“Sherly tunggu!“Aku menoleh saat ada teriakan dari belakang. Zen mengejarku. Dia terlihat ngos-ngosan, akupun menghentikan langkah ini.“Mau nitip apa?““Bukan, aku akan mengantarmu pulang,” ujarnya lalu melangkah ke depan.Langkahnya panjang-panjang membuatku harus setengah berlari agar sejajar dengannya.“Kenapa? Harusnya, Abang tetap di sini menjaga Tante.“ “Gak papa, aku ingin mengantar saja!““Jalannya sedikit pelan dong!“ Aku menghentikan langkah ini, capek sekali mengikuti langkahnya yang selalu ketinggalan.Dia menoleh, lalu memundurkan langkahnya menghampiriku. “Maaf, sudah kebiasaan, aku akan belajar melangkah lebih pelan lagi.““Sudahlah.“ Kulanjutkan langkah ini menuju parkiran.“Kuncinya mana? Biar aku yang nyetir!“ Tangannya menengadah ke arahku. Aku segera memberikan kuncinya. Lalu menuruti apa yang ia inginkan. Lumayanlah hemat tenaga saat ini. Akan aku pakai waktuku pas di mobil buat tidur saja.“Kuperhatikan tadi,Kamu belum makan. Apa tidak enak? Makanan kesukaa
POV Sherly.Sesampainya rumah Tante, kami pun langsung masuk ke rumah, akupun membantu membawa barang belanjaan karena memang banyak sekali.Aku baru menyadari siapa Zen. Mungkin aku yang terlalu baper menyikapinya. Tapi jujur, untuk membuka hati kembali kenapa selalu ada ketakutan tersendiri. Takut, pengkhianatan akan terulang kembali. Aku menggeleng mengibaskan semua pikiran buruk ini.Aku menghela napas ini lalu masuk ke rumah Tante. Sementara Zen cepat sekali berganti pakaian, kini ia hanya memakai kaos putih polos lengan pendek dan celana boxer selutut. Kulitnya yang putih semakin terlihat putih saja.Aku pun lekas membantu membereskan belanjaan. Memisahkan mana yang harus dimasukkan kulkas juga mana yang harus disimpan di suhu ruang.“Bang, yakin bisa masak mie ongklok?“ tanyaku mendekat ke arahnya saat pekerjaanku sudah selesai namun aku berdiri tidak terlalu dekat.“Bisa dong, aku sering membuat pas di pondok, temanku dari Wonosobo pernah mengajari.“ Dia masih tetap melanjutka
Sudahlah, terlalu sakit saat mengingat masa lalu.Ah, ya, tentang masa lalu, aku harus membereskannya. Aku meraih ponsel ini untuk menelpon Bu Ratna. Saat membuka layar, aku baru teringat ponselnya sedang kehabisan baterai. Aku menghela napas ini. Menunda keinginan dan menyimpan kembali ponsel ini.“Mari makan.“ Zen melangkah ke arah sini dengan membawa 2 mangkok.Aku pun segera bangkit dan menarikkan kursi untuknya. Dia meletakkan dua mangkok itu, sementara aku memperhatikan tekstur makanannya. Memang benar rupanya seperti mie ongklok pada umumnya.Aku pun segera duduk dan mengambil jatahku dan meraih sendok lalu menyendok kuah kental itu. Meniupnya berkali-kali baru memasukkan ke dalam mulut ini.Sedap sekali.Ternyata benar, dia pintar memasak.“Gimana, enak?“Aku mengangguk tanpa menoleh dan masih meneruskan menyantap makanan ini.“Aku suka, Kamu,” lirihnya begitu saja setelah sekian menit.“Uhuk.“ Aku langsung batuk dibuatnya. Tolong! aku bukan anak kecil lagi, aku malu bila ket
“Terlalu buru-buru.““Ya nanti kalau gak mau, bilang saja gak mau. Aku gak papa, berarti kita gak jodoh. Aku gak suka memaksa.“Aku menoleh. “Kenapa berkata seperti itu?““Agar, aku tidak membebanimu, Sherly. Jangan sungkan atau gak enak menolak, kalau memang tidak suka dengan lamaranku.““Berikan aku waktu seminggu saja, Bang. Aku akan meminta pertimbangan sama orang tuaku.“ Sepertinya ini adalah jawaban yang paling tepat saat ini. “Baiklah, itu ya ruko, Kamu?“ tanyanya dengan menunjuk ruko yang bercat biru tua.“Ah, ya. Benar.“Mobil yang dikemudikan Zen pun berhenti, aku lekas turun dan mencari kunci ruko yang tersimpan di dalam tas.Lalu membukanya, aku masuk lebih dulu.Dengan langkah buru-buru aku segera mencari charger dan mencolokkan ke stopkontak lalu menyambungkan ke ponsel dan segera menyalakan tombol power.Sambil menunggu sinyal kembali. Aku bangkit untuk mengambil beberapa keperluan yang dibutuhkan nanti.Tidak lupa kantong plastik yang berisikan rambut untuk tes DNA it
