Pagi buta aku sudah dibangunkan Emak. Jam setengah 4 pagi. Emak memintaku untuk membantu memasak. Katanya ingin membawakan bekal makanan untuk bapak agar tidak kelaparan di perjalanan nanti. Aku mengangguk mengiyakan, sedikit mengerti dengan selera bapak yang kurang suka jajan kecuali sungkan karena diajak. Katanya lebih enak masakan emak. Pipi Emak pun langsung merona merah kala itu. Aku sedikit iri dengan rumah tangga Emak. Sepertinya tidak ada konflik tapi selalu hangat. Apa mungkin karena Bapak lebih rela memilih emak daripada nongkrong dengan para teman-temannya? Aku sering lihat Emak gak pernah ngeluh kesepian, juga selalu cerewet di depan bapak. Bapak pun lebih mengutamakan pendapat Emak dan mendahulukan emak. Mereka terlihat kompak. Semoga saja rumah tanggaku nanti bisa seharmonis orang tuaku. Amin. Aku pun segera bangkit dan beranjak ke dapur. Membantu mengupas bawang dan teman-temannya. Sementara Emak tengah sibuk merebus ayam yang masih membeku.Tidak terasa, suara adzan
“Atas Nama Pramudya Enggar Sutomo!“ seru suster dari dalam ruangan setelah sekian menit penantian.“Ya!“ Aku menjawabnya dengan sedikit seru lalu bangkit berdiri dan menghampirinya.“Hasil tes sudah keluar, silakan urus administrasi ke ruangan sana! Nanti struknya bawa ke sini lagi!“ suruh Suster itu sembari tangannya menunjuk ke sebuah lorong dan menyodorkan beberapa lembar yang aku tidak begitu paham isinya. Terlalu banyak rangakaian kata yang aku tidak mengerti dan sulit dipahami untuk orang awam sepertiku.“Baik, Sus.“ Aku menerima kertas itu dan berjalan melewati lorong, tidak sampai jauh aku sudah sampai tujuan. Aku lekas menyodorkan kertas ini ke loket yang kebetulan masih kosong.Aku masih berdiri menatap perawat laki-laki yang sibuk membuka kertas yang barusan aku sodorkan. Lalu perawat itu duduk dan mulai mengeprint. Tidak lama perawat itu berdiri lagi, dan kini menyodorkan kertas baru. “Total administrasi 10 juta 5 ratus ribu rupiah ya, Kak.“Aku meneguk ludah sesaat saat
Aku menghela napas panjang lalu mengeluarkan perlahan. Emang dari dulu harus banyak sabar menghadapinya dan tentu saja, tidak perlu mendengar ocehannya.Segera, aku pun lekas berbalik dan meninggalkan rumah Clara, datang enggak datang, sudah bukan urusanku lagi. Monggo kerso.“Aku akan pastikan datang dan lihat suami bangkotanmu itu!“ teriak Clara menggebu-gebu.Aku hanya mengedikkan bahu dan tetap melanjutkan langkahku ke mobil. Setelah ini masih ada jadwal ke beberapa tempat untuk memberikan undangan. Ke rumah Bu Ratna salah satunya.Kuurungkan niat yang hendak naik mobil, rumah Bu Ratna tidaklah terlalu jauh, sepertinya jalan kaki juga tidak memakan waktu banyak juga tidak akan begitu capek. Akupun mengunci kembali mobilnya dan mulai melangkah maju menuju rumahnya Bu Ratna.Sekian menit jalanan sudah aku tapaki, kini aku sudah berdiri di depan pintu rumahnya Bu Ratna. Aku melongok sebentar ke rumahnya Bu Ani, Bu Reni, dan juga Bu Ratih yang masih ke tutup pintunya. Sudah lama t
“Bu, ada masalah apa?“ tanyaku kemudian.“Enggak ada, Sherly. Badan Ibu lagi kurang enak saja. Paling besok juga lekas membaik. Sudah! Jangan terlalu dipikirkan!““Tapi, Bu ...““Benar. Owh ya, undangan untuk Bu Reni dan kawan-kawan mana? Sudah dikasih?“Aku menggeleng. Bu Ratna selalu mengalihkan arah pembicaraan saat aku menanyai kondisinya..“Mana? Sini titipkan ke Ibu saja. Biar Ibu sekalian bisa main ke rumah mereka!“ ujar Tante sembari memberikan tangannya. Aku mengangguk lalu mengambilkan beberapa undangan khusus kampung ini dan memberikan ke Bu Ratna.“Enggak merepotkan, Bu Ratna?““Enggaklah, sudah jangan sungkan.““Terima kasih, ya, Bu.““Iya, owh, ya. Tante mau pergi habis ini, kamu sudah kasih undangan ke Mbak Leni?““Belum, tadi baru dari Clara.““Ya sudah, sana. Nanti keburu sore, langsung ke tempatnya Mbak Leni,” ujar Bu Ratna. Aku langsung bangkit berdiri, Bu Ratna mau pergi, itu artinya aku harus segera pamit agar tidak menggangu waktunya. Mungkin kapan lagi main k
