“Ibu selalu memohon terus sama bapak. La gimana, Bapak juga terlanjur makan ati. Sudah tidak ada rasa.“Aku bergeming, menggigit bibir.“Sekarang ibu mana, Pak?“ tanyaku kemudian, baru teringat dari tadi ibu belum nampak juga.“Lagi ke gang depan sana. Itu Maria pengen makan tempura yang dijual ibu-ibu di sana. Mungkin ngantri jadi belum pulang sekarang,” ujar Bapak sembari menunjuk keluar dengan dagunya.“Ibu kok makin kurus. Apa bapak sudah tidak peduli lagi,” tanyaku sedikit memberanikan diri setelah maju mundur tertahan di tenggorokan.“Biar sadar. Jadi orang itu jangan semena-mena.““Tapi, Pak. Apa enggak kasihan?““Kasihan yang bagaimana tho, aku sudah mengijinkan ikut tinggal di sini. Awalnya bapaknya Maria marah besar ka Bapak. Tapi setelah tahu perlakuan Bapak ke Ibu, bapaknya Maria pun sudah tidak marah lagi, saat tahu anaknya lebih aku utamakan.“Aku menelan ludah. Hati ini ikut berdiri, dari cerita yang dilontarkan bapak. Pasti Ibu tidak mendapatkan perhatian. Menjadi urut
“Maaf, Pak. Apakah Bapak salat?“ tanyaku dengan menatap Bapak. Bapak nampak canggung, terlihat dari gestur tubuhnya yang digeser ke kanan kiri. Sepertinya pertanyaanku membuat tidak nyaman beliau.Aku juga ikut membenarkan letak dudukku. Tenggorokanku serasa kering. Ibu juga tidak kunjung keluar daritadi.Jam sudah menunjukkan angka dua kurang berapa menit lagi, terlihat di jam dinding yang menempel di atas persis di hadapanku saat aku mendongak.Tak kunjung mendapatkan jawaban, akupun segera mengabaikan pertanyaan tadi. “Pak, boleh saya numpang salat di sini?“ Pamitku dengan memberanikan diri, sekalian mau lihat kondisi ibu di dalam.“Hah, salat? Di sini?“ tanya Bapak dengan tergagap. Aku mengangguk cepat. “Sebentar ya, Bapak tanyakan ke Maria dulu,” ujar bapak langsung bangkit berdiri dan berjalan ke belakang.Aku mengangguk dan memperhatikan langkah bapak yang masuk ke salah satu kamar di dalam.Sedikit heran dengan istri barunya bapak. Aku hampir satu jam berada di sini, tapi
“Kenapa, Sherly? Ada yang tertinggal?“ tanya Bapak setelah keluar dengan kening berkerut.Aku menggeleng. “Ini, Pak. Ibu mau ikut Sherly sementara, katanya mau bantu-bantu acara pernikahan Sherly, begitu katanya,” ucapku beralasan sembari menatap ibu meminta persetujuan.Ibu nampak bingung dan kemudian mengangguk-angguk dengan memaksakan senyum.“Yakin, Bu? Maria bagaimana? Siapa yang masakinnya? Siapa yang bersihin rumah ini?“ tanya Bapak menatap ibu dengan tatapan tidak suka.Benar dugaanku. Ibu di sini dijadikan pembantu gratisan oleh istri mudanya. Sungguh keterlaluan.“Kenapa pekerjaan dilimpahkan ke Ibu, Pak? Rumah segede gini tidak ada pembantu? Ibu yang melakukan semua? Kebangetan, Pak!“Aku menatap bapak dengan perasaan jengkel, lalu berganti menatap ibu yang tengah menunduk dengan memainkan ke-dua tangannya.Aku jengkel ke mereka, tidak terkecuali. Kenapa ibu yang dulunya begitu garang dan ucapannya tajam, kenapa sekarang diam saja dan menurut saat ditindas begini? Ish, aku
POV PRAM.Kutatap kertas tebal yang bertuliskan undangan pernikahan yang bernama Sherly dengan Zen. Ada yang berdesir di sini, wanitaku cepat sekali muvo on nya. Sebentar lagi dia akan menikah, aku ikut senang, berarti dia sudah mampu melupakanku. Aku menjatuhkan badan ke lantai, lalu menyelonjorkan kaki dan membuka kaos yang setengah basah oleh keringat. “Pokoknya besok harus datang!“ ujar Clara yang masih sibuk menyuapi Amira. Sementara aku, memandang kedua telapak tanganku yang sudah dipenuhi kapal.Aku mengangguk saja, tidak ada alasan untuk tidak datang ke acara Sherly. “Masak apa, Clara?“ tanyaku kemudian.“Lihat saja di belakang!“Aku bangkit dan berjalan ke dapur, rasa lapar yang mulai mendera membuatku tidak sabar ingin segera menyuap makanan. Bahkan untuk mandi pun lebih baik sehabis makan saja.Tudung saji warna biru yang menutupi makanan, aku angkat. Mataku membeliak sesaat, air liurku hampir saja tidak tertahan. Banyak sekali lauk pauk yang terjejer di meja. Tidak m
