega, setidaknya mungkin ini bisa membantu. “Assalamualaikum. Kang Zen. Ada tamu di bawah nyariin, Kang Zen,” seru seorang santri dari luar.Aku lekas keluar dan merapikan baju. “Terimakasih, Kang.“ Sebelum turun ke bawah aku menepuk pundak kang Ilham untuk turun lebih awal.Mungkinkah itu Ibu? Semoga saja benar dan bersama wanita itu, batinku girang dengan setengah berlari menuju ke tempat yang biasa untuk bertemu dengan wali murid.Benar saja, dari jauh terlihat Ibu sudah duduk manis di kursi tunggu dengan memainkan ponselnya. Kulanjutkan langkah ini l
Baca selengkapnya

Bab 103. Kecelakaan

“Ibu pulang, ya. Sudah jam 8 malam lebih, apalagi ibu ke sini nyetir seorang diri. Kapan-kapan Ibu akan ke sini lagi,” pamit Ibu dengan menunjukkan jam di ponselnya. Aku mengangguk, rasanya ingin sekali menahan lebih lama, tapi kasihan ibu semakin lama, jalanan makin gelap juga sepi pengendara. “Ibu pamit, ya. Nanti sesampai kamar ini makanan semua langsung dimakan bersama, ya! Ibu harus segera pulang, assalamualaikum!“ Pamitnya langsung bangkit dan menyalamiku. Aku menatap ibu yang berjalan dengan sedikit tergesa, aku sangat tahu, ibu paling takut dengan kegelapan. Kasihan. Sudah seharusnya aku lekas menikah agar ibu tidak kerepotan ke sini hanya menjengukku seorang. *** POV AUTHOR. Mobil yang ditumpangi Tante Yanti melaju membelah jalan raya yang lumayan sepi, ia pun memelankan lalu kendaraannya dan ingin lebih berhati-hati, apalagi sesama pengendara mobil pun ngebut-ngebut. Itu mampu membuat Tante bergidik ngeri. Di jalan pun dia sibuk dengan pikiran yang berkelana memikirka
Baca selengkapnya

Bab 104. Ingin berjumpa Tante

POV Sherly.Akhirnya acara berjalan dengan sangat lancar. Aku pun kini membereskan barang-barangku yang masih tersimpan rapi di dalam kardus. Kukeluar satu per satu lalu memindahkan ke dalam lemari yang baru saja sampai.Di saat ingin mengeluarkan isi tas dari kantong demi kantong, aku menemukan beberapa perhiasan punya mantan mertua. Aku menghela napas ini, lalu kukeluarkan perlahan. Semua ingatan saat bersama Bu Leni terlintas lagi, bahkan video Bu Leni pun masih tersimpan rapi di ponsel.Aku meraih ponsel lalu menghidupkannya.Kucari video kiriman dari Ratih itu. Segera aku putar kembali. Aku melihat Ibu mertua yang ketahuan oleh seseorang saat lolos mencuri gelang emas di toko emas. Aku juga tidak menyangka ibu mertua bisa selihai itu bahkan bisa sampai tidak ketahuan oleh petugas di sana.Biarlah masalah dosa ditanggung beliau. Aku pun segera menekan tombol hapus dari galeri ku.Aku menerawang, hidupku kini lebih bahagia, rasanya untuk menyebarkan video ini terlalu jahat untuk
Baca selengkapnya

Bab 105. Merasa bersalah

“Bapak kunci ruko ini ya, Mak juga, Sherly tunggu di mobil,” ujarku lagi sambil ke luar rumah. Segera kuhidupkan mesin mobil lalu mengeluarkan dari parkiran. Aku mengatur napas ini. Namun rasa gugupku tidak bisa aku hilangkan begitu saja. Aku sangat takut Tante mengalami hal buruk. Bila itu terjadi aku akan mengalahkan diri ini karena membuat Tante kecewa tadi pagi. Saat itu Tante menanyaiku lagi tentang jawaban lamaran kemarin. Hingga aku tidak sengaja berucap dengan nada sedikit lebih tinggi. Tapi itu murni tidak aku sengaja karena memang aku sangat capek dan tidak ingin memikirkan sejauh itu. Setelah aku berucap, mimik wajah Tante menjadi lesu dan sering diam bahkan pamit pulang lebih awal. Aku yakin pasti Tante kecewa dan karena aku Tante menjadi tidak fokus menyetir hingga menyebabkan kecelakaan. Aku mengigit bibirku. Aku tidak bisa menahan air mataku yang berjatuhan. Aku merasa sangat menyesal. Saat melihat emak Bapak berjalan ke arah sini, aku segera menghapus air mata
Baca selengkapnya

Bab 106. Menjemput di Pondok

Aku mengetuk-ngetuk jemariku di atas dasbor dengan tangan satunya menopang daguku. Kuamati pintu pondok dengan seksama dengan berharap ada seorang santri yang keluar.Detik hingga menit berganti namun apa yang aku tunggu tak kunjung keluar. Iseng-iseng aku menatap diri ini ke spion. Wajahku ternyata sangat kusut. Bibirku pun pucat tak sempat terpoles oleh lipstik. Aku pun menilik ke bawah. Aku memakai sandal jepit dan celana kulot serta blazer berwarna biru muda. Aku menggigit bibir ini, apa kata orang nanti saat melihat diriku yang sangat berantakan ini. Juga Zen.Ah, Biarlah. Masa bodo dengan pandangan Zen ke aku nanti. Kutahan rasa kantukku dengan mengucek kedua mata ini juga sesekali melebarkan kelopak mata.Hingga apa yang aku tunggu membuahkan hasil. Suara pintu gerbang pondok terdengar. Segera aku keluar menyambut saat melihat seorang santri keluar dengan handuk terselampir di pundaknya.“Assalamualaikum, Mas. Mas kenapa dengan Zen? Ahmad Zaenal? Boleh minta tolong?““Kenal,
Baca selengkapnya

