Aku meraih ponsel yang masih terpasang dengan charger lalu melepasnya, terlihat di layar sudah jam 3 pagi. Aku pamit ke mereka untuk mandi dulu. Kemudian tanganku dibalut oleh plastik wrapping yang seperti pembungkus buat itu. Katanya menjaga agar tidak terkena air. Aku pasrah dan bangkit berlalu ke kamar mandi lalu mandi ala kadarnya. Badanku masih tercium wangi, baru kemarin aku berendam di bathtub yang sudah diberi kembang mawar dan sabun cair oleh pelayan hotel. “Kenapa sepagi ini Mbak ngehenanya?“ tanyaku kemudian seusai mandi dan sudah bersiap.“Maaf, Kak. Karena sebentar MUA yang merias Kakak akan datang, biar nanti tidak saling bertubrukan kalau sudah selesai salah satunya,” jelasnya dengan menempelkan lem ke atas punggung tanganku.“Ini awet ya? Atau akan lepas begitu saja?““Insyaallah, enggak, Kak. Kami memilih lem dan Hennanya yang kualitas terbaik sesuai pesanan, Kak.““Sesuai pesanan?““Iya, MUA nya memesan yang nomor 1, Kak.“Aku manggut-manggut dan menatap tangannya
Dengan bermodalkan undangan, akhirnya kami sampai di depan lobby hotel. Aku segera menunjukkan undangan ke satpam yang berjaga di sana. Bisa-bisanya mereka tidak percaya dan meminta KTP untuk memastikan. Mentang-mentang ke sini membawa motor, mereka meremehkan begitu saja, untung saja aku selalu membawa KTP. Akhirnya salah satu dari mereka mengantarkan aku ke ballroom di mana Sherly menikah. Aku menggendong Amira dengan menggandeng Clara. Kami melewati beberapa ruangan dan naik lift lalu berjalan lagi ke sebuah ruangan. Satpam tadi meninggalkanku begitu saja di depan ruangan yang juga dijaga ketat oleh penjaga lainnya. Akupun memperlihatkan KTP lagi dan undangan, baru pintu dibukakan untuk kami.Aku terkejut dengan pemandangan di depan mata. Baru sampai di lorong saja sudah penuh dekorasi yang indah. Amira yang semula nampak lesu pun menjadi bersemangat kala melihat banyak bunga asli di depan mata. Sementara Clara, wajahnya semakin terlihat masam. Aku masih dengan tingkat keperca
Sesampainya sana, aku lekas ikut duduk menyamai mereka. Banyak sekali yang mau menyaksikan akad nikah.Kumiringkan badan melewati punggung para tamu demi melihat seperti apa sosok yang melantunkan Qori’ itu. Suaranya begitu merdu dan indah, aku sebagai sesama lelaki pun merasa terkesima.Tidak lama, suara qori' Itu berhenti lalu tidak lama berganti dengan suara surah Ar Rahman. Aku sedikit teringat dengan keinginan Sherly pas awal menikah.Dulu dia menginginkan aku untuk melantunkan surah Ar Rahman kala pernikahan dilakukan. Sayangnya aku belum percaya diri kala itu, juga sadar diri. Ejaanku masih banyak yang salah, akhirnya aku tidak memberikan apa yang dia inginkan, dan kali ini dia mendapatkannya. Aku akui, pernikahannya kali ini terlalu mewah dan keren.Pencarianku tidak kunjung ketemu. Kedua pengantin tertutup di antara ratusan tamu. Ingin sekali mendekat tapi sayangnya aku berangkat telat. “Bapak mau maju?“ tanya seorang pemuda yang mengetahui aku terus melongok ke depan.Oto
POV Sherly.Terpana aku dibuat oleh Zen. Lelaki itu terlalu sempurna, suaranya yang merdu membuatku meneteskan air mata haru, baru kali ini aku mendengar dia mengaji, aku tidak pernah meminta apapun ke Zen di pernikahan ini.Jujur, saat dia mengaji surah Ar-Rahman aku teringat mimpiku waktu muda dulu, kukira mimpiku tidak akan pernah tercapai. Ternyata Allah punya rencana lain, Allah mengabulkan mimpiku di pernikahan yang kedua.Pandanganku mengedar, begitu banyak pemudi dan pemuda dari pondok Zen. Menatap mereka hatiku ikut adem dibuatnya. Bahkan Abah dari pondok Zen pun ikut menghadiri dan mendoakan pernikahan kami. Ya Allah, aku tidak akan menyangka, pernikahan yang kedua ini benar-benar sangat istimewa. lagi, aku kembali menatap Zen yang sedang membungkuk mencium takdzim Abahnya. Terima kasih, Ya Allah. Menjadikan Zen suamiku.Aku sedikit terkejut ketika mendongak, di depanku terpampang jelas ada mantan suamiku dengan istrinya. Pram bengong menatapku, sementara Clara menekuk waja
