Kak jangan lupa tinggalin komentarnya ya ❤️
Aku mengetuk-ngetuk jemariku di atas dasbor dengan tangan satunya menopang daguku. Kuamati pintu pondok dengan seksama dengan berharap ada seorang santri yang keluar.Detik hingga menit berganti namun apa yang aku tunggu tak kunjung keluar. Iseng-iseng aku menatap diri ini ke spion. Wajahku ternyata sangat kusut. Bibirku pun pucat tak sempat terpoles oleh lipstik. Aku pun menilik ke bawah. Aku memakai sandal jepit dan celana kulot serta blazer berwarna biru muda. Aku menggigit bibir ini, apa kata orang nanti saat melihat diriku yang sangat berantakan ini. Juga Zen.Ah, Biarlah. Masa bodo dengan pandangan Zen ke aku nanti. Kutahan rasa kantukku dengan mengucek kedua mata ini juga sesekali melebarkan kelopak mata.Hingga apa yang aku tunggu membuahkan hasil. Suara pintu gerbang pondok terdengar. Segera aku keluar menyambut saat melihat seorang santri keluar dengan handuk terselampir di pundaknya.“Assalamualaikum, Mas. Mas kenapa dengan Zen? Ahmad Zaenal? Boleh minta tolong?““Kenal,
POV Sherly.Kami sudah sampai di parkiran rumah sakit jam 6.30.00. perutku terasa sangat melilit karena dari semalaman belum terisi satu butir nasi pun.“Pak. Ke dalamnya duluan saja ya! Hapal kan pak jalannya? Sherly mau ke kantin sebentar,”pamitku ke Bapak.“Hapal. Ya sudah sana! Jangan lama-lama, ya!““Baik, Pak.“Aku pun segera masuk ke mobil kembali untuk mengambil uang yang memang selalu di simpan untuk jaga-jaga di laci dasboard, setelahnya tidak lupa aku mengunci pintu mobil ini.Zen sama Bapak sudah semakin menjauh. Aku pun segera berjalan, bertanya ke orang yang aku jumpai di mana letak kantin rumah sakit ini. Aku berjalan sesuai petunjuk. Lalu sejenak berhenti sesampainya kantin. Di sini banyak macam makanan yang di jual. Etalase berjejeran dibuat serapi mungkin. Aku pun berjalan pelan menyusuri tiap etalase. Sepertinya per etalase untuk 1 penjual.Sebelum menentukan pilihan apa yang akan di beli. Aku sempat kebingungan mencari mana makanan yang cocok untuk Kami. Apalagi a
Ia ikut kaget dan langsung mengulaskan senyum ke arahku. Ah, sial! Kenapa manis sekali ....Aku langsung menunduk dan berbalik lagi. Kami pun sarapan bersama di dalam ruangan ini, aku melihat ke mereka secara gantian. Nampaknya mereka begitu menikmati makanannya hingga tidak menunggu lama sudah habis tersiksa.Sementara aku daritadi mengaduk-aduk isi stereofom ini tanpa menyuap. Rasa laparku seperti menguar begitu saja.Pikiranku melalang buana dan membayangkan saat ini seperti sedang makan di suatu meja makan bersama dan saling bercanda.Kupandangi Lelaki yang melamarku itu. Ah, bukan dia yang melamarku, tapi ibunya. Dia hampir mendekati sempurna bahkan dibanding dengan kondisiku, membuatku menjadi minder untuk hidup bersama dengannya.“Kenapa?“Aku terkejut saat lekukkan bibir itu menanyaiku dan bodohnya aku, aku hanya tertegun tanpa menarik pandanganku.Aku menggeleng setelah kesadaranku kembali. Segera aku menunduk dan mencari ponselku sebagai pelarian rasa malu ini.Ingin sekali
“Sherly tunggu!“Aku menoleh saat ada teriakan dari belakang. Zen mengejarku. Dia terlihat ngos-ngosan, akupun menghentikan langkah ini.“Mau nitip apa?““Bukan, aku akan mengantarmu pulang,” ujarnya lalu melangkah ke depan.Langkahnya panjang-panjang membuatku harus setengah berlari agar sejajar dengannya.“Kenapa? Harusnya, Abang tetap di sini menjaga Tante.“ “Gak papa, aku ingin mengantar saja!““Jalannya sedikit pelan dong!“ Aku menghentikan langkah ini, capek sekali mengikuti langkahnya yang selalu ketinggalan.Dia menoleh, lalu memundurkan langkahnya menghampiriku. “Maaf, sudah kebiasaan, aku akan belajar melangkah lebih pelan lagi.““Sudahlah.“ Kulanjutkan langkah ini menuju parkiran.“Kuncinya mana? Biar aku yang nyetir!“ Tangannya menengadah ke arahku. Aku segera memberikan kuncinya. Lalu menuruti apa yang ia inginkan. Lumayanlah hemat tenaga saat ini. Akan aku pakai waktuku pas di mobil buat tidur saja.“Kuperhatikan tadi,Kamu belum makan. Apa tidak enak? Makanan kesukaa
