Mobil yang kami tumpangi berhenti tepat di bahu jalan depan kontrakan yang ditinggali Clara.Amira masih tidur di pangkuanku sekitar 20 menit-an yang lalu, dengan hati-hati aku memindahkan Amira dan menempelkan ke bahu dengan bersiap keluar dari mobil.“Terima kasih, ya,” ucapku ke Zen yang telah membukakan pintu mobil untukku. Lalu kami turun dan mengetuk pintu pagar berulangkali. Pintu itu sudah terbuka sedikit, aku pun berinisiatif masuk karena tidak kunjung ada jawaban dari tuan rumah, bisa jadi karena tidak kedengaran.Aku melihat sepasang sepatu lelaki yang berada di depan halaman, sepatu kulit, seperti orang pekerja kantoran. Aku ragu-ragu ingin mengetuk pintu utama. Pintu yang tertutup rapat.“Kenapa?“ tanya Zen.“Ganggu, enggak ya?““Sudah sampai sini 'kan? Enggak papa, ketok pintu saja dulu!““Baiklah.“Satu ketukan ...Dua ketukan ...“Bentar!“ teriak seorang wanita dari dalam.Kutarik tanganku dan mundur selangkah, menanti tuan rumah membukakan pintu.Ceklek.Kepala Clara
Ya Allah ...Aku masih ingat betul terakhir kali menyimpannya, isi surat itu masih terlipat rapi di dalam amplop juga menyimpannya pun tidak asal. Aku menaruhnya di lemari bagian atas.Tidak mungkin emak bapak yang mengambilnya. Kusenderkan badan ini. Persendianku terasa lemas, bagaimana bisa bukti yang aku simpan dan hal yang aku tunggu-tunggu bisa lenyap begitu saja. Andaikan ada orang yang mengambilnya tapi kenapa? Siapa?“Kenapa, Mi?“ tanya Zen dengan memelankan laju mobilnya.Aku menggeleng, ingin membuka mulut pun terasa berat.“Tapi kenapa wajahmu cemas tadi, dan sekarang menjadi lemas begitu?““Isinya hilang, Bi,” lirihku kemudian.“Isi apa?““Yang rahasia itu.“Zen bergeming. “Nah itu tempatnya!“ tunjuk Clara.Mobil pun berhenti, aku melongok dengan menurunkan kaca mobil. Di sana terlihat Pram yang sedang mengemas sesuatu dengan duduk di kursi pendek dengan memakai celemek. Aku bingung mau turun atau tidak. Rasa semangatku menghilang, sekarang pun percuma bertemu dengannya
“Assalamualaikum, Bu Ratna,” sapaku setelah panggilan tersambung.“Walaikum salam ... kenapa, Sherly?““Bu Ratna bagaimana kabarnya?“ tanyaku Kemudian.Helaan napas Bu Ratna terdengar tipis, cukup lama Bu Ratna mengabaikan pertanyaanku. Aku menunggunya. Mungkin saja ada sesuatu yang mengganjal atau berat untuk diucapkan.Setengah menit berlalu.“Sepertinya Bu Ratna mau bercerai saja, Sherly,” lirih Ru Ratna.Aku yang mendengarnya pun ikut merasakan kepiluan yang di rasakannya. Ya Allah ...Kuhela napas lalu memberanikan diri bertanya ke Bu Ratna. “Apa Bu Ratna mengalami KDRT?“Isakan tangis Bu Ratna terdengar dari seberang telepon. Kuhela napas ini. Sepertinya Bu Ratna tahu kelakuan suaminya di belakang.“Insyaallah, apapun keputusan Bu Ratna, Sherly mendukung penuh, Bu.““Ibu sudah enggak tahan, Sherly. Setengah tahun suamiku berubah, tingkahnya menjadi kasar dan tidak pernah lagi memberikan nafkah untuk kami.““Apa ibu tahu alasan suami berubah?““Ibu rasa, Suamiku berselingkuh, S
Kami kembali ke Ruko. Barang-barang masih tertinggal di Hotel, aku meminta Zen untuk mengantarkan ke ruko sebentar karena hari ini. Emak bapak akan pulang dari Hotel, aku sudah tidak sabar ingin menanyainya perihal surat DNA. Lebih lagi, aku mencurigai Bu Leni adalah dalangnya.“Assalamualaikum.““Walaikum salam,” sapa Emak yang langsung berdiri menyambut kami, pun dengan bapak. Badan kecapekan dan senyum yang terbit di wajah mereka menyatu. Setelah bersalaman, aku ikut duduk di antara mereka. Menatap wajah Bu Leni cukup lama. Bu Leni hanya menunduk sedari tadi, penampilannya sudah tidak sekusut pas waktu pertama kali aku membawanya ke sini. “Bu Leni? Bisa bicara sebentar ke belakang?“ tanyaku kemudian.Bu Leni bergeming, seakan-akan tidak mendengar apa yang aku ucapkan barusan.“Bu Leni?“ tanyaku lagi. Akhirnya Bu Leni mengangguk, dia bangkit dengan tidak bersemangat lalu mulai berjalan ke belakang dengan kepala yang masih menunduk.Kuikuti Bu Leni, aku meminta dia menuju ke arah