Aku bergeming. Apa salahnya? “Ternyata aku datang terlambat,” gumamnya tapi terdengar jelas olehku.Aku masih terpaku diam. Entahlah ingin berucap tapi aku bingung apa yang akan aku ucapkan. Aku di sini tidak sedang ketahuan selingkuh, Zen hanya menumpang mandi Sementara Herman statusnya hanya teman. “Sherly, lebih baik, Kamu ke belakang! Buatkan minum untuk kita, Oke!“ suruh Zen ke arahku lalu dia pergi mengambil bajunya yang terselampir di pintu lemari lalu memakainya.“Maaf tadi aku terlambat membuka pesan darimu dan langsung ke sini. Tahu begitu aku menyesal sudah nyampai ke sini,” ucap Herman lagi.Aku mengangguk lalu berbalik berjalan ke dapur. Kuseduhkan air panas lalu membuatkan mereka sehelas kopi susu panas, sementara aku cukup teh hijau.“Mana kopinya, Hem?“ Aku sedikit terlonjak saat ada suara dari belakang. Aku yang tengah melamun pun hampir saja menumpahkan isi cangkir yang tengah aku aduk. Jujur perasanku saat ini sangat tidak menentu. Ada tidak enak dalam hati ini
Mobil yang ditumpangi Zen melenggang begitu saja menuju ke tempat tujuan. Dalam perjalanan ini kami menghabiskan waktu dengan berdiam diri. Tidak ada sapaan, obrolan atau apapun. Kita asyik dalam pikiran masing-masing.Aku mengambil ponsel dan menghidupkan layar saat ponsel ini bergetar. Pesan masuk dari Bu Ratna rupanya.Aku segera membukanya.[Jl, gelatik barat no 44. Setiabudi Jakarta. Pemilik rumah Bapak Rahmat][Itu alamat yang ditinggali Bu Leni]Aku mengernyit, mengeja pesan masuk yang berisikan alamat itu. Tapi kenapa ada bapak Rahmatnya. Berarti di rumah itu tinggal berapa orang?“Bang, boleh antarkan ke alamat ini dulu sebentar nggak?“ tanyaku ke Zen yang tengah asyik mengemudi. Keningnya berkerut saat tatapannya ke arah layar ponsel yang aku sodorkan. Lalu dia mengangguk.“Terimakasih, ya.“Aku menarik pandanganku dan berpindah menatap jalanan melalui balik kaca mobil“Mungkin ini terakhir kita bersama ya, Sherly.““Maksudnya?“ Aku menoleh lagi ke arahnya.“Aku rasa ta'ar
Aku menghela napas ini lalu membuangnya perlahan, perkiraan sebelum ke sini, Ibu pasti mencak-mencak ataupun ngamuk kepadaku, nyatanya sekarang jauh berbeda.Dia hanya bergeming dengan mata berkaca-kaca. Aku menatapnya, memindai semua tentangnya. Rambutnya sangat kusut sekali, bahkan bingkai tulang leher pun terlihat nampak sekali. Seperti tulang berbalut kulit, tidak ada daging yang melindunginya.Hanya hitungan Minggu, beliau sudah berubah drastis sedemikian rupa. Aku menunduk, mengusap ujung netraku yang menghangat. Bagaimanapun wanita itu pernah menjadi keluargaku, pernah diposisi orang yang aku sayangi sampai pengkhianatan itu terjadi. Dendamku sudah selesai, aku sudah belajar banyak hal dan mulai melupakan masa laluku yang sangat menyakitkan. Tujuanku ke sini hanya meminta maaf atas kesalahan masa lalu dan memberi maaf sama ibu sekalian mengembalikan perhiasan yang aku simpan ini.Tapi keadaan sangat mengejutkanku, dari bahasa tubuhnya dia terlihat sangat tersiksa dengan kehid
“Iya, minta tolong apa, Bu.“ Aku mendekat ke arahnya. Sedikit menunduk menyamaratakan wajahnya yang sedang menunduk. Kutatap manik matanya yang masih mengembun.“Tolong jualkan emas ini dan bawa Ibu pergi.““Mau pergi ke mana? Ke rumah mas Pram?“ Ibu Leni hanya menggeleng.“Lalu?“ tanyaku lagi.“Ke panti jompo lebih baik,” lirihnya.Aku menarik tubuhku ini lalu menatap Zen. Ya Allah, ada ngilu di hati ini saat mendengar keinginan Bu Leni.“Tolong Ibu, Sherly. Nanti yang hasil perhiasan buat biaya di panti jompo, ya,” ungkapnya lagi.Aku menatap lagi ke arah Zen. Dia mengangguk pelan. “Bagaimana caranya, agar bisa keluar dari rumah itu, Bu?“Dia bergeming.“Apa biar kuberi tahu mas Pram, biar dia yang menjemput ibu?“ Ibu Leni hanya menggeleng cepat. Aku menghela napas ini, lalu mengeluarkannya perlahan. Bingung sendiri.“Nikmati dulu makanannya!“ suruh Zen ketika pesanan mulai berdatangan. Aku mengangguk lalu membenarkan posisi agar lebih nyaman. Aku segera mendekatkan lauk ikan g
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!