POV PRAM.Aku mengetuk pintu ruko berulangkali. Mungkin kehadiranku tidak disadari karena aku ke sini memesan ojek online. Aku mencoba mengetuk lagi.Satu ketukan ...Tidak lupa mengucapkan salam. Aku harus berlaku baik di sini, jangan sampai anarkis. Bisa-bisa emas itu tidak jadi berpindah ke tanganku.Aku menghentikan gerakanku saat menyadari ada suara dari dalam. Seperti sedang membukakan pintu. Aku mundur selangkah, menyiapkan senyuman semanis mungkin.Aku sedikit terlonjak saat menyadari siapa yang keluar. Mantan Bapak Mertua, wajahnya begitu masam, senyuman pun tidak terbit di wajahnya. Membuatku terasa asing di sini. Padahal kita pernah menjadi satu keluarga.“Assalamualaikum, Pak.“ Aku membungkuk memberi hormat ke Bapak.“Walaikum salam.“ Singkat terdengar.Aku pun berinisiatif untuk melangkahkan kaki ini masuk, tidak etis rasanya ngobrol di halaman. Apalagi ini bukan kawasan perumahan, melainkan ruko yang berjejer. Pasti kanan kiri akan banyak yang memperhatikan.“Stop! Nga
Aku segera menyimpan kembali ke paper bag, saat sudah mendapatkan KTP kembali, aku lekas berbalik. Sungguh malu luar biasa saat ini.Aku berjanji aku tidak akan menampakkan diri lagi di pegadaian ini.Aku segera berjalan menjauh dari kantor pegadaian. Mencari tempat agar bisa diduduki, hatiku sesak, akhirnya aku mendapatkan kursi kosong yang terletak di samping bengkel.Aku segera menghenyakkan badan ini ke kursi kayu lalu memijit pelipis ini. Siapa yang salah di sini? Ibu? Sherly?Tapi aku juga belum pernah mengantarkan Ibu membeli emas, mungkinkah emang ibu sebenarnya mengoleksi emas palsu. Kupikir-pikir sepertinya iya. Toh, uang pun sering dibelikan tas juga beberapa baju. Arggh! Ibu! Kenapa membuatku seperti ini!Sekarang aku harus bagaimana? Dengan jalan apa aku mendapatkan uang 80 juta itu, apalagi tingkah Clara yang terus cemberut menuntut agar aku segera mendapatkan uang itu tanpa mau tahu bagaimana caranya.Apa aku akan meminjam ke Sherly? Sepertinya dia banyak uang dari ngo
Aku pulang dengan naik ojek. Sesampainya depan rumah, aku lekas membayarnya dan setengah berlari masuk ke rumah. .“Assalamualaikum, Clara,” sapaku dengan sedikit berteriak.Kepala Clara menyembul dari dalam kamar, dia mengucek kedua matanya lalu mengerjap. “Sudah pulang, Mas,” jawabnya tanpa senyuman.Aku langsung menggandeng bahunya dan mengajak Clara duduk bersama setelah menilik Amira yang tengah tidur pulas.“Clara, kamu tahu isi tas di sini,” tunjukkin dengan menepuk-nepuk tas yang masih menggelantung di pundak.“Apa itu, Mas.““Uang 80 juta, Dik.““Yang benar, Mas?“ tanyanya sembari menarik tas selempangku, aku mengangguk dan memberikan kepadanya.Mata Clara mendelik tanpa berkedip menatap ke dalam tas, lalu menumpahkan semua isinya. “Duit semua ini, Mas?“ tanyanya dengan tangan mengorak-arik.Aku mengangguk lagi, melihat dia kegirangan membuatku ikut bahagia di dalam sini.“Baiklah, Mas. Nanti aku langsung kabari Omku untuk menjemput uang ini.““Iya, Dik. Alhamdulillah. Utan
Mungkin saja, Sherly hanyalah jodoh sementara untukku, kami tidak berjodoh sampai akhir hayat. Aku sekarang sudah menemukan siapa jodohku yang sebenarnya. Clara.Mungkin aku harus mendatangi Sherly, memberi support dan jangan menyerah meskipun mandul. Aku akan kasih saran ke dia nanti saat menikah. Tak perlu menunggu lama, lekas saja mengadopsi anak, karena rasa kebahagiaan itu datang berulangkali saat melihat anak tertawa, melihat tumbuh kembangnya. Bahkan kebahagiaan itu berkali lipat dari pada saat mendapatkan uang.Kamu harus merasakan itu, Sherly.“Mas! Masih lama?“ teriak Clara dari luar.Aku pun menarik lamunanku, dan segera bangkit. Lalu mengguyur badan ini dan menyabuninya secara rata.Tidak sampai 5 menit aku selesai mandi.Aroma Indomie menusuk penciumanku, perut pun mendadak terasa perih minta diisi. Aku pun lekas memakai pakaian lalu keluar, dan berjalan ke meja makan yang sudah terisi semangkok Indomie rebus dengan asap yang mesih mengepul.Aku segera menyesap kuahnya s
