Aku masih memegang kertas yang diberikan Sherly tadi. Membuka kembali lembaran kertas yang sudah aku remas menyerupai bola kecil.Kuulangi lagi, membaca dari awal hingga akhir tanpa terlewat satu kata pun. Di dalam surat ini, ada perbandingan DNA yang mengatakan ketidakcocokan aku dengan Amira. Apa-apaan ini? Bahkan aku sudah sangat yakin Amira benar dari benihku, Amira juga sangat dekat denganku ketimbang dengan ibunya, harusnya hanya dengan itu sudah menunjukkan kalau Amira memang anak kandungku.Tidak kupungkiri, aku sempat terkejut saat membacanya. Jantungku serasa ikut meledak, pun dengan kepala, terasa pening seketika. Aku masih bergeming di saat atasanku memanggil-manggil memintaku untuk kembali bekerja. Mataku masih tertumbuk pada dua kata yang dicetak dengan huruf kapital dan tebal. TIDAK COCOK.Aku bergegas menuju jalan raya, tanganku melambai-lambai ke arah pengkolan ojek yang berada di seberang jalan. Aku harus memastikan keaslian surat ini, bisa jadi, Sherly balas denda
“Permisi, Pak.“Aku sigap menghampirinya. Perempuan itu memberikan kembali surat yang sudah lecek ke arahku.“Surat ini memang asli dan dikeluarkan dari rumah sakit ini. Tidak ada kepalsuan dalam surat ini. Semua sama seperti hasil yang tersimpan di data kami, Pak.“Aku menggenggam erat surat ini, kepala terasa berdenyut-denyut. Kakiku seperti tidak kuat menopang badan. Aku sedikit terhuyung ke belakang. Aku merepet ke tembok. Badanku luruh ke bawah. Aku terus mengedipkan kelopak mataku saat pandangan mulai buram.Tanganku menopang di senderan tempat duduk. Kepalaku bersender di atasnya. Wajah Sherly memenuhi isi kepala. Berjuta pertanyaan saling berkejaran berlomba meminta jawaban. Ya Allah. Kenangan demi kenangan berputar kembali layaknya sebuah film. Aku masih teringat jelas pertama kali aku membawa Clara ke rumah. Respon Sherly yang mendadak linglung. Bahkan aku dengan teganya tidak pernah membela Sherly saat dituding mandul yang berulangkali oleh ibu. Aku mengusap wajah kasar
“Mulai detik ini, hari ini, Aku talak kamu, Clara Inggrid. Talak tiga!“Aku terkesiap mendengar pernyataan Mas Pram yang baru sampai rumah, tidak ada angin atau hujan, tiba-tiba Mas Pram meludah dan menalakku. Aku menggeleng. ”Jangan katakan itu, Mas.“ Aku meraih tangannya. Niat hati mau mencium takdzim punggung tangannya, tapi tanganku dihempas begitu saja. “Jangan sentuh aku, Clara! Aku haramkan kulitku bersentuhan denganmu!“Deg! Entah kenapa hatiku terasa perih mendengar ucapan yang dilontarkan barusan.“Mas!“ pekikku dengan mendelik. Matanya yang memerah melotot ke arahku. Baru kali ini aku menyaksikan kemarahan Mas Pram. Terlihat sangat sadis. Kedua tangannya mengepal.Aku menunduk, Amira datang dengan langkah pendek lalu bergelayut di kaki Pram. “Singkirkan anak ini!“ desis Pram tanpa mau melihat Amira.Amira pun refleks menangis. Dia masih melentangkan tangannya ke arah Pram minta digendong. Aku mendongak, menggeleng tidak percaya, biasanya responnya jauh berbeda. Setiap
***“Bu, alhamdulillah sudah sadar.“ Aku membuka mata perlahan lalu mengedipkan beberapa kali, lalu aku menoleh, ruangan yang bercat putih dengan kain korden warna biru. Aku menoleh lagi ke samping kanan. Ada selang infus yang terpasang di tanganku. Aku menelan ludah saat terasa tenggorokanku sangat kering. Kini aku menyadari, aku berada di ruangan rumah sakit. Aku langsung meraba perutku, saat menyadari masih buncit aku menjadi lemas. Kukira rasa sakitku yang lalu adalah keguguran dan ternyata. Ah, sial.“Alhamdulillah, Bu. Janinnya masih bisa diselamatkan. Calon bayinya kuat sekali, Bu,” ujar wanita yang memakai baju putih itu dengan senyuman lebar. Aku berpaling. Sungguh kehamilan yang sekarang sangat tidak aku harapkan lagi dengan kelahirannya. Pun Amira. Semua adalah benalu bagiku. Aku memejamkan mata barang sebentar. Aku ingin terlepas dari pikiran yang terus menyerang. Pertanyaan bagaimana aku harus ke mana? Bagaimana aku harus membayar biaya rumah sakit, besok makan apa? S
Sepulangnya dari rumah sakit, aku lekas naik taksi menuju ke rumah Bayu yang satu alamat dengan kontrakanku. Aku bukan wanita lemah yang akan pasrah begitu saja. Bila aku hancur, Bayu juga harus hancur.Aku mengetuk rumah perlahan, menatap ke rak sepatu di samping pintu depan rumah. Sepatu yang biasa digunakan Bayu tidak kelihatan. Pergikah?Ceklek!Aku menarik tangan kembali saat pintu sudah dibuka. Kepala wanita melongok keluar baru pintu dibuka lebar. “Clara?