Mbak itu mengangguk dan mulai meletakkan beberapa belanjaan di samping mobil. Setelahnya dia menunduk untuk berpamitan. Aku mengangguk dan tidak lupa mengucapkan terima kasih untuknya. Meskipun perasaanku saat ini tidak karuan.“Mau apa, kamu?“ tanyaku langsung ke Pram sepeninggalan mbaknya.“Daritadi aku klakson dari belakang, tapi kamu sama sekali tidak merespon. Ya sudah aku ikuti sampai ke sini dan menunggu sampai, kamu selesai berbelanja.““Mau ngapain?“ tanyaku langsung.“Di dalam mobil itu ada ibuku, dia pengen minta emas yang, kamu simpan, mana?“ Tanpa menjawab aku lekas menuju ke tempat mobil yang ia tunjuk. Aku segera meminta pak sopir untuk menurunkan kaca jendela di posisi ibu duduk. “Bu? Benar begitu?“ tanyaku ke Ibu Leni yang sedang asyik bermain dengan kuku tangannya.“Kenapa, Sherly. Pram minta emas ya? Sudah kasih saja. Ibu sudah capek.““Tapi, Bu?““Sherly, daritadi ibu menengok ke kanan kiri, mencari rumah makan dan saat menemukannya, Ibu tidak berani minta sama P
Aku segera turun dari mobil mendahului Tante, dengan gerakan cepat aku pun membukakan pintu pagar rumahnya, karena aku masih menyimpan kunci cadangan rumah Tante waktu itu.Kubukakan pintu untuk mereka. Menyilakan mobil Zen masuk ke garasi, sementara mobilku kubiarkan parkir di bahu jalan.Sementara Emak Bapak sibuk dengan membawa belanjaan Roti. Mereka yang membantu membawakan masuk ke rumah Tante.Setelah masuk ke ruang tamu, aku segera mengeluarkan beberapa roti yang aku beli tadi dan memindahkan ke beberapa piring. Menata dengan semenarik mungkin di meja tamu.Setelah merasa puas, aku menghampiri Tante di kamarnya sementara emak bapak memilih menunggu di teras halaman untuk menyambut para tetangga.Aku duduk si sebelah Tante. Memijit lengannya tipis-tipis.Sementara Zen sibuk sendiri entah apa yang dikerjakannya.“Sherly. Tante mohon, jangan salah paham dan mengartikan apa yang Tante lakukan ke kamu itu semata karena ada tujuan. Bukan, Tante ikhlas membantu kamu, Sherly,” ungkap T
Aku menghela napas pelan lalu meniupnya perlahan. Kulakukan berulangkali untuk menetralkan rasa gugup.Kuberanikan diri pelan-pelan mendongak, memantapkan hati untuk menjawab karena mereka sedang menungguku.Aku perlahan menatap Tante yang sedari tadi masih saja tersenyum, juga emak, Bapak yang juga tersenyum seperti tanpa beban menatapku.Setelah itu aku melempar pandangan menatap Zen yang ternyata tengah menunduk.“Insyaallah, saya menerima lamaran, Abang.“ Lolos sudah ucapan ini. Ucapan yang sempat terhenti di kerongkongan. Jujur aku memilih kata ini setelah merenung beberapa kali. Aku tidak pernah berpacaran dengan Zen. Juga perkenalan yang tidak memakan hitungan bulan. Itu adalah waktu yang sangat singkat untuk mengenal satu sama lain.Semoga saja pilihan ini adalah pilihan yang terbaik. Ditambah aku juga melakukan salat istikharah sebelumnya. Bukan mimpi yang aku dapat. Tapi sebuah kemantapan untuk menerima Zen sebagai calon imamku. Sekarang aku meletakkan semua keraguan atas iz
Hari pernikahan telah ditentukan. Zen pun sudah berangkat kembali ke Pondok setelah berpamitan denganku. Sebulan lagi, waktu yang sangat singkat. Ingatanku terlempar kemarin saat masih di rumah sakit. Seminggu lagi tes DNA turun. Itu artinya aku harus kembali lagi ke sana untuk mengambilnya. Semoga saja hasilnya sesuai apa yang aku perkirakan.Aku menghela napas saat teringat hari ini Pram akan ke sini mengambil perhiasan Bu Leni. Sepertinya aku berubah pikiran. Sudah tahu ibunya memiliki harta, hidupnya saja masih susah. Seperti kemarin, pengen minta dibelikan makan saja tidak berani. Bagaimana dengan nanti kalau emasnya sudah diambil, ah, membayangkan saja ngeri. Pasti sifat mereka pun semakin menganggap rendah ibu.Meskipun belum ada kata maaf yang terucap dari mulut ibu. Aku sudah memaafkan lama, ditambah melihat kondisinya saat ini, miris. Jujur, ucapan dan hinaan dari ibu membuatku sedikit trauma mengenal keluarga baru lagi, semoga saja aku menemukan keluarga seperti keluarga