POV Sherly.Sesampainya rumah Tante, kami pun langsung masuk ke rumah, akupun membantu membawa barang belanjaan karena memang banyak sekali.Aku baru menyadari siapa Zen. Mungkin aku yang terlalu baper menyikapinya. Tapi jujur, untuk membuka hati kembali kenapa selalu ada ketakutan tersendiri. Takut, pengkhianatan akan terulang kembali. Aku menggeleng mengibaskan semua pikiran buruk ini.Aku menghela napas ini lalu masuk ke rumah Tante. Sementara Zen cepat sekali berganti pakaian, kini ia hanya memakai kaos putih polos lengan pendek dan celana boxer selutut. Kulitnya yang putih semakin terlihat putih saja.Aku pun lekas membantu membereskan belanjaan. Memisahkan mana yang harus dimasukkan kulkas juga mana yang harus disimpan di suhu ruang.“Bang, yakin bisa masak mie ongklok?“ tanyaku mendekat ke arahnya saat pekerjaanku sudah selesai namun aku berdiri tidak terlalu dekat.“Bisa dong, aku sering membuat pas di pondok, temanku dari Wonosobo pernah mengajari.“ Dia masih tetap melanjutka
Sudahlah, terlalu sakit saat mengingat masa lalu.Ah, ya, tentang masa lalu, aku harus membereskannya. Aku meraih ponsel ini untuk menelpon Bu Ratna. Saat membuka layar, aku baru teringat ponselnya sedang kehabisan baterai. Aku menghela napas ini. Menunda keinginan dan menyimpan kembali ponsel ini.“Mari makan.“ Zen melangkah ke arah sini dengan membawa 2 mangkok.Aku pun segera bangkit dan menarikkan kursi untuknya. Dia meletakkan dua mangkok itu, sementara aku memperhatikan tekstur makanannya. Memang benar rupanya seperti mie ongklok pada umumnya.Aku pun segera duduk dan mengambil jatahku dan meraih sendok lalu menyendok kuah kental itu. Meniupnya berkali-kali baru memasukkan ke dalam mulut ini.Sedap sekali.Ternyata benar, dia pintar memasak.“Gimana, enak?“Aku mengangguk tanpa menoleh dan masih meneruskan menyantap makanan ini.“Aku suka, Kamu,” lirihnya begitu saja setelah sekian menit.“Uhuk.“ Aku langsung batuk dibuatnya. Tolong! aku bukan anak kecil lagi, aku malu bila ket
“Terlalu buru-buru.““Ya nanti kalau gak mau, bilang saja gak mau. Aku gak papa, berarti kita gak jodoh. Aku gak suka memaksa.“Aku menoleh. “Kenapa berkata seperti itu?““Agar, aku tidak membebanimu, Sherly. Jangan sungkan atau gak enak menolak, kalau memang tidak suka dengan lamaranku.““Berikan aku waktu seminggu saja, Bang. Aku akan meminta pertimbangan sama orang tuaku.“ Sepertinya ini adalah jawaban yang paling tepat saat ini. “Baiklah, itu ya ruko, Kamu?“ tanyanya dengan menunjuk ruko yang bercat biru tua.“Ah, ya. Benar.“Mobil yang dikemudikan Zen pun berhenti, aku lekas turun dan mencari kunci ruko yang tersimpan di dalam tas.Lalu membukanya, aku masuk lebih dulu.Dengan langkah buru-buru aku segera mencari charger dan mencolokkan ke stopkontak lalu menyambungkan ke ponsel dan segera menyalakan tombol power.Sambil menunggu sinyal kembali. Aku bangkit untuk mengambil beberapa keperluan yang dibutuhkan nanti.Tidak lupa kantong plastik yang berisikan rambut untuk tes DNA it
Aku bergeming. Apa salahnya? “Ternyata aku datang terlambat,” gumamnya tapi terdengar jelas olehku.Aku masih terpaku diam. Entahlah ingin berucap tapi aku bingung apa yang akan aku ucapkan. Aku di sini tidak sedang ketahuan selingkuh, Zen hanya menumpang mandi Sementara Herman statusnya hanya teman. “Sherly, lebih baik, Kamu ke belakang! Buatkan minum untuk kita, Oke!“ suruh Zen ke arahku lalu dia pergi mengambil bajunya yang terselampir di pintu lemari lalu memakainya.“Maaf tadi aku terlambat membuka pesan darimu dan langsung ke sini. Tahu begitu aku menyesal sudah nyampai ke sini,” ucap Herman lagi.Aku mengangguk lalu berbalik berjalan ke dapur. Kuseduhkan air panas lalu membuatkan mereka sehelas kopi susu panas, sementara aku cukup teh hijau.“Mana kopinya, Hem?“ Aku sedikit terlonjak saat ada suara dari belakang. Aku yang tengah melamun pun hampir saja menumpahkan isi cangkir yang tengah aku aduk. Jujur perasanku saat ini sangat tidak menentu. Ada tidak enak dalam hati ini