Mungkin saja, Sherly hanyalah jodoh sementara untukku, kami tidak berjodoh sampai akhir hayat. Aku sekarang sudah menemukan siapa jodohku yang sebenarnya. Clara.Mungkin aku harus mendatangi Sherly, memberi support dan jangan menyerah meskipun mandul. Aku akan kasih saran ke dia nanti saat menikah. Tak perlu menunggu lama, lekas saja mengadopsi anak, karena rasa kebahagiaan itu datang berulangkali saat melihat anak tertawa, melihat tumbuh kembangnya. Bahkan kebahagiaan itu berkali lipat dari pada saat mendapatkan uang.Kamu harus merasakan itu, Sherly.“Mas! Masih lama?“ teriak Clara dari luar.Aku pun menarik lamunanku, dan segera bangkit. Lalu mengguyur badan ini dan menyabuninya secara rata.Tidak sampai 5 menit aku selesai mandi.Aroma Indomie menusuk penciumanku, perut pun mendadak terasa perih minta diisi. Aku pun lekas memakai pakaian lalu keluar, dan berjalan ke meja makan yang sudah terisi semangkok Indomie rebus dengan asap yang mesih mengepul.Aku segera menyesap kuahnya s
Dadaku bergemuruh dan napasku naik turun, ada yang sesak di sini. tanganku seketika mengepal. Inginku layangkan di pipinya.“Clara!“ desisku dengan menekan suara.Clara mendongak menatapku. “Siapa?““Hah?““Kamu sedang berkirim pesan dengan siapa?“ tanyaku mendekat. Andaikan aku sedang tidak menggendong Amira. Sudah kurebut ponsel di tangannya sedari tadi.“Apa sih, Mas. Biasa saja kali ngomongnya, kayak di hutan saja, teriak-teriak,” sungutnya dengan pasang muka ditekuk sembari tangannya menyembunyikan ponselnya di balik badannya.Hilang sudah kesabaranku, aku segera menaruh Amira ke ranjang. Tidak kupedulikan lagi mau nangis atau terbangun. Aku harus tahu isi ponsel itu yang membuat Clara tertawa seorang diri.“Sini kasih lihat!“ Aku segera melayangkan tubuh agar lebih dekat dan bisa mengambil ponsel itu. “Mas, aku ini cuma pengagum BTS, tidak ada cowok lain selain Mas Pram,” jawab Clara menghindar.“BTS?“ Aku sungguh tidak paham apa singkatan apa itu.Aku menarik tubuhku, menguru
“Assalamualaikum, Pak.“ Sapaku ke atasanku yang sudah datang lebih awal dan tengah sibuk membereskan barang.“Walaikum salam, cepat pakai celemek yang ada di dalam, segera bantu bapak setelah ini. Besok kalau datang usahakan lebih pagi, ya!“ suruhnya tanpa menatapku dan masih melanjutkan pekerjaannya.Aku mengangguk, menuruti instruksinya. Aku melangkah masuk ke meja yang terletak di dalam toko, segera aku menyimpan tas ini ke gantungan dinding di antara tempelan beberapa kertas yang sudah terisi coret-coretan.Aku pun meraih celemek yang menggantung, hanya itu yang terlihat. Celemek itu sepertinya sudah bekas pakai, karena terlihat banyak tepung menempel.“Ngapain aja sih di dalam? Ngambil celemek saja sampai satu jam!“ teriak pemilik toko itu. Aku meneguk ludahnya mendengar suaranya. Baru pertama kali aku sudah tidak dibuat nyaman olehnya, bagaimana caranya aku bisa menjalani tiga tahun penuh? Padahal aku yakin aku menaruh tas ini paling tidak sampai 10 menit, tapi langsung diprote
POV Sherly.Aku mematut diri di cermin dengan disaksikan oleh Tante Yanti. Melennggokkan badan ke kanan-kiri. Aku melihat Tante melalui pantulan cermin, nampak daritadi senyumannya tidak luntur sama sekali. Gaun berwarna putih tulang terpasang di badanku, aksen mutiara melengkapi keindahan detail gaun. Kedua lengan gaun sangat pas dengan ukuran lenganku, dari pinggang ke bawah sangat lebar dan memanjang. Aku disuruh untuk berjalan melewati altar yang sudah tersedia di dalam gedung butik khusus gaun wedding. Aku baru pertama kali melangkah di gedung ini, sepertinya gedung ini tidak terlihat sebelum mengenal Tante. Apa karena kemewahan gedung ini membuatku tutup mata. Para karyawan di sini pada memujiku, katanya aku sangat cantik dan cocok memakai gaun yang dikenakan sekarang. Kami memilih gaun yang ready stok, karena untuk memesan dan membuat kusus sesuai desain sendiri itu tidak ada waktu. Karena waktu sudah sangat mepet, jadi kami disuruh memilih gaun yang sudah tersedia di sini.
