Sesampainya Ruko, aku segera turun dari mobil dan tidak lupa menguncinya. Segara aku masuk membuka pintu ruko yang tidak dikunci. “Assalamualaikum, Emak.““Bapak!“Sapaku sedikit berteriak sembari masuk. Pandanganku mengintari ke ruangan, mencari emak, bapak yang tidak kunjung keluar.Aku segera ke kamar mandi untuk berwudhu sembari menunggu mereka.“Walaikum salam, Nak Sherly sudah pulang?“ sambut Emak yang datang dari arah belakang, dan menghampiriku. Aku lekas mencium Takdzim punggung tangannya.“Iya, Mak. Mak lekas bersiap, ya. Nanti Emak dan Bapak mau Sherly ajak pergi setelah salat ashar.““Mau ke mana?““Kata Tante mau ngukur badan, bikin seragam yang senada dengan Tante.““Duh, Mbak Yanti itu selalu begitu, emak malu lama-lama kalau dibantu terus.““Ya mau bagaimana lagi, Mak. Soalnya Tante sudah menganggap kita sebagai keluarganya. Jadi ya gitu, enggak perhitungan sama kita, Mak.““Pokoknya kita harus ingat kebaikan mbak Yanti, Nak. Balas kalau kita dimampukan, apapun yang d
Tidak lama pesanan datang, kami segera menyantap makanan yang sudah dipilihkan Tante; udang saos tiram, kepiting juga cumi-cumi goreng dan tumis kangkung. Sedikit aku memejamkan mata, menikmati setiap rasa melalui indera pengecap. Semua bahan yang dipilih memang kualitas bagus juga bersih, terlihat dari ukurannya yang besar-besar, hanya saja untuk rasa aku kurang menyukainya. Kurang mantap kalau orang Jawa bilang.Sepertinya emak bisa memasak lebih enak dari ini. Wah jadi tidak sabar bikin konsepnya.Seusai makan, kami pun salat magrib bergantian di mushola yang tersedia di restoran ini. “Mak, doain Sherly ya, Mak. Biar rejeki Sherly mengalir deras, hingga bisa membuat warung makan Segede ini,” ujarku ke emak sembari menunggu Tante dan Bapak shalat.“Amin, pasti itu, gak perlu diminta pun, Emak pasti mendoakan kebaikan untukmu, Nak.““Makasih ya, Mak. Sherly yakin Mak, kalau sudah buka pasti rame, Mak. Masakan Emak kan enak.“Mak menoleh tersenyum ke arahku, aku pun langsung bersend
Pagi buta aku sudah dibangunkan Emak. Jam setengah 4 pagi. Emak memintaku untuk membantu memasak. Katanya ingin membawakan bekal makanan untuk bapak agar tidak kelaparan di perjalanan nanti. Aku mengangguk mengiyakan, sedikit mengerti dengan selera bapak yang kurang suka jajan kecuali sungkan karena diajak. Katanya lebih enak masakan emak. Pipi Emak pun langsung merona merah kala itu. Aku sedikit iri dengan rumah tangga Emak. Sepertinya tidak ada konflik tapi selalu hangat. Apa mungkin karena Bapak lebih rela memilih emak daripada nongkrong dengan para teman-temannya? Aku sering lihat Emak gak pernah ngeluh kesepian, juga selalu cerewet di depan bapak. Bapak pun lebih mengutamakan pendapat Emak dan mendahulukan emak. Mereka terlihat kompak. Semoga saja rumah tanggaku nanti bisa seharmonis orang tuaku. Amin. Aku pun segera bangkit dan beranjak ke dapur. Membantu mengupas bawang dan teman-temannya. Sementara Emak tengah sibuk merebus ayam yang masih membeku.Tidak terasa, suara adzan
“Atas Nama Pramudya Enggar Sutomo!“ seru suster dari dalam ruangan setelah sekian menit penantian.“Ya!“ Aku menjawabnya dengan sedikit seru lalu bangkit berdiri dan menghampirinya.“Hasil tes sudah keluar, silakan urus administrasi ke ruangan sana! Nanti struknya bawa ke sini lagi!“ suruh Suster itu sembari tangannya menunjuk ke sebuah lorong dan menyodorkan beberapa lembar yang aku tidak begitu paham isinya. Terlalu banyak rangakaian kata yang aku tidak mengerti dan sulit dipahami untuk orang awam sepertiku.“Baik, Sus.“ Aku menerima kertas itu dan berjalan melewati lorong, tidak sampai jauh aku sudah sampai tujuan. Aku lekas menyodorkan kertas ini ke loket yang kebetulan masih kosong.Aku masih berdiri menatap perawat laki-laki yang sibuk membuka kertas yang barusan aku sodorkan. Lalu perawat itu duduk dan mulai mengeprint. Tidak lama perawat itu berdiri lagi, dan kini menyodorkan kertas baru. “Total administrasi 10 juta 5 ratus ribu rupiah ya, Kak.“Aku meneguk ludah sesaat saat
