Sesampainya sana, aku lekas ikut duduk menyamai mereka. Banyak sekali yang mau menyaksikan akad nikah.Kumiringkan badan melewati punggung para tamu demi melihat seperti apa sosok yang melantunkan Qori’ itu. Suaranya begitu merdu dan indah, aku sebagai sesama lelaki pun merasa terkesima.Tidak lama, suara qori' Itu berhenti lalu tidak lama berganti dengan suara surah Ar Rahman. Aku sedikit teringat dengan keinginan Sherly pas awal menikah.Dulu dia menginginkan aku untuk melantunkan surah Ar Rahman kala pernikahan dilakukan. Sayangnya aku belum percaya diri kala itu, juga sadar diri. Ejaanku masih banyak yang salah, akhirnya aku tidak memberikan apa yang dia inginkan, dan kali ini dia mendapatkannya. Aku akui, pernikahannya kali ini terlalu mewah dan keren.Pencarianku tidak kunjung ketemu. Kedua pengantin tertutup di antara ratusan tamu. Ingin sekali mendekat tapi sayangnya aku berangkat telat. “Bapak mau maju?“ tanya seorang pemuda yang mengetahui aku terus melongok ke depan.Oto
POV Sherly.Terpana aku dibuat oleh Zen. Lelaki itu terlalu sempurna, suaranya yang merdu membuatku meneteskan air mata haru, baru kali ini aku mendengar dia mengaji, aku tidak pernah meminta apapun ke Zen di pernikahan ini.Jujur, saat dia mengaji surah Ar-Rahman aku teringat mimpiku waktu muda dulu, kukira mimpiku tidak akan pernah tercapai. Ternyata Allah punya rencana lain, Allah mengabulkan mimpiku di pernikahan yang kedua.Pandanganku mengedar, begitu banyak pemudi dan pemuda dari pondok Zen. Menatap mereka hatiku ikut adem dibuatnya. Bahkan Abah dari pondok Zen pun ikut menghadiri dan mendoakan pernikahan kami. Ya Allah, aku tidak akan menyangka, pernikahan yang kedua ini benar-benar sangat istimewa. lagi, aku kembali menatap Zen yang sedang membungkuk mencium takdzim Abahnya. Terima kasih, Ya Allah. Menjadikan Zen suamiku.Aku sedikit terkejut ketika mendongak, di depanku terpampang jelas ada mantan suamiku dengan istrinya. Pram bengong menatapku, sementara Clara menekuk waja
“Ehm, ya. Terserah Abang saja,” ucapku setengah gugup.“Bagaimana kalau?“ tanya Zen dengan membalikkan badan. Pandangan kami bertemu. Aku terpaku dan menyadari detak jantungku tidak aman! Ya Allah, desiran ini terlalu panas. Lantas Aku segera membuang muka. Tidak mungkin kan aku langsung menyergap begitu saja. Tahan Sherly! Jaga harga diri! Wanita dilarang meminta duluan! Kamu juga lagi menstruasi kan! Ingat!Aku menarik napas panjang lalu mengeluarkan, kenapa menahan hasrat bisa sesusah ini? Ya Allah, aku menyadari. Sepertinya aku telah berubah menjadi jablai setengah jam yang lalu.“Umi? Mau?“ tanya Zen yang tiba-tiba duduk di hadapanku dengan berjongkok. Aku meneguk ludah, lalu memundurkan badan. Kenapa dia seberani ini? Harusnya dia malu-malu?“Kok diam?“Aku mengigit bibir, menahan hasrat tentu saja, apalagi melawan tatapan matamu yang minta diterkam.“Terus aku panggil apa? Ubi gitu?“ jawabku kemudian.“Kok Ubi sih? Emang wajahku terlihat seperti umbi-umbian gitu,” protes Zen d
“Sudah ya fotonya! Ganti baju dulu yuk!“ suruh Mbak Khadijah setelah kita cukup lama berfoto-foto. Aku mengangguk lalu menghampiri Mbak Khadijah nya. “Saya mohon pamit ke bawah lagi ya, Mbak,” ujar tukang fotonya ke kami. Kami mengangguk bersamaan.“Mbak Riska! Tolong bantuin Mbak Sherly buka kancing seribu itu ya!““Baik, Mbak.““Ah, gak usah, Mbak. Biar saya sama suami saya saja yang melepas baju ini,” ujarku ke mereka.Mereka tersenyum lalu mengangguk setelah menggelengkan kepala.Zen membuka matanya lebar menatapku, aku pura-pura tidak peduli lalu mendekat dan berdiri di hadapannya.“Tolong ya, Bi!“Zen yang duduk di hadapanku pun memaksakan diri menyentuh kancing bajuku yang di depan dada. Aku menunduk menatap jemarinya yang masih bergetar dan kadang membuka kancingnya meleset.Aku menggigit bibir, menahan diri untuk tidak menertawakan. Hasratku sudah berganti sekarang. Menggodanya lebih seru.Ingin sekali aku meniup cuping telinganya andaikan tidak ada orang lain di kamar ini.