Bab 107. Dia manis

POV Sherly.Kami sudah sampai di parkiran rumah sakit jam 6.30.00. perutku terasa sangat melilit karena dari semalaman belum terisi satu butir nasi pun.“Pak. Ke dalamnya duluan saja ya! Hapal kan pak jalannya? Sherly mau ke kantin sebentar,”pamitku ke Bapak.“Hapal. Ya sudah sana! Jangan lama-lama, ya!““Baik, Pak.“Aku pun segera masuk ke mobil kembali untuk mengambil uang yang memang selalu di simpan untuk jaga-jaga di laci dasboard, setelahnya tidak lupa aku mengunci pintu mobil ini.Zen sama Bapak sudah semakin menjauh. Aku pun segera berjalan, bertanya ke orang yang aku jumpai di mana letak kantin rumah sakit ini. Aku berjalan sesuai petunjuk. Lalu sejenak berhenti sesampainya kantin. Di sini banyak macam makanan yang di jual. Etalase berjejeran dibuat serapi mungkin. Aku pun berjalan pelan menyusuri tiap etalase. Sepertinya per etalase untuk 1 penjual.Sebelum menentukan pilihan apa yang akan di beli. Aku sempat kebingungan mencari mana makanan yang cocok untuk Kami. Apalagi a
Baca selengkapnya

Bab 108. Ditahan

Ia ikut kaget dan langsung mengulaskan senyum ke arahku. Ah, sial! Kenapa manis sekali ....Aku langsung menunduk dan berbalik lagi. Kami pun sarapan bersama di dalam ruangan ini, aku melihat ke mereka secara gantian. Nampaknya mereka begitu menikmati makanannya hingga tidak menunggu lama sudah habis tersiksa.Sementara aku daritadi mengaduk-aduk isi stereofom ini tanpa menyuap. Rasa laparku seperti menguar begitu saja.Pikiranku melalang buana dan membayangkan saat ini seperti sedang makan di suatu meja makan bersama dan saling bercanda.Kupandangi Lelaki yang melamarku itu. Ah, bukan dia yang melamarku, tapi ibunya. Dia hampir mendekati sempurna bahkan dibanding dengan kondisiku, membuatku menjadi minder untuk hidup bersama dengannya.“Kenapa?“Aku terkejut saat lekukkan bibir itu menanyaiku dan bodohnya aku, aku hanya tertegun tanpa menarik pandanganku.Aku menggeleng setelah kesadaranku kembali. Segera aku menunduk dan mencari ponselku sebagai pelarian rasa malu ini.Ingin sekali
Baca selengkapnya

Bab 109. Bersamanya

“Sherly tunggu!“Aku menoleh saat ada teriakan dari belakang. Zen mengejarku. Dia terlihat ngos-ngosan, akupun menghentikan langkah ini.“Mau nitip apa?““Bukan, aku akan mengantarmu pulang,” ujarnya lalu melangkah ke depan.Langkahnya panjang-panjang membuatku harus setengah berlari agar sejajar dengannya.“Kenapa? Harusnya, Abang tetap di sini menjaga Tante.“ “Gak papa, aku ingin mengantar saja!““Jalannya sedikit pelan dong!“ Aku menghentikan langkah ini, capek sekali mengikuti langkahnya yang selalu ketinggalan.Dia menoleh, lalu memundurkan langkahnya menghampiriku. “Maaf, sudah kebiasaan, aku akan belajar melangkah lebih pelan lagi.““Sudahlah.“ Kulanjutkan langkah ini menuju parkiran.“Kuncinya mana? Biar aku yang nyetir!“ Tangannya menengadah ke arahku. Aku segera memberikan kuncinya. Lalu menuruti apa yang ia inginkan. Lumayanlah hemat tenaga saat ini. Akan aku pakai waktuku pas di mobil buat tidur saja.“Kuperhatikan tadi,Kamu belum makan. Apa tidak enak? Makanan kesukaa
Baca selengkapnya

Bab 110. Bersama Zen

POV Sherly.Sesampainya rumah Tante, kami pun langsung masuk ke rumah, akupun membantu membawa barang belanjaan karena memang banyak sekali.Aku baru menyadari siapa Zen. Mungkin aku yang terlalu baper menyikapinya. Tapi jujur, untuk membuka hati kembali kenapa selalu ada ketakutan tersendiri. Takut, pengkhianatan akan terulang kembali. Aku menggeleng mengibaskan semua pikiran buruk ini.Aku menghela napas ini lalu masuk ke rumah Tante. Sementara Zen cepat sekali berganti pakaian, kini ia hanya memakai kaos putih polos lengan pendek dan celana boxer selutut. Kulitnya yang putih semakin terlihat putih saja.Aku pun lekas membantu membereskan belanjaan. Memisahkan mana yang harus dimasukkan kulkas juga mana yang harus disimpan di suhu ruang.“Bang, yakin bisa masak mie ongklok?“ tanyaku mendekat ke arahnya saat pekerjaanku sudah selesai namun aku berdiri tidak terlalu dekat.“Bisa dong, aku sering membuat pas di pondok, temanku dari Wonosobo pernah mengajari.“ Dia masih tetap melanjutka
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
910111213
...
20
DMCA.com Protection Status