“Ibu selalu memohon terus sama bapak. La gimana, Bapak juga terlanjur makan ati. Sudah tidak ada rasa.“Aku bergeming, menggigit bibir.“Sekarang ibu mana, Pak?“ tanyaku kemudian, baru teringat dari tadi ibu belum nampak juga.“Lagi ke gang depan sana. Itu Maria pengen makan tempura yang dijual ibu-ibu di sana. Mungkin ngantri jadi belum pulang sekarang,” ujar Bapak sembari menunjuk keluar dengan dagunya.“Ibu kok makin kurus. Apa bapak sudah tidak peduli lagi,” tanyaku sedikit memberanikan diri setelah maju mundur tertahan di tenggorokan.“Biar sadar. Jadi orang itu jangan semena-mena.““Tapi, Pak. Apa enggak kasihan?““Kasihan yang bagaimana tho, aku sudah mengijinkan ikut tinggal di sini. Awalnya bapaknya Maria marah besar ka Bapak. Tapi setelah tahu perlakuan Bapak ke Ibu, bapaknya Maria pun sudah tidak marah lagi, saat tahu anaknya lebih aku utamakan.“Aku menelan ludah. Hati ini ikut berdiri, dari cerita yang dilontarkan bapak. Pasti Ibu tidak mendapatkan perhatian. Menjadi urut
“Maaf, Pak. Apakah Bapak salat?“ tanyaku dengan menatap Bapak. Bapak nampak canggung, terlihat dari gestur tubuhnya yang digeser ke kanan kiri. Sepertinya pertanyaanku membuat tidak nyaman beliau.Aku juga ikut membenarkan letak dudukku. Tenggorokanku serasa kering. Ibu juga tidak kunjung keluar daritadi.Jam sudah menunjukkan angka dua kurang berapa menit lagi, terlihat di jam dinding yang menempel di atas persis di hadapanku saat aku mendongak.Tak kunjung mendapatkan jawaban, akupun segera mengabaikan pertanyaan tadi. “Pak, boleh saya numpang salat di sini?“ Pamitku dengan memberanikan diri, sekalian mau lihat kondisi ibu di dalam.“Hah, salat? Di sini?“ tanya Bapak dengan tergagap. Aku mengangguk cepat. “Sebentar ya, Bapak tanyakan ke Maria dulu,” ujar bapak langsung bangkit berdiri dan berjalan ke belakang.Aku mengangguk dan memperhatikan langkah bapak yang masuk ke salah satu kamar di dalam.Sedikit heran dengan istri barunya bapak. Aku hampir satu jam berada di sini, tapi
“Kenapa, Sherly? Ada yang tertinggal?“ tanya Bapak setelah keluar dengan kening berkerut.Aku menggeleng. “Ini, Pak. Ibu mau ikut Sherly sementara, katanya mau bantu-bantu acara pernikahan Sherly, begitu katanya,” ucapku beralasan sembari menatap ibu meminta persetujuan.Ibu nampak bingung dan kemudian mengangguk-angguk dengan memaksakan senyum.“Yakin, Bu? Maria bagaimana? Siapa yang masakinnya? Siapa yang bersihin rumah ini?“ tanya Bapak menatap ibu dengan tatapan tidak suka.Benar dugaanku. Ibu di sini dijadikan pembantu gratisan oleh istri mudanya. Sungguh keterlaluan.“Kenapa pekerjaan dilimpahkan ke Ibu, Pak? Rumah segede gini tidak ada pembantu? Ibu yang melakukan semua? Kebangetan, Pak!“Aku menatap bapak dengan perasaan jengkel, lalu berganti menatap ibu yang tengah menunduk dengan memainkan ke-dua tangannya.Aku jengkel ke mereka, tidak terkecuali. Kenapa ibu yang dulunya begitu garang dan ucapannya tajam, kenapa sekarang diam saja dan menurut saat ditindas begini? Ish, aku
POV PRAM.Kutatap kertas tebal yang bertuliskan undangan pernikahan yang bernama Sherly dengan Zen. Ada yang berdesir di sini, wanitaku cepat sekali muvo on nya. Sebentar lagi dia akan menikah, aku ikut senang, berarti dia sudah mampu melupakanku. Aku menjatuhkan badan ke lantai, lalu menyelonjorkan kaki dan membuka kaos yang setengah basah oleh keringat. “Pokoknya besok harus datang!“ ujar Clara yang masih sibuk menyuapi Amira. Sementara aku, memandang kedua telapak tanganku yang sudah dipenuhi kapal.Aku mengangguk saja, tidak ada alasan untuk tidak datang ke acara Sherly. “Masak apa, Clara?“ tanyaku kemudian.“Lihat saja di belakang!“Aku bangkit dan berjalan ke dapur, rasa lapar yang mulai mendera membuatku tidak sabar ingin segera menyuap makanan. Bahkan untuk mandi pun lebih baik sehabis makan saja.Tudung saji warna biru yang menutupi makanan, aku angkat. Mataku membeliak sesaat, air liurku hampir saja tidak tertahan. Banyak sekali lauk pauk yang terjejer di meja. Tidak m