“Bukankah pernikahan itu saling melengkapi, aku kelebihannya dan—““Aku kekurangannya begitu,” rasa haru ku berubah lalu Aku menepuk pantatnya gemas. “Ih, pelecehan!“ Zen menghentikan langkahnya dan berbalik melotot ke arahku dengan tangan memegang pantatnya.Dia gak tahu, pelototannya itu tidak menakutkan sama sekali, yang ada malah lucu menggemaskan, ih.“Ehem-ehem!“Aku menoleh ke belakang. Aku memutar bola mata dengan malas. Kenapa sih, pengganggu ini enggak pulang-pulang?“Tadi Amira minta diantar ke Kamu!“ ucap Pram menunjuk ke arah Amira.Aku pun berjongkok di hadapannya. “Mau eskrim?“Amira mengangguk malu-malu, aku bangkit berdiri lalu menggandeng Amira menuju penjaga eskrim, sementara Zen mengekoriku.Amira menerima cone eskrim dengan girang lalu meminta turun dari gendonganku.Aku menurutinya dan mengajaknya duduk di atas kursi. Amira menurut, aku membopongnya dan mendudukkan di atas Kursi.Menatap Amira cukup lama, gelang yang aku belikan dulu sudah tidak terlihat lagi,
POV Sherly.Aku menatap diri di cermin. Memandang mbak perias yang sedang membantu melepaskan aksesoris yang menempel di kepala. Acara baru saja selesai setengah jam yang lalu, di mana para tamu sudah berpamitan dan juga mulai sepi.Aku pamit naik lebih awal ke Tante, juga Emak,Bapak. Mereka masih tertinggal di bawah termasuk Zen. Rasa capek yang sudah tidak tertahankan lagi, apalagi memakai gaun yang berat dan hiasan kepala. Rasa capek sepertinya bertambah kali lipat. “Assalamualaikum.“Aku menoleh ke arah suara yang bersamaan suara pintu dibuka dari luar. Zen berjalan mendekat ke arahku.lalu ikut duduk bersisian.“Kak. Sudah semua, ya make up nya mau saya bantu hapus apa mau sendiri saja?““Sendiri saja, Mbak.““Baik. Saya mohon pamit diri ya, Kak. Atas nama Mbak Khadijah bila ada kekurangan dan hal yang membuat tidak nyaman. Kami minta maaf yang sebesar-besarnya ya, Kak.““Sama, Mbak. Saya juga meminta maaf untuk kalian.““Terima kasih sudah menggunakan jasa kami ya, Kak dan sel
Aku menggeliat, memutar tubuhku yang sudah berpindah posisi. Menyingkap selimut yang menutupi tubuh. Aku lekas duduk saat telingaku mendengar suara mengaji. Rupanya Zen. Dia sudah berganti baju, memakai kopiah dan memegang sesuatu dibalik punggungnya.“Bang,” sapaku pelan.Zen mengangguk lalu menutup Alquran dan mencium mushaf itu lalu menoleh kepadaku. Senyuman terbit di wajahnya.Ia berdiri meletakkan mushaf kecil itu ke atas meja, lalu berjalan ke arahku. “Kamu lapar kan? Segera mandi, bersiap. Nanti kita ke bawah. Sarapan bareng bersama pengunjung hotel ini,”ujarnya sambil duduk bersisian denganku. Badanku direngkuh olehnya.Cup. Kini pipiku yang dikecup. Aku pastikan wajah ini pasti terlihat seperti kepiting rebus. Aku sedikit menunduk, menghindari tatapannya, takut saja bila ada kotoran mata atau iler yang sudah mengering ditemukan olehnya, kan malu.Aku lekas berdiri, meraih handuk yang menempel di dinding lalu pergi ke kamar mandi.'Fiuh.“Aku bernapas lega sesampainya kam
Mobil yang kami tumpangi berhenti tepat di bahu jalan depan kontrakan yang ditinggali Clara.Amira masih tidur di pangkuanku sekitar 20 menit-an yang lalu, dengan hati-hati aku memindahkan Amira dan menempelkan ke bahu dengan bersiap keluar dari mobil.“Terima kasih, ya,” ucapku ke Zen yang telah membukakan pintu mobil untukku. Lalu kami turun dan mengetuk pintu pagar berulangkali. Pintu itu sudah terbuka sedikit, aku pun berinisiatif masuk karena tidak kunjung ada jawaban dari tuan rumah, bisa jadi karena tidak kedengaran.Aku melihat sepasang sepatu lelaki yang berada di depan halaman, sepatu kulit, seperti orang pekerja kantoran. Aku ragu-ragu ingin mengetuk pintu utama. Pintu yang tertutup rapat.“Kenapa?“ tanya Zen.“Ganggu, enggak ya?““Sudah sampai sini 'kan? Enggak papa, ketok pintu saja dulu!““Baiklah.“Satu ketukan ...Dua ketukan ...“Bentar!“ teriak seorang wanita dari dalam.Kutarik tanganku dan mundur selangkah, menanti tuan rumah membukakan pintu.Ceklek.Kepala Clara