“Mau ke mall, Pak. Beli emas kuningan. Nanti Pram mau ke sini minta emas Ibunya yang masih aku simpan, rencananya nanti aku tukar dengan emas kuningan,” jelasku pelan.“Kok begitu?“ Bapak menatapku dengan kening berkerut. Seakan protes dengan rencanaku.“Kasihan Bu Leni, Pak. Beliau sekarang badannya tidak terurus. Mungkin nanti perhiasan ini bisa digunakan pas beliau sangat membutuhkan nantinya.“Bapak manggut-manggut. “Emang emasnya mau dibuat apa sama Pram?““Katanya mau bayar utang sih, Pak.““Utang? Ck, ck, ck. Lelaki itu, untung kamu sudah pisah, Sherly.““Ehm, iya, Pak. Doain Sherly ya, Pak. Semoga nanti Abang Zen memang jodoh Sherly dunia akhirat,” lirihku pelan.“Tidak perlu meminta, pasti akan Bapak doakan sepanjang waktu, Sherly.“Aku tersenyum. Melangkah mendekat merengkuh memeluk bapak. Terimakasih ya Allah.Aku melepaskan pelukan saat teringat waktu tidak banyak lagi,” Pak Sherly pamit dulu, ya, Pak. Takut enggak keburu waktunya.“ Aku meraih tangan Bapak dan mencium pung
POV PRAM.Aku mengetuk pintu ruko berulangkali. Mungkin kehadiranku tidak disadari karena aku ke sini memesan ojek online. Aku mencoba mengetuk lagi.Satu ketukan ...Tidak lupa mengucapkan salam. Aku harus berlaku baik di sini, jangan sampai anarkis. Bisa-bisa emas itu tidak jadi berpindah ke tanganku.Aku menghentikan gerakanku saat menyadari ada suara dari dalam. Seperti sedang membukakan pintu. Aku mundur selangkah, menyiapkan senyuman semanis mungkin.Aku sedikit terlonjak saat menyadari siapa yang keluar. Mantan Bapak Mertua, wajahnya begitu masam, senyuman pun tidak terbit di wajahnya. Membuatku terasa asing di sini. Padahal kita pernah menjadi satu keluarga.“Assalamualaikum, Pak.“ Aku membungkuk memberi hormat ke Bapak.“Walaikum salam.“ Singkat terdengar.Aku pun berinisiatif untuk melangkahkan kaki ini masuk, tidak etis rasanya ngobrol di halaman. Apalagi ini bukan kawasan perumahan, melainkan ruko yang berjejer. Pasti kanan kiri akan banyak yang memperhatikan.“Stop! Nga
Aku segera menyimpan kembali ke paper bag, saat sudah mendapatkan KTP kembali, aku lekas berbalik. Sungguh malu luar biasa saat ini.Aku berjanji aku tidak akan menampakkan diri lagi di pegadaian ini.Aku segera berjalan menjauh dari kantor pegadaian. Mencari tempat agar bisa diduduki, hatiku sesak, akhirnya aku mendapatkan kursi kosong yang terletak di samping bengkel.Aku segera menghenyakkan badan ini ke kursi kayu lalu memijit pelipis ini. Siapa yang salah di sini? Ibu? Sherly?Tapi aku juga belum pernah mengantarkan Ibu membeli emas, mungkinkah emang ibu sebenarnya mengoleksi emas palsu. Kupikir-pikir sepertinya iya. Toh, uang pun sering dibelikan tas juga beberapa baju. Arggh! Ibu! Kenapa membuatku seperti ini!Sekarang aku harus bagaimana? Dengan jalan apa aku mendapatkan uang 80 juta itu, apalagi tingkah Clara yang terus cemberut menuntut agar aku segera mendapatkan uang itu tanpa mau tahu bagaimana caranya.Apa aku akan meminjam ke Sherly? Sepertinya dia banyak uang dari ngo
Aku pulang dengan naik ojek. Sesampainya depan rumah, aku lekas membayarnya dan setengah berlari masuk ke rumah. .“Assalamualaikum, Clara,” sapaku dengan sedikit berteriak.Kepala Clara menyembul dari dalam kamar, dia mengucek kedua matanya lalu mengerjap. “Sudah pulang, Mas,” jawabnya tanpa senyuman.Aku langsung menggandeng bahunya dan mengajak Clara duduk bersama setelah menilik Amira yang tengah tidur pulas.“Clara, kamu tahu isi tas di sini,” tunjukkin dengan menepuk-nepuk tas yang masih menggelantung di pundak.“Apa itu, Mas.““Uang 80 juta, Dik.““Yang benar, Mas?“ tanyanya sembari menarik tas selempangku, aku mengangguk dan memberikan kepadanya.Mata Clara mendelik tanpa berkedip menatap ke dalam tas, lalu menumpahkan semua isinya. “Duit semua ini, Mas?“ tanyanya dengan tangan mengorak-arik.Aku mengangguk lagi, melihat dia kegirangan membuatku ikut bahagia di dalam sini.“Baiklah, Mas. Nanti aku langsung kabari Omku untuk menjemput uang ini.““Iya, Dik. Alhamdulillah. Utan
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!