Mataku membeliak sempurna, ini adalah kue-kue dan camilan yang memang disajikan untuk tamu. Tapi kenapa bisa berkumpul di sini?“Eh, ini punya Bibi. Daripada kebuang kan sayang, jadi Bibi nyicil mungutnya tadi.“ Bibi merangsek kantong plastik yang tengah aku pelototi ini. Dia menariknya dan mengikat lagi.Darimana Tante bisa mendapatkan sejumlah plastik?Aku rasa aku tidak pernah menyimpan di rumah ini, karena setiap ada pun langsung terpakai untuk membungkus sampah.Aku yang masih terkejut pun hanya bisa memperhatikan Bibi yang tidak kunjung selesai membungkus makanan. Bahkan dia dengan beraninya memindahkan semua isi piring saji ke dalam kantong plastik yang ia bawa. Aku yang melihatnya pun sedikit ngilu. Miris. Kuakui katering yang kami pesan memang masakan yang enak. Aku sempat mencicipinya sedikit tadi. Rasanya sayang semua makanan sudah terbungkus rapi dan akan dibawa oleh Bibi. Ingin rasanya berteriak meminta menyisakan barang sedikit untuk kami makan di malam hari nanti. Ta
“Katanya kamu menikah, Pram?“ tanya ibuku sambil duduk di hadapanku.Aku mengangguk, sementara Ibu menyingkapkan lengan bajunya yang nampak basah sebagian.“Kenapa gak jemput Ibu?“ tanyanya lagi.Napasku tercekat, perasaan bersalah mulai menguasaiku. Kenapa juga kemarin aku tidak sampai kepikiran untuk menjemput ibu dulu, ya Allah. “Sudah lupa, ya?“ Aku bergeming, tanpa berani memandang wanita di depanku.“Ehm mana makanannya? Ke sini mau berbagi makanan kan biar Ibu bisa ikut mencicipi?““Maaf, Bu.“ Aku mendongak memberanikan diri menatap Ibu. Nampak dia sedang celingak-celinguk mencari sesuatu dibalik punggung ini.Aku meremas lutut. Ibu tersenyum kecut setelah tidak menemukan apa-apa.“Bu, Pram ke sini sebenarnya ingin minta tolong,” Aku memberanikan diri untuk menyampaikan tujuan utamaku. Bagaimanapun ini masalah genting.“Tolong? Untuk apa, Pram?“ “Bu, bolehkah Pram minta perhiasan, Ibu?“Respon Ibu lumayan membuat hatiku menciut, dia melebarkan pupil matanya dan mendekatkan
“Yakin, Bu?“ tanyaku menatap lekat ke arah Ibu.Ibu nampak tidak mengindahkan pertanyaanku. Aku menghela napas ini, kelegaan yang sempat tercipta tadi, kini meredup begitu saja, apakah aku memang harus menjual ginjalku satu?Aku menggeleng. Itu adalah hal kegilaan. Aku masih punya Amira. Jangan sampai aku mati muda sia-sia.“Len!“ Bapak ikut meninggikan suara.Aku sedikit terlonjak dibuatnya.Baru kali ini aku menyaksikan bapak bisa sekasar ini, bapak yang aku kenal dengan kelembutannya dan selalu mengalah ketika Ibu meninggikan suara sewaktu kita serumah dulu.Aku memandang ibu tiada henti. Badan ibu bergetar, dia menggeleng cepat berulang kali. “Katakan saja, emas itu di mana? Tidak perlu disembunyikan! Kamu gak kasihan lihat Anakmu terlilit utang?“ ujar Bapak lagi.“Bukannya kemarin bilang ketemu Sherly kan, Pak. Gimna kalau kita pertemukan saja Ibu dengan Sherly?“ Aku menatap lekat ke Ibu. Aku tidak tega, hanya saja aku meminta tolong sama ibu, itu saja. “Kenapa, kamu begitu gi
POV Sherly Setelah pulang mengantarkan Bu Ratna, aku kembali ke ruko dan rencananya setelah ini, aku akan ke rumah sakit, menjemput Tante yang hari ini sudah diperbolehkan pulang.Emak, Bapak pun sudah di sana. Aku segera menjatuhkan badan ini ke lantai yang sudah dialasi karpet. Kulepas jilbab yang menutupi kepala ini. Sepulang dari rumah Pram membuat terasa sangat gerah mengingat ucapan yang dia lontarkan begitu saja. Apa tadi? Aku minta rujuk? Yang benar saja! Daridulu sampai sekarang ternyata belum juga berubah, masih saja tidak tahu diri. Duh, rasanya gak sabar aku kasih hasil tes DNA ke dia. Penasaran dengan responnya. Apalagi saat ini tengah dimabuk cinta begitu. Aku menghela napas ini, bukan saatnya memikirkan lagi. Apalagi hasil tes DNA juga belum keluar. Biarlah dia menikmati masa ini dulu, mungkin setelah ini dia akan merasakan hari-hari seperti di neraka.30 menit sudah aku menyelonjorkan kaki dengan badan bersender tembok. Sudah cukup aku beristirahat, sekarang saat
