POV Sherly.Aku menatap diri di cermin. Memandang mbak perias yang sedang membantu melepaskan aksesoris yang menempel di kepala. Acara baru saja selesai setengah jam yang lalu, di mana para tamu sudah berpamitan dan juga mulai sepi.Aku pamit naik lebih awal ke Tante, juga Emak,Bapak. Mereka masih tertinggal di bawah termasuk Zen. Rasa capek yang sudah tidak tertahankan lagi, apalagi memakai gaun yang berat dan hiasan kepala. Rasa capek sepertinya bertambah kali lipat. “Assalamualaikum.“Aku menoleh ke arah suara yang bersamaan suara pintu dibuka dari luar. Zen berjalan mendekat ke arahku.lalu ikut duduk bersisian.“Kak. Sudah semua, ya make up nya mau saya bantu hapus apa mau sendiri saja?““Sendiri saja, Mbak.““Baik. Saya mohon pamit diri ya, Kak. Atas nama Mbak Khadijah bila ada kekurangan dan hal yang membuat tidak nyaman. Kami minta maaf yang sebesar-besarnya ya, Kak.““Sama, Mbak. Saya juga meminta maaf untuk kalian.““Terima kasih sudah menggunakan jasa kami ya, Kak dan sel
Aku menggeliat, memutar tubuhku yang sudah berpindah posisi. Menyingkap selimut yang menutupi tubuh. Aku lekas duduk saat telingaku mendengar suara mengaji. Rupanya Zen. Dia sudah berganti baju, memakai kopiah dan memegang sesuatu dibalik punggungnya.“Bang,” sapaku pelan.Zen mengangguk lalu menutup Alquran dan mencium mushaf itu lalu menoleh kepadaku. Senyuman terbit di wajahnya.Ia berdiri meletakkan mushaf kecil itu ke atas meja, lalu berjalan ke arahku. “Kamu lapar kan? Segera mandi, bersiap. Nanti kita ke bawah. Sarapan bareng bersama pengunjung hotel ini,”ujarnya sambil duduk bersisian denganku. Badanku direngkuh olehnya.Cup. Kini pipiku yang dikecup. Aku pastikan wajah ini pasti terlihat seperti kepiting rebus. Aku sedikit menunduk, menghindari tatapannya, takut saja bila ada kotoran mata atau iler yang sudah mengering ditemukan olehnya, kan malu.Aku lekas berdiri, meraih handuk yang menempel di dinding lalu pergi ke kamar mandi.'Fiuh.“Aku bernapas lega sesampainya kam
Mobil yang kami tumpangi berhenti tepat di bahu jalan depan kontrakan yang ditinggali Clara.Amira masih tidur di pangkuanku sekitar 20 menit-an yang lalu, dengan hati-hati aku memindahkan Amira dan menempelkan ke bahu dengan bersiap keluar dari mobil.“Terima kasih, ya,” ucapku ke Zen yang telah membukakan pintu mobil untukku. Lalu kami turun dan mengetuk pintu pagar berulangkali. Pintu itu sudah terbuka sedikit, aku pun berinisiatif masuk karena tidak kunjung ada jawaban dari tuan rumah, bisa jadi karena tidak kedengaran.Aku melihat sepasang sepatu lelaki yang berada di depan halaman, sepatu kulit, seperti orang pekerja kantoran. Aku ragu-ragu ingin mengetuk pintu utama. Pintu yang tertutup rapat.“Kenapa?“ tanya Zen.“Ganggu, enggak ya?““Sudah sampai sini 'kan? Enggak papa, ketok pintu saja dulu!““Baiklah.“Satu ketukan ...Dua ketukan ...“Bentar!“ teriak seorang wanita dari dalam.Kutarik tanganku dan mundur selangkah, menanti tuan rumah membukakan pintu.Ceklek.Kepala Clara
Ya Allah ...Aku masih ingat betul terakhir kali menyimpannya, isi surat itu masih terlipat rapi di dalam amplop juga menyimpannya pun tidak asal. Aku menaruhnya di lemari bagian atas.Tidak mungkin emak bapak yang mengambilnya. Kusenderkan badan ini. Persendianku terasa lemas, bagaimana bisa bukti yang aku simpan dan hal yang aku tunggu-tunggu bisa lenyap begitu saja. Andaikan ada orang yang mengambilnya tapi kenapa? Siapa?“Kenapa, Mi?“ tanya Zen dengan memelankan laju mobilnya.Aku menggeleng, ingin membuka mulut pun terasa berat.“Tapi kenapa wajahmu cemas tadi, dan sekarang menjadi lemas begitu?““Isinya hilang, Bi,” lirihku kemudian.“Isi apa?““Yang rahasia itu.“Zen bergeming. “Nah itu tempatnya!“ tunjuk Clara.Mobil pun berhenti, aku melongok dengan menurunkan kaca mobil. Di sana terlihat Pram yang sedang mengemas sesuatu dengan duduk di kursi pendek dengan memakai celemek. Aku bingung mau turun atau tidak. Rasa semangatku menghilang, sekarang pun percuma bertemu dengannya
