“Sherly, kalau ijabnya sekalian di gedung ini gak papa kan?“ tanyanya menoleh ke arahku. Aku bengong sejenak.“Soalnya rumah Tante ataupun ruko yang kamu tinggali sepertinya tidak muat untuk 300-an, Sherly.““Iya, enggak papa, Tante. Enaknya saja bagaimana,” jawabku kemudian, memang benar apa yang diucapkan Tante. Kayaknya lucu juga ya nikah di dalam Ruko.“Baiklah.““Mbak, nanti saya minta yang sebelah sini digelar karpet saja ya, saya pengen akad nanti lesehan saja. Hanya ada meja kecil buat pengantin. Jadi setelah acara akad selesai, baru dekorasinya diubah setelahnya, jadi dua konsep gitu, bisa?“ tanya Tante ke Mbaknya.“Bisa banget, Ibu. Kebetulan paket yang ibu pilih adalah termasuk VVIP, jadi kita yang menyesuaikan keinginan pelanggan sepuasnya. Owh ya satu lagi ... kami menyediakan perawatan selama satu Minggu sebelum pernikahan untuk pengantin kedua mempelai. Juga ada fasilitas menginap di hotel selama 10 hari, 1 Minggu sebelum hari H dan 3 harinya setelah hari H. Jadi ada 4
“Baik. Saya ijin undur diri dulu ya, Bu, Kakak. Terima kasih sudah memilih kami untuk acara hari besar nanti.“Kami manggut-manggut, tersenyum ke arahnya. Menatap siluet tubuhnya yang meliuk-liuk, melewati ballroom yang sebentar lagi akan menjadi saksi pernikahanku yang kedua nanti.“Kamu ada rekomendasi, Sherly untuk photographernya?“ tanya Tante menoleh ke arahku.“Belum ada, Tante. Nanti Sherly nyari ke IG.““Baik. Kalau MUA Tante sudah pesankan. Di Khadijah Az-zahra yang dari Jawa timur itu. Kebetulan hari H nanti kosong jadi bisa.“Aku sedikit familiar mendengar MUA itu disebutkan, tapi di mana? Lantas aku segera membuka ponsel untuk menjawab penasaranku ini, lalu mengetik pencarian nama MUA yang disebutkan Tante barusan. Jangan sampai salah MUA. Bisa jadi kan Tante salah milih, ya kan. Kalau sampai iya, aku akan membawa MUA sendiri sebagai cadangan kalau kecewa hasilnya nanti.Pencarianku ketemu, lagi aku dibuat takjub oleh Tante. Aku terus mengusap layar melihat akun MUA, melih
Sesampainya Ruko, aku segera turun dari mobil dan tidak lupa menguncinya. Segara aku masuk membuka pintu ruko yang tidak dikunci. “Assalamualaikum, Emak.““Bapak!“Sapaku sedikit berteriak sembari masuk. Pandanganku mengintari ke ruangan, mencari emak, bapak yang tidak kunjung keluar.Aku segera ke kamar mandi untuk berwudhu sembari menunggu mereka.“Walaikum salam, Nak Sherly sudah pulang?“ sambut Emak yang datang dari arah belakang, dan menghampiriku. Aku lekas mencium Takdzim punggung tangannya.“Iya, Mak. Mak lekas bersiap, ya. Nanti Emak dan Bapak mau Sherly ajak pergi setelah salat ashar.““Mau ke mana?““Kata Tante mau ngukur badan, bikin seragam yang senada dengan Tante.““Duh, Mbak Yanti itu selalu begitu, emak malu lama-lama kalau dibantu terus.““Ya mau bagaimana lagi, Mak. Soalnya Tante sudah menganggap kita sebagai keluarganya. Jadi ya gitu, enggak perhitungan sama kita, Mak.““Pokoknya kita harus ingat kebaikan mbak Yanti, Nak. Balas kalau kita dimampukan, apapun yang d
Tidak lama pesanan datang, kami segera menyantap makanan yang sudah dipilihkan Tante; udang saos tiram, kepiting juga cumi-cumi goreng dan tumis kangkung. Sedikit aku memejamkan mata, menikmati setiap rasa melalui indera pengecap. Semua bahan yang dipilih memang kualitas bagus juga bersih, terlihat dari ukurannya yang besar-besar, hanya saja untuk rasa aku kurang menyukainya. Kurang mantap kalau orang Jawa bilang.Sepertinya emak bisa memasak lebih enak dari ini. Wah jadi tidak sabar bikin konsepnya.Seusai makan, kami pun salat magrib bergantian di mushola yang tersedia di restoran ini. “Mak, doain Sherly ya, Mak. Biar rejeki Sherly mengalir deras, hingga bisa membuat warung makan Segede ini,” ujarku ke emak sembari menunggu Tante dan Bapak shalat.“Amin, pasti itu, gak perlu diminta pun, Emak pasti mendoakan kebaikan untukmu, Nak.““Makasih ya, Mak. Sherly yakin Mak, kalau sudah buka pasti rame, Mak. Masakan Emak kan enak.“Mak menoleh tersenyum ke arahku, aku pun langsung bersend