Dadaku bergemuruh dan napasku naik turun, ada yang sesak di sini. tanganku seketika mengepal. Inginku layangkan di pipinya.“Clara!“ desisku dengan menekan suara.Clara mendongak menatapku. “Siapa?““Hah?““Kamu sedang berkirim pesan dengan siapa?“ tanyaku mendekat. Andaikan aku sedang tidak menggendong Amira. Sudah kurebut ponsel di tangannya sedari tadi.“Apa sih, Mas. Biasa saja kali ngomongnya, kayak di hutan saja, teriak-teriak,” sungutnya dengan pasang muka ditekuk sembari tangannya menyembunyikan ponselnya di balik badannya.Hilang sudah kesabaranku, aku segera menaruh Amira ke ranjang. Tidak kupedulikan lagi mau nangis atau terbangun. Aku harus tahu isi ponsel itu yang membuat Clara tertawa seorang diri.“Sini kasih lihat!“ Aku segera melayangkan tubuh agar lebih dekat dan bisa mengambil ponsel itu. “Mas, aku ini cuma pengagum BTS, tidak ada cowok lain selain Mas Pram,” jawab Clara menghindar.“BTS?“ Aku sungguh tidak paham apa singkatan apa itu.Aku menarik tubuhku, menguru
“Assalamualaikum, Pak.“ Sapaku ke atasanku yang sudah datang lebih awal dan tengah sibuk membereskan barang.“Walaikum salam, cepat pakai celemek yang ada di dalam, segera bantu bapak setelah ini. Besok kalau datang usahakan lebih pagi, ya!“ suruhnya tanpa menatapku dan masih melanjutkan pekerjaannya.Aku mengangguk, menuruti instruksinya. Aku melangkah masuk ke meja yang terletak di dalam toko, segera aku menyimpan tas ini ke gantungan dinding di antara tempelan beberapa kertas yang sudah terisi coret-coretan.Aku pun meraih celemek yang menggantung, hanya itu yang terlihat. Celemek itu sepertinya sudah bekas pakai, karena terlihat banyak tepung menempel.“Ngapain aja sih di dalam? Ngambil celemek saja sampai satu jam!“ teriak pemilik toko itu. Aku meneguk ludahnya mendengar suaranya. Baru pertama kali aku sudah tidak dibuat nyaman olehnya, bagaimana caranya aku bisa menjalani tiga tahun penuh? Padahal aku yakin aku menaruh tas ini paling tidak sampai 10 menit, tapi langsung diprote
POV Sherly.Aku mematut diri di cermin dengan disaksikan oleh Tante Yanti. Melennggokkan badan ke kanan-kiri. Aku melihat Tante melalui pantulan cermin, nampak daritadi senyumannya tidak luntur sama sekali. Gaun berwarna putih tulang terpasang di badanku, aksen mutiara melengkapi keindahan detail gaun. Kedua lengan gaun sangat pas dengan ukuran lenganku, dari pinggang ke bawah sangat lebar dan memanjang. Aku disuruh untuk berjalan melewati altar yang sudah tersedia di dalam gedung butik khusus gaun wedding. Aku baru pertama kali melangkah di gedung ini, sepertinya gedung ini tidak terlihat sebelum mengenal Tante. Apa karena kemewahan gedung ini membuatku tutup mata. Para karyawan di sini pada memujiku, katanya aku sangat cantik dan cocok memakai gaun yang dikenakan sekarang. Kami memilih gaun yang ready stok, karena untuk memesan dan membuat kusus sesuai desain sendiri itu tidak ada waktu. Karena waktu sudah sangat mepet, jadi kami disuruh memilih gaun yang sudah tersedia di sini.
Aku melangkah kecil ke parkiran, hotel yang dituju adalah hotel bintang empat se-Jakarta. Di mana hotel itu yang dipilih Tante untuk pernikahan kami nantinya. Rencana pernikahan yang sederhana ternyata hanya sebatas wacana. Aku tidak tahu lagi, seperti apa pernikahanku nanti, tapi pastinya sangat mewah. “Setelah ke hotel kita langsung ke butik satunya ya, kalau di sana tidak terbatas waktunya, paling mepet 2 Minggu sebelum hari H.““Mau ngapain, Tante?““Milih kain, setelah itu nanti jemput Mbak Lastri dan pak Yanto ya, Tante tunggu di sana buat ukur badan,” suruhnya.Aku mengangguk lagi.Mobil yang aku kendarai sudah sampai di depan lobby hotel, para penjaga pun mengambil alih meminta kunci mobil untuk memarkirkan. Sementara aku dan Tante diajak langsung masuk ke resepsionis. Tante menunjukkan layar ponselnya yang langsung disambut pelayan hotel dengan sangat ramah. Pelayan itu langsung mengajak kami di sebuah ruangan. Kami duduk di sofa dengan meja kaca dan Pelayan itu mulai membu