“Emang ibu kasih apa?“.“Campuran kapur sirih sama sabun colek, Sherly. Jadi Clara tertidur, terus ibu kasihlah campuran itu ke wajah Clara secara merata. Habis itu Ibu langsung lari ke sini.““Ya Allah, Bu ...““Bantu Ibu, Sherly. Ibu takut.““Ibu pengen Sherly bantu gimana? Pasti bantu.““Sembunyikan Ibu untuk sementara, Sherly.““Malam ini Bu Ratna tidur dulu di sini ya. Sherly ada Bu, rumah kosong di Wonosobo sana. Ada yang bersihin. Kalau Ibu mau, Bu Ratna boleh tinggal di sana. Insyaallah masih layak pakai, Bu.““Masya Allah, Sherly. Pasti, besok Ibu langsung ke sana ya.““Enggak papa, Bu?““Ya Allah, Ibu malah seneng, sekalian Ibu ingin mendamaikan hati Ibu. Jujur, setiap melihat keadaan sekitar, hati Ibu sesak keingat pengkianatan Mas Ridwan.““Baik, Bu. Besok Sherly antar ke Wonosobo setelah mengantar Bu Leni ke Panti jompo ya. Sekarang Bu Ratna istirahat dulu ya.“Bu Ratna mengangguk, akupun bangkit berdiri mengantarkan ke kamar tamu. “Sherly tinggal ke kamar ya, Bu.““Maka
“Apa sih, Mi. Kok serius banget?““Ada tawaran kerjasama produk kosmetik, Bi. Aku lihatnya sih bagus lihat dari komposisi yang diraciknya.““Maksudnya gimana? Abi enggak paham.“J“Gini lo, Bi. Si penawar itu menyediakan produk tanpa merek dengan harga sekian. Lalu kita yang memberi merek dan memasarkan produk itu.““Asli itu?““Iya, banyak testimoni nya kok.““Yasudah coba saja dulu satu paket, kalau memang cocok baru terima kerja samanya.““Baik, Bi. Tapi awal modal itu kita harus bayar 35jutaan untuk biaya pasang merk dan label.““Gampang itu, Bunda banyak uangnya.““Abi ini. Mandiri dong.““Belum bisa, Sayangku. Abi lagi menikmati masa pernikahan ini. Nanti ya. Abi akan kerja keras.“Aku tersenyum ke arahnya. Bahkan tanpa kerja pun dia tidak pernah kehabisan uang. “Loh, Bi. Kok sudah sampai ke ruko?“ tanyaku keheranan kala laju mobil sudah mulai pelan dan diparkirkan di depan ruko.“Tadi lupa mau beli bubur. Nanti saja kita sarapan di luar sama bapak emak.“Aku manggut-manggut la
Setelah sarapan bersama, aku baru teringat. Ada Bu Ratna di rumah. Apalagi bunda juga belum mengetahui keberadaan Bu Ratna di rumah karena bunda semalam sudah tidur.“Owh, ya, Bi. Nanti pulang sebentar ya, Umi lupa belum memberi tahu Bunda kalau Bu Ratna nginep di rumah. Nanti sekalian belikan sarapan.““Ya.““Emak, Bapak mau ikut sekalian?“ “Ikut enggak papa, Sherly.“ Bapak yang menjawab.Aku memandang ke arah Bu Leni yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk bubur di mangkok nya.“Bu Leni enggak suka bubur?“ tanyaku kemudian.Bu Leni hanya menggeleng. Lalu meletakkan sendoknya di atas mangkok.“Bu Leni pengen makan apa? Bu Leni belum sarapan, nanti perutnya sakit, Bu.““Enggak. Ayo sudah, lekas antarkan Ibu ke Panti.““Baik, Bu.““Bi, Umi pesan untuk dibungkus dulu ya sekalian bayar.“Zen menggangguk dan melanjutkan mengobrol dengan bapak entah apa yang dibicarakan. Aku bangkit berdiri, lalu berjalan menuju kasir. “Mbak, pesan bubur ayamnya tiga bungkus ya, kuahnya dipisah. Ditotal se
“Maaf ya, Bun. Sherly enggak enak. Tadi pagi juga kelupaan bilangnya malah langsung pergi.““Kan kalau tahu ada tamu yang menginap kan Bunda bisa bangun lebih pagi untuk memasak.““Maaf ya, Bun, ini Sherly sudah bungkusin bubur ayam buat sarapan. Belum sarapan kan?““Iya, belum. Mana biar Bunda siapkan!““Amira mana, Bun?“tanyaku sembari memberi bungkusan ke Bunda.“Masih tidur di dalam. Pulas sekali tidurnya. Nanti siang mau Bunda ajak ke mall. Belanja baju sama stok jajan di rumah. Bunda seneng sekali tahu ada Amira di sini. Jadi ada kegiatan.“Aku ikut tersenyum melihat Bunda sedari tadi yang tidak lepas dari senyum lebarnya. Terlihat raut bahagia di wajahnya. Semoga keputusan merawat Amira adalah langkah yang benar untuk kami. “Kita rawat sama-sama ya, Bun.““Pasti itu.““Owh, ya. Nanti Sherly pamit lagi, ya. Ini mau antar Bu Leni ke tempat panti setelah itu baru pergi lagi antar Bu Ratna ke Wonosobo. Bunda gak papa kan tinggal berdua sama Amira?““Owh, Bu Ratna mau tinggal di Wo
3 Minggu kemudian. “Hueekkkkk! Hueekkkk!““Kamu kenapa, Mi?“ tanya Zen menyusulku ke kamar mandinya. Melihatku yang berjongkok di depan Kloset duduk. Zen pun langsung memijat tengkuk leherku. Aku hanya menggeleng, rasa mualku membuatku kewalahan, bahkan air mata pun ikut keluar. Aku belum pernah merasakan hal yang semacam ini. Aku berbalik saat mulas ini sudah tidak terasa lalu membasuh muka. Zen menopangku dan kami berjalan ke luar.“Lapar, Bi,” keluhku lagi dengan mengusap perut.“Baik, ayo makan. Bunda masak enak-enak.“Aku mengangguk lalu kami berjalan ke meja makan. Zen mengambilkan piring dan nasi. “Mau makan dengan apa? Ayam mentega, sayur bayam, cumi tepung?““Ayam mentega saja, Bi.“Zen mengangguk lalu mengambilkan lauk untukku dan meletakkan di hadapanku. Aku pun langsung menyendok dan memasukkan ke mulut.“Hueekkkkk!“Kututup mulut ini dan berlari ke kamar mandi. Rasa mual itu datang lagi, bahkan memuntahkan ayam yang baru sampai tenggorokan.Sepertinya ada yang tida
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!