“Pram, ini Asep, mantan karyawan di sini. Hari ini hari terakhirnya bekerja setelah cuti,” ujar pak Ruslan lagi.Aku mengangguk lagi, lalu memberikan tangan, niat hati ingin berjabat tangan, tapi sayangnya, lelaki itu mengacuhkan dan membuang muka. “Owh ya, Sep, Bapak nitip toko sebentar ya, mau keluar ada urusan!“ Asep mengangguk lalu atasanku itu pergi mengendarai mobi box-nya. “Kamu beri apa Pak Ruslan? Kok bisa-bisanya memecat aku tiba-tiba dan langsung memilihmu menjadi penggantiku?” tanyanya dengan sorot kebencian.Aku mengedikkan bahu. Bukan istimewa aku dapat pekerjaan di sini. Hanya karena utang aku mau bertahan. Dulu ini aku pekerja kantoran lho. Tapi nasib apa aku bisa menjadi pekerja serabutan seperti ini. “Aku di sini sudah empat tahun. Tiga bulan yang lalu baru merasakan kenaikan gaji. Aku cukup bahagia, apalagi aku punya seorang istri dan anak. Mencapai empat juta itu aku harus berjuang lama,” ucapnya lagi dengan nada keputus asaan. Kini aku yang dibuat melotot. Me
POV Sherly“Menginap di sini saja! Daripada pulang, ini sudah malam!“ suruhku ke dua wanita yang tengah membersihkan peralatan bekas henna.Hampir tiga jam tanganku dirias oleh kedua mbak tadi, tanganku kini terlihat begitu cantik setelah dihias dengan Henna warna putih,pun besok masih ditambah beberapa monte sebagai pelengkap. Mbak Vita dan Mbak Nada namanya, kami berkenalan sambil mengobrol kala tanganku dilukis tadi. Mereka datang setelah isya', mereka dipesan oleh Mua yang menanganiku besok, hanya saja mereka asli daerah Jakarta. Tapi, melihat sekarang sudah jam 11 malam, rasanya aku tidak tega membiarkan mereka pulang, apalagi besok pagi buta harus datang ke sini lagi. Mereka saling berpandangan, dan belum juga memberi jawaban setelah sekian menit. “Tidak apa-apa. Anggap saja aku kakakmu, tidur yang nyaman di sini, lagian ukuran ranjang juga lebar, cukuplah untuk kita bertiga,” ujarku meyakinkan mereka. Lagi, mereka berpandang-pandangan. Usia mereka yang masih remaja sangat k
Aku meraih ponsel yang masih terpasang dengan charger lalu melepasnya, terlihat di layar sudah jam 3 pagi. Aku pamit ke mereka untuk mandi dulu. Kemudian tanganku dibalut oleh plastik wrapping yang seperti pembungkus buat itu. Katanya menjaga agar tidak terkena air. Aku pasrah dan bangkit berlalu ke kamar mandi lalu mandi ala kadarnya. Badanku masih tercium wangi, baru kemarin aku berendam di bathtub yang sudah diberi kembang mawar dan sabun cair oleh pelayan hotel. “Kenapa sepagi ini Mbak ngehenanya?“ tanyaku kemudian seusai mandi dan sudah bersiap.“Maaf, Kak. Karena sebentar MUA yang merias Kakak akan datang, biar nanti tidak saling bertubrukan kalau sudah selesai salah satunya,” jelasnya dengan menempelkan lem ke atas punggung tanganku.“Ini awet ya? Atau akan lepas begitu saja?““Insyaallah, enggak, Kak. Kami memilih lem dan Hennanya yang kualitas terbaik sesuai pesanan, Kak.““Sesuai pesanan?““Iya, MUA nya memesan yang nomor 1, Kak.“Aku manggut-manggut dan menatap tangannya
Dengan bermodalkan undangan, akhirnya kami sampai di depan lobby hotel. Aku segera menunjukkan undangan ke satpam yang berjaga di sana. Bisa-bisanya mereka tidak percaya dan meminta KTP untuk memastikan. Mentang-mentang ke sini membawa motor, mereka meremehkan begitu saja, untung saja aku selalu membawa KTP. Akhirnya salah satu dari mereka mengantarkan aku ke ballroom di mana Sherly menikah. Aku menggendong Amira dengan menggandeng Clara. Kami melewati beberapa ruangan dan naik lift lalu berjalan lagi ke sebuah ruangan. Satpam tadi meninggalkanku begitu saja di depan ruangan yang juga dijaga ketat oleh penjaga lainnya. Akupun memperlihatkan KTP lagi dan undangan, baru pintu dibukakan untuk kami.Aku terkejut dengan pemandangan di depan mata. Baru sampai di lorong saja sudah penuh dekorasi yang indah. Amira yang semula nampak lesu pun menjadi bersemangat kala melihat banyak bunga asli di depan mata. Sementara Clara, wajahnya semakin terlihat masam. Aku masih dengan tingkat keperca