Aku melangkah kecil ke parkiran, hotel yang dituju adalah hotel bintang empat se-Jakarta. Di mana hotel itu yang dipilih Tante untuk pernikahan kami nantinya. Rencana pernikahan yang sederhana ternyata hanya sebatas wacana. Aku tidak tahu lagi, seperti apa pernikahanku nanti, tapi pastinya sangat mewah. “Setelah ke hotel kita langsung ke butik satunya ya, kalau di sana tidak terbatas waktunya, paling mepet 2 Minggu sebelum hari H.““Mau ngapain, Tante?““Milih kain, setelah itu nanti jemput Mbak Lastri dan pak Yanto ya, Tante tunggu di sana buat ukur badan,” suruhnya.Aku mengangguk lagi.Mobil yang aku kendarai sudah sampai di depan lobby hotel, para penjaga pun mengambil alih meminta kunci mobil untuk memarkirkan. Sementara aku dan Tante diajak langsung masuk ke resepsionis. Tante menunjukkan layar ponselnya yang langsung disambut pelayan hotel dengan sangat ramah. Pelayan itu langsung mengajak kami di sebuah ruangan. Kami duduk di sofa dengan meja kaca dan Pelayan itu mulai membu
“Sherly, kalau ijabnya sekalian di gedung ini gak papa kan?“ tanyanya menoleh ke arahku. Aku bengong sejenak.“Soalnya rumah Tante ataupun ruko yang kamu tinggali sepertinya tidak muat untuk 300-an, Sherly.““Iya, enggak papa, Tante. Enaknya saja bagaimana,” jawabku kemudian, memang benar apa yang diucapkan Tante. Kayaknya lucu juga ya nikah di dalam Ruko.“Baiklah.““Mbak, nanti saya minta yang sebelah sini digelar karpet saja ya, saya pengen akad nanti lesehan saja. Hanya ada meja kecil buat pengantin. Jadi setelah acara akad selesai, baru dekorasinya diubah setelahnya, jadi dua konsep gitu, bisa?“ tanya Tante ke Mbaknya.“Bisa banget, Ibu. Kebetulan paket yang ibu pilih adalah termasuk VVIP, jadi kita yang menyesuaikan keinginan pelanggan sepuasnya. Owh ya satu lagi ... kami menyediakan perawatan selama satu Minggu sebelum pernikahan untuk pengantin kedua mempelai. Juga ada fasilitas menginap di hotel selama 10 hari, 1 Minggu sebelum hari H dan 3 harinya setelah hari H. Jadi ada 4
“Baik. Saya ijin undur diri dulu ya, Bu, Kakak. Terima kasih sudah memilih kami untuk acara hari besar nanti.“Kami manggut-manggut, tersenyum ke arahnya. Menatap siluet tubuhnya yang meliuk-liuk, melewati ballroom yang sebentar lagi akan menjadi saksi pernikahanku yang kedua nanti.“Kamu ada rekomendasi, Sherly untuk photographernya?“ tanya Tante menoleh ke arahku.“Belum ada, Tante. Nanti Sherly nyari ke IG.““Baik. Kalau MUA Tante sudah pesankan. Di Khadijah Az-zahra yang dari Jawa timur itu. Kebetulan hari H nanti kosong jadi bisa.“Aku sedikit familiar mendengar MUA itu disebutkan, tapi di mana? Lantas aku segera membuka ponsel untuk menjawab penasaranku ini, lalu mengetik pencarian nama MUA yang disebutkan Tante barusan. Jangan sampai salah MUA. Bisa jadi kan Tante salah milih, ya kan. Kalau sampai iya, aku akan membawa MUA sendiri sebagai cadangan kalau kecewa hasilnya nanti.Pencarianku ketemu, lagi aku dibuat takjub oleh Tante. Aku terus mengusap layar melihat akun MUA, melih
Sesampainya Ruko, aku segera turun dari mobil dan tidak lupa menguncinya. Segara aku masuk membuka pintu ruko yang tidak dikunci. “Assalamualaikum, Emak.““Bapak!“Sapaku sedikit berteriak sembari masuk. Pandanganku mengintari ke ruangan, mencari emak, bapak yang tidak kunjung keluar.Aku segera ke kamar mandi untuk berwudhu sembari menunggu mereka.“Walaikum salam, Nak Sherly sudah pulang?“ sambut Emak yang datang dari arah belakang, dan menghampiriku. Aku lekas mencium Takdzim punggung tangannya.“Iya, Mak. Mak lekas bersiap, ya. Nanti Emak dan Bapak mau Sherly ajak pergi setelah salat ashar.““Mau ke mana?““Kata Tante mau ngukur badan, bikin seragam yang senada dengan Tante.““Duh, Mbak Yanti itu selalu begitu, emak malu lama-lama kalau dibantu terus.““Ya mau bagaimana lagi, Mak. Soalnya Tante sudah menganggap kita sebagai keluarganya. Jadi ya gitu, enggak perhitungan sama kita, Mak.““Pokoknya kita harus ingat kebaikan mbak Yanti, Nak. Balas kalau kita dimampukan, apapun yang d
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!