Sekembalinya Sherly dari rumahku, Clara mendekat, lalu berbisik.“Mas, kata paman, utangnya harus segera dilunasi.“Rahangku mengeras, Clara sama sekali tidak mengijinkan aku untuk tenang barang sedikitpun. Lihatlah! Para tamu masih sibuk menikmati hidangan, kenapa dia malah sibuk membicarakan utang.Bahkan satu iris daging sapi di rumah pamannya pun tidak aku nikmati, tapi kini aku yang harus menanggung utangnya.Aku mendongak. Mendamaikan hati ini yang ingin memberontak, aku harus cari cara agar bisa melunasi utang ini. Bila tidak, Clara akan terus mencecarku tiada henti, dan itu sangat memuakkan.Tidak ada hitungan hari pujianku yang kusematkan untuknya beruban jadi umpatan. Aku tinggalkan Amira seorang diri, kini aku berpindah menghampiri bapak. Siapa tahu beliau bisa membantuku.“Bapak sudah makan?“ tanyaku ke Bapak yang tengah ngobrol dengan istri barunya.“Eh, ya. Sudah, selamat, ya, Pram. Kini sudah mempunyai istri sah lagi,” selorohnya dengan menepuk pundakku.Aku sedikit me
Baca selengkapnya