“Assalamualaikum, Bu Ratna,” sapaku setelah panggilan tersambung.“Walaikum salam ... kenapa, Sherly?““Bu Ratna bagaimana kabarnya?“ tanyaku Kemudian.Helaan napas Bu Ratna terdengar tipis, cukup lama Bu Ratna mengabaikan pertanyaanku. Aku menunggunya. Mungkin saja ada sesuatu yang mengganjal atau berat untuk diucapkan.Setengah menit berlalu.“Sepertinya Bu Ratna mau bercerai saja, Sherly,” lirih Ru Ratna.Aku yang mendengarnya pun ikut merasakan kepiluan yang di rasakannya. Ya Allah ...Kuhela napas lalu memberanikan diri bertanya ke Bu Ratna. “Apa Bu Ratna mengalami KDRT?“Isakan tangis Bu Ratna terdengar dari seberang telepon. Kuhela napas ini. Sepertinya Bu Ratna tahu kelakuan suaminya di belakang.“Insyaallah, apapun keputusan Bu Ratna, Sherly mendukung penuh, Bu.““Ibu sudah enggak tahan, Sherly. Setengah tahun suamiku berubah, tingkahnya menjadi kasar dan tidak pernah lagi memberikan nafkah untuk kami.““Apa ibu tahu alasan suami berubah?““Ibu rasa, Suamiku berselingkuh, S
Kami kembali ke Ruko. Barang-barang masih tertinggal di Hotel, aku meminta Zen untuk mengantarkan ke ruko sebentar karena hari ini. Emak bapak akan pulang dari Hotel, aku sudah tidak sabar ingin menanyainya perihal surat DNA. Lebih lagi, aku mencurigai Bu Leni adalah dalangnya.“Assalamualaikum.““Walaikum salam,” sapa Emak yang langsung berdiri menyambut kami, pun dengan bapak. Badan kecapekan dan senyum yang terbit di wajah mereka menyatu. Setelah bersalaman, aku ikut duduk di antara mereka. Menatap wajah Bu Leni cukup lama. Bu Leni hanya menunduk sedari tadi, penampilannya sudah tidak sekusut pas waktu pertama kali aku membawanya ke sini. “Bu Leni? Bisa bicara sebentar ke belakang?“ tanyaku kemudian.Bu Leni bergeming, seakan-akan tidak mendengar apa yang aku ucapkan barusan.“Bu Leni?“ tanyaku lagi. Akhirnya Bu Leni mengangguk, dia bangkit dengan tidak bersemangat lalu mulai berjalan ke belakang dengan kepala yang masih menunduk.Kuikuti Bu Leni, aku meminta dia menuju ke arah
“Mak, Pak. Malam ini terakhir kita makan bersama dengan Bu Leni. Besok Sherly harus mengantarkan ke tujuannya,” ucapku membuka obrolan.“Kenapa buru-buru? Bu Leni sudah tidak betah berada di sini?“ tanya Emak menoleh ke arah Bu Leni.Aku menatap Bu leni, dia menggenggam sendok yang dipegangnya cukup lama, lalu dia mendongak dan balik menatapku dengan mata berkaca-kaca.Mungkin Bu Leni pikir ucapanku tadi hanya sebatas ancaman baginya, tapi tidak untukku. Aku harus sedikit tegas kali ini, apalagi dia pernah lancang membuka-buka barang milikku, padahal barang itu aku simpan di bagian yang tidak siapapun tahu, tapi Bu Leni bisa mengetahuinya. Mungkin ini hal yang sepele baginya tapi kita tidak tahu ke depannya. Bisa jadi dia bisa melakukan yang lebih dari pada ini. Aku harus menjaga keluarga baruku. Keluarga Bunda Yanti juga paling penting Emak dan Bapak.“Sherly, apa kamu yang meminta Bu leni lekas pergi?“ tanya Emak yang tidak puas karena pertanyaannya tidak dijawab oleh Bu Leni.“Tid
Aku masih memegang kertas yang diberikan Sherly tadi. Membuka kembali lembaran kertas yang sudah aku remas menyerupai bola kecil.Kuulangi lagi, membaca dari awal hingga akhir tanpa terlewat satu kata pun. Di dalam surat ini, ada perbandingan DNA yang mengatakan ketidakcocokan aku dengan Amira. Apa-apaan ini? Bahkan aku sudah sangat yakin Amira benar dari benihku, Amira juga sangat dekat denganku ketimbang dengan ibunya, harusnya hanya dengan itu sudah menunjukkan kalau Amira memang anak kandungku.Tidak kupungkiri, aku sempat terkejut saat membacanya. Jantungku serasa ikut meledak, pun dengan kepala, terasa pening seketika. Aku masih bergeming di saat atasanku memanggil-manggil memintaku untuk kembali bekerja. Mataku masih tertumbuk pada dua kata yang dicetak dengan huruf kapital dan tebal. TIDAK COCOK.Aku bergegas menuju jalan raya, tanganku melambai-lambai ke arah pengkolan ojek yang berada di seberang jalan. Aku harus memastikan keaslian surat ini, bisa jadi, Sherly balas denda