Aku menghela napas panjang lalu mengeluarkan perlahan. Emang dari dulu harus banyak sabar menghadapinya dan tentu saja, tidak perlu mendengar ocehannya.Segera, aku pun lekas berbalik dan meninggalkan rumah Clara, datang enggak datang, sudah bukan urusanku lagi. Monggo kerso.“Aku akan pastikan datang dan lihat suami bangkotanmu itu!“ teriak Clara menggebu-gebu.Aku hanya mengedikkan bahu dan tetap melanjutkan langkahku ke mobil. Setelah ini masih ada jadwal ke beberapa tempat untuk memberikan undangan. Ke rumah Bu Ratna salah satunya.Kuurungkan niat yang hendak naik mobil, rumah Bu Ratna tidaklah terlalu jauh, sepertinya jalan kaki juga tidak memakan waktu banyak juga tidak akan begitu capek. Akupun mengunci kembali mobilnya dan mulai melangkah maju menuju rumahnya Bu Ratna.Sekian menit jalanan sudah aku tapaki, kini aku sudah berdiri di depan pintu rumahnya Bu Ratna. Aku melongok sebentar ke rumahnya Bu Ani, Bu Reni, dan juga Bu Ratih yang masih ke tutup pintunya. Sudah lama t
“Bu, ada masalah apa?“ tanyaku kemudian.“Enggak ada, Sherly. Badan Ibu lagi kurang enak saja. Paling besok juga lekas membaik. Sudah! Jangan terlalu dipikirkan!““Tapi, Bu ...““Benar. Owh ya, undangan untuk Bu Reni dan kawan-kawan mana? Sudah dikasih?“Aku menggeleng. Bu Ratna selalu mengalihkan arah pembicaraan saat aku menanyai kondisinya..“Mana? Sini titipkan ke Ibu saja. Biar Ibu sekalian bisa main ke rumah mereka!“ ujar Tante sembari memberikan tangannya. Aku mengangguk lalu mengambilkan beberapa undangan khusus kampung ini dan memberikan ke Bu Ratna.“Enggak merepotkan, Bu Ratna?““Enggaklah, sudah jangan sungkan.““Terima kasih, ya, Bu.““Iya, owh, ya. Tante mau pergi habis ini, kamu sudah kasih undangan ke Mbak Leni?““Belum, tadi baru dari Clara.““Ya sudah, sana. Nanti keburu sore, langsung ke tempatnya Mbak Leni,” ujar Bu Ratna. Aku langsung bangkit berdiri, Bu Ratna mau pergi, itu artinya aku harus segera pamit agar tidak menggangu waktunya. Mungkin kapan lagi main k
“Ibu selalu memohon terus sama bapak. La gimana, Bapak juga terlanjur makan ati. Sudah tidak ada rasa.“Aku bergeming, menggigit bibir.“Sekarang ibu mana, Pak?“ tanyaku kemudian, baru teringat dari tadi ibu belum nampak juga.“Lagi ke gang depan sana. Itu Maria pengen makan tempura yang dijual ibu-ibu di sana. Mungkin ngantri jadi belum pulang sekarang,” ujar Bapak sembari menunjuk keluar dengan dagunya.“Ibu kok makin kurus. Apa bapak sudah tidak peduli lagi,” tanyaku sedikit memberanikan diri setelah maju mundur tertahan di tenggorokan.“Biar sadar. Jadi orang itu jangan semena-mena.““Tapi, Pak. Apa enggak kasihan?““Kasihan yang bagaimana tho, aku sudah mengijinkan ikut tinggal di sini. Awalnya bapaknya Maria marah besar ka Bapak. Tapi setelah tahu perlakuan Bapak ke Ibu, bapaknya Maria pun sudah tidak marah lagi, saat tahu anaknya lebih aku utamakan.“Aku menelan ludah. Hati ini ikut berdiri, dari cerita yang dilontarkan bapak. Pasti Ibu tidak mendapatkan perhatian. Menjadi urut
“Maaf, Pak. Apakah Bapak salat?“ tanyaku dengan menatap Bapak. Bapak nampak canggung, terlihat dari gestur tubuhnya yang digeser ke kanan kiri. Sepertinya pertanyaanku membuat tidak nyaman beliau.Aku juga ikut membenarkan letak dudukku. Tenggorokanku serasa kering. Ibu juga tidak kunjung keluar daritadi.Jam sudah menunjukkan angka dua kurang berapa menit lagi, terlihat di jam dinding yang menempel di atas persis di hadapanku saat aku mendongak.Tak kunjung mendapatkan jawaban, akupun segera mengabaikan pertanyaan tadi. “Pak, boleh saya numpang salat di sini?“ Pamitku dengan memberanikan diri, sekalian mau lihat kondisi ibu di dalam.“Hah, salat? Di sini?“ tanya Bapak dengan tergagap. Aku mengangguk cepat. “Sebentar ya, Bapak tanyakan ke Maria dulu,” ujar bapak langsung bangkit berdiri dan berjalan ke belakang.Aku mengangguk dan memperhatikan langkah bapak yang masuk ke salah satu kamar di dalam.Sedikit heran dengan istri barunya bapak. Aku hampir satu jam berada di sini, tapi