“Ehm, ya. Terserah Abang saja,” ucapku setengah gugup.“Bagaimana kalau?“ tanya Zen dengan membalikkan badan. Pandangan kami bertemu. Aku terpaku dan menyadari detak jantungku tidak aman! Ya Allah, desiran ini terlalu panas. Lantas Aku segera membuang muka. Tidak mungkin kan aku langsung menyergap begitu saja. Tahan Sherly! Jaga harga diri! Wanita dilarang meminta duluan! Kamu juga lagi menstruasi kan! Ingat!Aku menarik napas panjang lalu mengeluarkan, kenapa menahan hasrat bisa sesusah ini? Ya Allah, aku menyadari. Sepertinya aku telah berubah menjadi jablai setengah jam yang lalu.“Umi? Mau?“ tanya Zen yang tiba-tiba duduk di hadapanku dengan berjongkok. Aku meneguk ludah, lalu memundurkan badan. Kenapa dia seberani ini? Harusnya dia malu-malu?“Kok diam?“Aku mengigit bibir, menahan hasrat tentu saja, apalagi melawan tatapan matamu yang minta diterkam.“Terus aku panggil apa? Ubi gitu?“ jawabku kemudian.“Kok Ubi sih? Emang wajahku terlihat seperti umbi-umbian gitu,” protes Zen d
“Sudah ya fotonya! Ganti baju dulu yuk!“ suruh Mbak Khadijah setelah kita cukup lama berfoto-foto. Aku mengangguk lalu menghampiri Mbak Khadijah nya. “Saya mohon pamit ke bawah lagi ya, Mbak,” ujar tukang fotonya ke kami. Kami mengangguk bersamaan.“Mbak Riska! Tolong bantuin Mbak Sherly buka kancing seribu itu ya!““Baik, Mbak.““Ah, gak usah, Mbak. Biar saya sama suami saya saja yang melepas baju ini,” ujarku ke mereka.Mereka tersenyum lalu mengangguk setelah menggelengkan kepala.Zen membuka matanya lebar menatapku, aku pura-pura tidak peduli lalu mendekat dan berdiri di hadapannya.“Tolong ya, Bi!“Zen yang duduk di hadapanku pun memaksakan diri menyentuh kancing bajuku yang di depan dada. Aku menunduk menatap jemarinya yang masih bergetar dan kadang membuka kancingnya meleset.Aku menggigit bibir, menahan diri untuk tidak menertawakan. Hasratku sudah berganti sekarang. Menggodanya lebih seru.Ingin sekali aku meniup cuping telinganya andaikan tidak ada orang lain di kamar ini.
“Bukankah pernikahan itu saling melengkapi, aku kelebihannya dan—““Aku kekurangannya begitu,” rasa haru ku berubah lalu Aku menepuk pantatnya gemas. “Ih, pelecehan!“ Zen menghentikan langkahnya dan berbalik melotot ke arahku dengan tangan memegang pantatnya.Dia gak tahu, pelototannya itu tidak menakutkan sama sekali, yang ada malah lucu menggemaskan, ih.“Ehem-ehem!“Aku menoleh ke belakang. Aku memutar bola mata dengan malas. Kenapa sih, pengganggu ini enggak pulang-pulang?“Tadi Amira minta diantar ke Kamu!“ ucap Pram menunjuk ke arah Amira.Aku pun berjongkok di hadapannya. “Mau eskrim?“Amira mengangguk malu-malu, aku bangkit berdiri lalu menggandeng Amira menuju penjaga eskrim, sementara Zen mengekoriku.Amira menerima cone eskrim dengan girang lalu meminta turun dari gendonganku.Aku menurutinya dan mengajaknya duduk di atas kursi. Amira menurut, aku membopongnya dan mendudukkan di atas Kursi.Menatap Amira cukup lama, gelang yang aku belikan dulu sudah tidak terlihat lagi,
POV Sherly.Aku menatap diri di cermin. Memandang mbak perias yang sedang membantu melepaskan aksesoris yang menempel di kepala. Acara baru saja selesai setengah jam yang lalu, di mana para tamu sudah berpamitan dan juga mulai sepi.Aku pamit naik lebih awal ke Tante, juga Emak,Bapak. Mereka masih tertinggal di bawah termasuk Zen. Rasa capek yang sudah tidak tertahankan lagi, apalagi memakai gaun yang berat dan hiasan kepala. Rasa capek sepertinya bertambah kali lipat. “Assalamualaikum.“Aku menoleh ke arah suara yang bersamaan suara pintu dibuka dari luar. Zen berjalan mendekat ke arahku.lalu ikut duduk bersisian.“Kak. Sudah semua, ya make up nya mau saya bantu hapus apa mau sendiri saja?““Sendiri saja, Mbak.““Baik. Saya mohon pamit diri ya, Kak. Atas nama Mbak Khadijah bila ada kekurangan dan hal yang membuat tidak nyaman. Kami minta maaf yang sebesar-besarnya ya, Kak.““Sama, Mbak. Saya juga meminta maaf untuk kalian.““Terima kasih sudah menggunakan jasa kami ya, Kak dan sel