“Terus jajan di kamu?““Kok jajan? Ya enggak dong. Kami saling cinta, Mbak.“Aku mendengkus ke arahnya. Emang dia kira aku pelacur.“Owh, kalian saling cinta?““Iya, dong.““Kok lama Bayu enggak pulang-pulang. Aku jadi ngantuk ini,” keluhku dengan menguap berkali-kali. “Apa mau ditinggal tidur dulu? Kalau mau, biar saya antar ke kamar.““Ah, begitu juga bagus, Mbak.“Ratna langsung menghampiri dan memegang lenganku. Aku bangkit dengan sedikit terhuyung. Ngantuk ini kenapa terasa susah banget ditahan. Aku berjalan terseok-seok dengan dipapah Ratna. Lalu menghempaskan badan ini begitu saja sesampainya di dalam kamar.Aku langsung memejamkan kedua mata ini lalu tidur terlentang.***Rasa perih membuatku terpaksa bangun dari tidur. Wajahku terasa sangat panas dan berat. Aku langsung meraba bagian wajah. Ada cairan lembek dan kental menempel di seluruh wajahku. Aku langsung gusar kala rasa sakit ini tidak kunjung sembuh. Aku sibakkan selimut yang menutupi badanku lalu turun mencari kaca
POV PRAM.Aku termangu di depan rel kereta api, malam begitu lengang, sepertinya sudah melebihi jam tengah malam. Suara bising kereta api yang lewat bergantian sangat memekakkan telinga. Kuhidupkan senter kecil yang menempel di korek api yang aku beli bersamaan dengan rokok satu bungkus tadi, lalu kuarahkan ke berbagai arah. Suasana begitu gelap terlihat ada banyak rumput yang bergorombol yang sudah menjuntai tinggi ikut melambai-lambai bersama embusan angin. Suara begitu sepi, sepertinya sudah tidak ada lagi orang yang akan melewati jalan ini. Jalan lintas yang menyebari rel kereta api.Aku tidak menyangka, langkahku akan sampai ke sini, aku hanya terus melangkah hingga aku terhenti saat sudah mendapatkan tempat yang pas untuk mengakhiri hidup.Aku menoleh ke arah kanan kiri, membayangkan tubuhku akan terpental ke arah mana. Aku memetakan segala kondisi di kepala. Membayangkan ketika nanti aku sudah yakin memutuskan berada di tengah rel kala rel lewat.Aku ingin memposisikan yang
'TINNN!'Aku menoleh ke belakang, ke arah suara klakson dibunyikan. Mobil putih melewati kami dengan laju yang sangat pelan, lalu seseorang membuka kaca mobil.“Mau ke mana?“ tanyanya dengan sedikit berteriak.“Ke rumah sakit terdekat.““Saya antarkan, ayo lekas naik!“ suruhnya dengan meminggirkan mobil.Aku pun mengangguk dan naik ke mobil dengan dibantu lelaki itu. “Kenapa?““Tadi jatuh kena batu kepalanya, Pak.“Bapak itu mengangguk lalu mengemudikan mobilnya kembali. Akupun menyenderkan badan ini dengan bernapas lega. Mengatur napas yang sedari tadi ngos-ngosan. “Sudah sampai, Mas.“Aku bangkit menoleh dibalik kaca. Suasana masih gelap tapi di depan sana terpampang jelas ada plang bertuliskan rumah sakit. Perlahan aku membuka pintu mobil, lalu membawa Bapak dan menggendongnya. Semoga saja ada dokter jaga kali ini.Beruntungnya saat sudah sampai depan lobby rumah sakit ada perawat yang menyambutku lalu mengambil alih Bapak dan memindahkan ke atas bangsal.Aku pun dengan langkah
“Kenapa bisa di sini?“ tanyanya dengan raut tidak bersahabat.“Kamu apakan adikku?“ tanyanya lagi. “Pak, saya mohon undur diri, kebetulan beliau sudah sadarkan diri. Bapak bisa tanyakan sendiri ke beliau,” ujarku lalu mulai melangkah.“Hentikan dia, Mas! Jangan sampai dia bunuh diri lagi!“ ujar lelaki yang terbaring itu.“Pram! Berhenti di situ apa mau saya laporkan ke polisi!“ desis lelaki yang notabene menjadi bosku itu.Seketika langkahku terhenti dan tidak berani menoleh. Aku sangat tahu begitu banyak melakukan kesalahan saat bekerja, apalagi terakhir kali dengan beraninya memakai uang costumer.“Kamu harus ijin dulu kalau mau bunuh diri! Setidaknya utang kamu sudah terlunasi dulu.“Glek!Aku diam tidak berkutik. “Kenapa kamu bunuh diri?“ tanyanya dengan nada pelan.“Maaf, Pak. Saya telah gagal menjadi lelaki. Saya divonis tidak akan pernah punya anak. Saya bahkan telah membuang istri yang pernah menerima saya apa adanya.““Lantas kamu bebas bisa bunuh diri? Terus bagaimana deng