“ tanya wanita yang menggunakan daster itu dengan kening berkerut. Aku mengangguk, lalu menatap sebentar ke arah Ratna. “Saya hamil, Mbak,” ucapku kemudian. “La apa hubungannya dengan saya?“ Ratna mengedikkan bahu dengan alis menyatu. “Saya dihamili oleh Bayu.“Ratna memandangku dari atas ke bawah. Begitu terus. Lalu mengangguk. Tidak ada air mata yang mengalir di pipinya. Aneh. Harusnya dia tersedu dan melolong atau setidaknya menjambak teriak-teriak tidak terima, tapi ini kenapa? Kok responnya biasa saja. “Saya sudah ta
“Terus jajan di kamu?““Kok jajan? Ya enggak dong. Kami saling cinta, Mbak.“Aku mendengkus ke arahnya. Emang dia kira aku pelacur.“Owh, kalian saling cinta?““Iya, dong.““Kok lama Bayu enggak pulang-pulang. Aku jadi ngantuk ini,” keluhku dengan menguap berkali-kali. “Apa mau ditinggal tidur dulu? Kalau mau, biar saya antar ke kamar.““Ah, begitu juga bagus, Mbak.“Ratna langsung menghampiri dan memegang lenganku. Aku bangkit dengan sedikit terhuyung. Ngantuk ini kenapa terasa susah banget ditahan. Aku berjalan terseok-seok dengan dipapah Ratna. Lalu menghempaskan badan ini begitu saja sesampainya di dalam kamar.Aku langsung memejamkan kedua mata ini lalu tidur terlentang.***Rasa perih membuatku terpaksa bangun dari tidur. Wajahku terasa sangat panas dan berat. Aku langsung meraba bagian wajah. Ada cairan lembek dan kental menempel di seluruh wajahku. Aku langsung gusar kala rasa sakit ini tidak kunjung sembuh. Aku sibakkan selimut yang menutupi badanku lalu turun mencari kaca
POV PRAM.Aku termangu di depan rel kereta api, malam begitu lengang, sepertinya sudah melebihi jam tengah malam. Suara bising kereta api yang lewat bergantian sangat memekakkan telinga. Kuhidupkan senter kecil yang menempel di korek api yang aku beli bersamaan dengan rokok satu bungkus tadi, lalu kuarahkan ke berbagai arah. Suasana begitu gelap terlihat ada banyak rumput yang bergorombol yang sudah menjuntai tinggi ikut melambai-lambai bersama embusan angin. Suara begitu sepi, sepertinya sudah tidak ada lagi orang yang akan melewati jalan ini. Jalan lintas yang menyebari rel kereta api.Aku tidak menyangka, langkahku akan sampai ke sini, aku hanya terus melangkah hingga aku terhenti saat sudah mendapatkan tempat yang pas untuk mengakhiri hidup.Aku menoleh ke arah kanan kiri, membayangkan tubuhku akan terpental ke arah mana. Aku memetakan segala kondisi di kepala. Membayangkan ketika nanti aku sudah yakin memutuskan berada di tengah rel kala rel lewat.Aku ingin memposisikan yang
'TINNN!'Aku menoleh ke belakang, ke arah suara klakson dibunyikan. Mobil putih melewati kami dengan laju yang sangat pelan, lalu seseorang membuka kaca mobil.“Mau ke mana?“ tanyanya dengan sedikit berteriak.“Ke rumah sakit terdekat.““Saya antarkan, ayo lekas naik!“ suruhnya dengan meminggirkan mobil.Aku pun mengangguk dan naik ke mobil dengan dibantu lelaki itu. “Kenapa?““Tadi jatuh kena batu kepalanya, Pak.“Bapak itu mengangguk lalu mengemudikan mobilnya kembali. Akupun menyenderkan badan ini dengan bernapas lega. Mengatur napas yang sedari tadi ngos-ngosan. “Sudah sampai, Mas.“Aku bangkit menoleh dibalik kaca. Suasana masih gelap tapi di depan sana terpampang jelas ada plang bertuliskan rumah sakit. Perlahan aku membuka pintu mobil, lalu membawa Bapak dan menggendongnya. Semoga saja ada dokter jaga kali ini.Beruntungnya saat sudah sampai depan lobby rumah sakit ada perawat yang menyambutku lalu mengambil alih Bapak dan memindahkan ke atas bangsal.Aku pun dengan langkah
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!