Pagi buta aku sudah dibangunkan Emak. Jam setengah 4 pagi. Emak memintaku untuk membantu memasak. Katanya ingin membawakan bekal makanan untuk bapak agar tidak kelaparan di perjalanan nanti. Aku mengangguk mengiyakan, sedikit mengerti dengan selera bapak yang kurang suka jajan kecuali sungkan karena diajak. Katanya lebih enak masakan emak. Pipi Emak pun langsung merona merah kala itu. Aku sedikit iri dengan rumah tangga Emak. Sepertinya tidak ada konflik tapi selalu hangat. Apa mungkin karena Bapak lebih rela memilih emak daripada nongkrong dengan para teman-temannya? Aku sering lihat Emak gak pernah ngeluh kesepian, juga selalu cerewet di depan bapak. Bapak pun lebih mengutamakan pendapat Emak dan mendahulukan emak. Mereka terlihat kompak. Semoga saja rumah tanggaku nanti bisa seharmonis orang tuaku. Amin. Aku pun segera bangkit dan beranjak ke dapur. Membantu mengupas bawang dan teman-temannya. Sementara Emak tengah sibuk merebus ayam yang masih membeku.Tidak terasa, suara adzan
“Atas Nama Pramudya Enggar Sutomo!“ seru suster dari dalam ruangan setelah sekian menit penantian.“Ya!“ Aku menjawabnya dengan sedikit seru lalu bangkit berdiri dan menghampirinya.“Hasil tes sudah keluar, silakan urus administrasi ke ruangan sana! Nanti struknya bawa ke sini lagi!“ suruh Suster itu sembari tangannya menunjuk ke sebuah lorong dan menyodorkan beberapa lembar yang aku tidak begitu paham isinya. Terlalu banyak rangakaian kata yang aku tidak mengerti dan sulit dipahami untuk orang awam sepertiku.“Baik, Sus.“ Aku menerima kertas itu dan berjalan melewati lorong, tidak sampai jauh aku sudah sampai tujuan. Aku lekas menyodorkan kertas ini ke loket yang kebetulan masih kosong.Aku masih berdiri menatap perawat laki-laki yang sibuk membuka kertas yang barusan aku sodorkan. Lalu perawat itu duduk dan mulai mengeprint. Tidak lama perawat itu berdiri lagi, dan kini menyodorkan kertas baru. “Total administrasi 10 juta 5 ratus ribu rupiah ya, Kak.“Aku meneguk ludah sesaat saat
Aku menghela napas panjang lalu mengeluarkan perlahan. Emang dari dulu harus banyak sabar menghadapinya dan tentu saja, tidak perlu mendengar ocehannya.Segera, aku pun lekas berbalik dan meninggalkan rumah Clara, datang enggak datang, sudah bukan urusanku lagi. Monggo kerso.“Aku akan pastikan datang dan lihat suami bangkotanmu itu!“ teriak Clara menggebu-gebu.Aku hanya mengedikkan bahu dan tetap melanjutkan langkahku ke mobil. Setelah ini masih ada jadwal ke beberapa tempat untuk memberikan undangan. Ke rumah Bu Ratna salah satunya.Kuurungkan niat yang hendak naik mobil, rumah Bu Ratna tidaklah terlalu jauh, sepertinya jalan kaki juga tidak memakan waktu banyak juga tidak akan begitu capek. Akupun mengunci kembali mobilnya dan mulai melangkah maju menuju rumahnya Bu Ratna.Sekian menit jalanan sudah aku tapaki, kini aku sudah berdiri di depan pintu rumahnya Bu Ratna. Aku melongok sebentar ke rumahnya Bu Ani, Bu Reni, dan juga Bu Ratih yang masih ke tutup pintunya. Sudah lama t
“Bu, ada masalah apa?“ tanyaku kemudian.“Enggak ada, Sherly. Badan Ibu lagi kurang enak saja. Paling besok juga lekas membaik. Sudah! Jangan terlalu dipikirkan!““Tapi, Bu ...““Benar. Owh ya, undangan untuk Bu Reni dan kawan-kawan mana? Sudah dikasih?“Aku menggeleng. Bu Ratna selalu mengalihkan arah pembicaraan saat aku menanyai kondisinya..“Mana? Sini titipkan ke Ibu saja. Biar Ibu sekalian bisa main ke rumah mereka!“ ujar Tante sembari memberikan tangannya. Aku mengangguk lalu mengambilkan beberapa undangan khusus kampung ini dan memberikan ke Bu Ratna.“Enggak merepotkan, Bu Ratna?““Enggaklah, sudah jangan sungkan.““Terima kasih, ya, Bu.““Iya, owh, ya. Tante mau pergi habis ini, kamu sudah kasih undangan ke Mbak Leni?““Belum, tadi baru dari Clara.““Ya sudah, sana. Nanti keburu sore, langsung ke tempatnya Mbak Leni,” ujar Bu Ratna. Aku langsung bangkit berdiri, Bu Ratna mau pergi, itu artinya aku harus segera pamit agar tidak menggangu waktunya. Mungkin kapan lagi main k
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!