Mbak itu mengangguk dan mulai meletakkan beberapa belanjaan di samping mobil. Setelahnya dia menunduk untuk berpamitan. Aku mengangguk dan tidak lupa mengucapkan terima kasih untuknya. Meskipun perasaanku saat ini tidak karuan.“Mau apa, kamu?“ tanyaku langsung ke Pram sepeninggalan mbaknya.“Daritadi aku klakson dari belakang, tapi kamu sama sekali tidak merespon. Ya sudah aku ikuti sampai ke sini dan menunggu sampai, kamu selesai berbelanja.““Mau ngapain?“ tanyaku langsung.“Di dalam mobil itu ada ibuku, dia pengen minta emas yang, kamu simpan, mana?“ Tanpa menjawab aku lekas menuju ke tempat mobil yang ia tunjuk. Aku segera meminta pak sopir untuk menurunkan kaca jendela di posisi ibu duduk. “Bu? Benar begitu?“ tanyaku ke Ibu Leni yang sedang asyik bermain dengan kuku tangannya.“Kenapa, Sherly. Pram minta emas ya? Sudah kasih saja. Ibu sudah capek.““Tapi, Bu?““Sherly, daritadi ibu menengok ke kanan kiri, mencari rumah makan dan saat menemukannya, Ibu tidak berani minta sama P
Aku segera turun dari mobil mendahului Tante, dengan gerakan cepat aku pun membukakan pintu pagar rumahnya, karena aku masih menyimpan kunci cadangan rumah Tante waktu itu.Kubukakan pintu untuk mereka. Menyilakan mobil Zen masuk ke garasi, sementara mobilku kubiarkan parkir di bahu jalan.Sementara Emak Bapak sibuk dengan membawa belanjaan Roti. Mereka yang membantu membawakan masuk ke rumah Tante.Setelah masuk ke ruang tamu, aku segera mengeluarkan beberapa roti yang aku beli tadi dan memindahkan ke beberapa piring. Menata dengan semenarik mungkin di meja tamu.Setelah merasa puas, aku menghampiri Tante di kamarnya sementara emak bapak memilih menunggu di teras halaman untuk menyambut para tetangga.Aku duduk si sebelah Tante. Memijit lengannya tipis-tipis.Sementara Zen sibuk sendiri entah apa yang dikerjakannya.“Sherly. Tante mohon, jangan salah paham dan mengartikan apa yang Tante lakukan ke kamu itu semata karena ada tujuan. Bukan, Tante ikhlas membantu kamu, Sherly,” ungkap T
Aku menghela napas pelan lalu meniupnya perlahan. Kulakukan berulangkali untuk menetralkan rasa gugup.Kuberanikan diri pelan-pelan mendongak, memantapkan hati untuk menjawab karena mereka sedang menungguku.Aku perlahan menatap Tante yang sedari tadi masih saja tersenyum, juga emak, Bapak yang juga tersenyum seperti tanpa beban menatapku.Setelah itu aku melempar pandangan menatap Zen yang ternyata tengah menunduk.“Insyaallah, saya menerima lamaran, Abang.“ Lolos sudah ucapan ini. Ucapan yang sempat terhenti di kerongkongan. Jujur aku memilih kata ini setelah merenung beberapa kali. Aku tidak pernah berpacaran dengan Zen. Juga perkenalan yang tidak memakan hitungan bulan. Itu adalah waktu yang sangat singkat untuk mengenal satu sama lain.Semoga saja pilihan ini adalah pilihan yang terbaik. Ditambah aku juga melakukan salat istikharah sebelumnya. Bukan mimpi yang aku dapat. Tapi sebuah kemantapan untuk menerima Zen sebagai calon imamku. Sekarang aku meletakkan semua keraguan atas iz
Hari pernikahan telah ditentukan. Zen pun sudah berangkat kembali ke Pondok setelah berpamitan denganku. Sebulan lagi, waktu yang sangat singkat. Ingatanku terlempar kemarin saat masih di rumah sakit. Seminggu lagi tes DNA turun. Itu artinya aku harus kembali lagi ke sana untuk mengambilnya. Semoga saja hasilnya sesuai apa yang aku perkirakan.Aku menghela napas saat teringat hari ini Pram akan ke sini mengambil perhiasan Bu Leni. Sepertinya aku berubah pikiran. Sudah tahu ibunya memiliki harta, hidupnya saja masih susah. Seperti kemarin, pengen minta dibelikan makan saja tidak berani. Bagaimana dengan nanti kalau emasnya sudah diambil, ah, membayangkan saja ngeri. Pasti sifat mereka pun semakin menganggap rendah ibu.Meskipun belum ada kata maaf yang terucap dari mulut ibu. Aku sudah memaafkan lama, ditambah melihat kondisinya saat ini, miris. Jujur, ucapan dan hinaan dari ibu membuatku sedikit trauma mengenal keluarga baru lagi, semoga saja aku menemukan keluarga seperti keluarga