**.“Bangun, Pram!“ Suara ketukan pintu yang keras membuatku terlonjak kaget dan langsung turun dari ranjang. Aku berjalan mendekat ke arah pintu dengan tangan mengucek kedua mata. Sedikit menyipit aku membuka pintu, nampak di sana. Atasanku sudah berdiri di hadapanku.“Cepat ambil wudhu, kita jama'ah salat subuh di masjid depan sana. Aku tunggu di depan. Ini sarung, kopiah, dan beberapa baju. Jangan lama-lama. Nanti tertinggal.“Aku mengangguk patuh sambil menerima pemberian atasanku itu, aku pun lekas menuju ke kamar mandi lalu berwudhu. Setelah itu, aku mengenakan baju Koko berwarna putih dan sarung lalu memakai kopiah. Jujur aku sudah lama tidak mengenakan stelan seperti ini, dan ini membuatku merasa bersemangat.“Sudah?“Aku mengangguk. Lalu atasanku itu mulai berjalan ke depan dan aku mengikuti dari belakang. Tidak lupa mengunci pintu kembali dari luar. “Pak, maaf. Saya mau tanya. Istri dan anak bapak ke mana, ya?“Bapak itu menghela napas panjang tanpa mau menjawab pertany
“Bi, apa Amira kita rawat saja ya, Bi?“ tanyaku dengan mengelus rambut Amira yang tengah tidur pulas.Aku menemukan Amira tengah menangis di depan halaman rumah kontrakan yang kebetulan kami melewati pagi itu. Aku langsung meraih Amira dan meminta tolong tetangga untuk menggotong Clara yang tengah pingsan dengan ada darah yang membasahi celananya ke mobil. Lalu kami membawa ke rumah sakit tanpa meninggalkan jejak, aku hanya tidak ingin Clara berpikiran yang tidak-tidak bila mengetahui siapa yang membawanya ke sini, bisa jadi ada hal yang malah akan merugikanku nanti. Apalagi melihat dia dengan berani berselingkuh dengan suaminya Bu Ratna, membuatku sedikit membenci sifatnya itu. “Terserah Umi saja. Kalau Abi mah setuju-setuju saja.““Wah, makasih ya, Bi.““Iya, Sayang. Ehm ngomong-ngomong kita kapan ya malam pertamanya,” ujarnya kemudian. Aku menatap Amira. Hari ini aku sudah selesai masa haidnya, aku harus memberikan pelayanan untuk Zen. Aku juga ingin segera mempunyai anak, siap
“Emang ibu kasih apa?“.“Campuran kapur sirih sama sabun colek, Sherly. Jadi Clara tertidur, terus ibu kasihlah campuran itu ke wajah Clara secara merata. Habis itu Ibu langsung lari ke sini.““Ya Allah, Bu ...““Bantu Ibu, Sherly. Ibu takut.““Ibu pengen Sherly bantu gimana? Pasti bantu.““Sembunyikan Ibu untuk sementara, Sherly.““Malam ini Bu Ratna tidur dulu di sini ya. Sherly ada Bu, rumah kosong di Wonosobo sana. Ada yang bersihin. Kalau Ibu mau, Bu Ratna boleh tinggal di sana. Insyaallah masih layak pakai, Bu.““Masya Allah, Sherly. Pasti, besok Ibu langsung ke sana ya.““Enggak papa, Bu?““Ya Allah, Ibu malah seneng, sekalian Ibu ingin mendamaikan hati Ibu. Jujur, setiap melihat keadaan sekitar, hati Ibu sesak keingat pengkianatan Mas Ridwan.““Baik, Bu. Besok Sherly antar ke Wonosobo setelah mengantar Bu Leni ke Panti jompo ya. Sekarang Bu Ratna istirahat dulu ya.“Bu Ratna mengangguk, akupun bangkit berdiri mengantarkan ke kamar tamu. “Sherly tinggal ke kamar ya, Bu.““Maka
“Apa sih, Mi. Kok serius banget?““Ada tawaran kerjasama produk kosmetik, Bi. Aku lihatnya sih bagus lihat dari komposisi yang diraciknya.““Maksudnya gimana? Abi enggak paham.“J“Gini lo, Bi. Si penawar itu menyediakan produk tanpa merek dengan harga sekian. Lalu kita yang memberi merek dan memasarkan produk itu.““Asli itu?““Iya, banyak testimoni nya kok.““Yasudah coba saja dulu satu paket, kalau memang cocok baru terima kerja samanya.““Baik, Bi. Tapi awal modal itu kita harus bayar 35jutaan untuk biaya pasang merk dan label.““Gampang itu, Bunda banyak uangnya.““Abi ini. Mandiri dong.““Belum bisa, Sayangku. Abi lagi menikmati masa pernikahan ini. Nanti ya. Abi akan kerja keras.“Aku tersenyum ke arahnya. Bahkan tanpa kerja pun dia tidak pernah kehabisan uang. “Loh, Bi. Kok sudah sampai ke ruko?“ tanyaku keheranan kala laju mobil sudah mulai pelan dan diparkirkan di depan ruko.“Tadi lupa mau beli bubur. Nanti saja kita sarapan di luar sama bapak emak.“Aku manggut-manggut la