“Mak, Pak. Malam ini terakhir kita makan bersama dengan Bu Leni. Besok Sherly harus mengantarkan ke tujuannya,” ucapku membuka obrolan.“Kenapa buru-buru? Bu Leni sudah tidak betah berada di sini?“ tanya Emak menoleh ke arah Bu Leni.Aku menatap Bu leni, dia menggenggam sendok yang dipegangnya cukup lama, lalu dia mendongak dan balik menatapku dengan mata berkaca-kaca.Mungkin Bu Leni pikir ucapanku tadi hanya sebatas ancaman baginya, tapi tidak untukku. Aku harus sedikit tegas kali ini, apalagi dia pernah lancang membuka-buka barang milikku, padahal barang itu aku simpan di bagian yang tidak siapapun tahu, tapi Bu Leni bisa mengetahuinya. Mungkin ini hal yang sepele baginya tapi kita tidak tahu ke depannya. Bisa jadi dia bisa melakukan yang lebih dari pada ini. Aku harus menjaga keluarga baruku. Keluarga Bunda Yanti juga paling penting Emak dan Bapak.“Sherly, apa kamu yang meminta Bu leni lekas pergi?“ tanya Emak yang tidak puas karena pertanyaannya tidak dijawab oleh Bu Leni.“Tid
Aku masih memegang kertas yang diberikan Sherly tadi. Membuka kembali lembaran kertas yang sudah aku remas menyerupai bola kecil.Kuulangi lagi, membaca dari awal hingga akhir tanpa terlewat satu kata pun. Di dalam surat ini, ada perbandingan DNA yang mengatakan ketidakcocokan aku dengan Amira. Apa-apaan ini? Bahkan aku sudah sangat yakin Amira benar dari benihku, Amira juga sangat dekat denganku ketimbang dengan ibunya, harusnya hanya dengan itu sudah menunjukkan kalau Amira memang anak kandungku.Tidak kupungkiri, aku sempat terkejut saat membacanya. Jantungku serasa ikut meledak, pun dengan kepala, terasa pening seketika. Aku masih bergeming di saat atasanku memanggil-manggil memintaku untuk kembali bekerja. Mataku masih tertumbuk pada dua kata yang dicetak dengan huruf kapital dan tebal. TIDAK COCOK.Aku bergegas menuju jalan raya, tanganku melambai-lambai ke arah pengkolan ojek yang berada di seberang jalan. Aku harus memastikan keaslian surat ini, bisa jadi, Sherly balas denda
“Permisi, Pak.“Aku sigap menghampirinya. Perempuan itu memberikan kembali surat yang sudah lecek ke arahku.“Surat ini memang asli dan dikeluarkan dari rumah sakit ini. Tidak ada kepalsuan dalam surat ini. Semua sama seperti hasil yang tersimpan di data kami, Pak.“Aku menggenggam erat surat ini, kepala terasa berdenyut-denyut. Kakiku seperti tidak kuat menopang badan. Aku sedikit terhuyung ke belakang. Aku merepet ke tembok. Badanku luruh ke bawah. Aku terus mengedipkan kelopak mataku saat pandangan mulai buram.Tanganku menopang di senderan tempat duduk. Kepalaku bersender di atasnya. Wajah Sherly memenuhi isi kepala. Berjuta pertanyaan saling berkejaran berlomba meminta jawaban. Ya Allah. Kenangan demi kenangan berputar kembali layaknya sebuah film. Aku masih teringat jelas pertama kali aku membawa Clara ke rumah. Respon Sherly yang mendadak linglung. Bahkan aku dengan teganya tidak pernah membela Sherly saat dituding mandul yang berulangkali oleh ibu. Aku mengusap wajah kasar
“Mulai detik ini, hari ini, Aku talak kamu, Clara Inggrid. Talak tiga!“Aku terkesiap mendengar pernyataan Mas Pram yang baru sampai rumah, tidak ada angin atau hujan, tiba-tiba Mas Pram meludah dan menalakku. Aku menggeleng. ”Jangan katakan itu, Mas.“ Aku meraih tangannya. Niat hati mau mencium takdzim punggung tangannya, tapi tanganku dihempas begitu saja. “Jangan sentuh aku, Clara! Aku haramkan kulitku bersentuhan denganmu!“Deg! Entah kenapa hatiku terasa perih mendengar ucapan yang dilontarkan barusan.“Mas!“ pekikku dengan mendelik. Matanya yang memerah melotot ke arahku. Baru kali ini aku menyaksikan kemarahan Mas Pram. Terlihat sangat sadis. Kedua tangannya mengepal.Aku menunduk, Amira datang dengan langkah pendek lalu bergelayut di kaki Pram. “Singkirkan anak ini!“ desis Pram tanpa mau melihat Amira.Amira pun refleks menangis. Dia masih melentangkan tangannya ke arah Pram minta digendong. Aku mendongak, menggeleng tidak percaya, biasanya responnya jauh berbeda. Setiap