Semua Bab Srikandi Antara Dendam Dan Cinta: Bab 81 - Bab 90

107 Bab

Mengobati Panji

Ia berjalan perlahan mendekati dipan panji, mengamatinya sekilas. Lalu menggeleng khawatir. Marta mengalihkan diri dengan duduk di depan tungku, lalu menyalakan api agar ruangan lebih hangat. Duduk termenung beberapa saat, ia dikagetkan dengan suara Panji yang merintih seperti orang kesakitan. Ia menoleh, mendapati badan panji menegang. Racauan tak jelas muncul terdengar, ia mungkin bermimpi buruk. Mau tak mau Marta mendekati, duduk di pinggir dipan. Menatap wajah Panji dengan pandangan tak tega. "Jangan. Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku. Aku takut sendirian .... " Suara Panji terdengar berselang isakan lirih. Mendengar itu, Marta meremang entah kenapa. Kenapa begitu tragis suasana hati Panji, andai saja ia belum terlanjur mengikat hati dengan pria lain, mungkin akan direngkuh pria ini. "Panji, bangun." Ia meraba pundak sosok yang masih berbaring, dan terkesiap saat merasakan suhu badan tak biasa. Marta mengernyit. "Panji," Ucapnya lagi, sebab yang dipanggil belum menjawab, ma
Baca selengkapnya

Bukan Suami Istri Lagi

Hampir dua minggu, tapi rasanya seperti beberapa tahun Marta berada di rumah kecil ini. Di rumah bersama seorang pria bernama panji. Seorang pria yang menamakan dirinya sebagai suami Marta. Namun, hingga kini ia tetap tak bisa menganggap pria itu sebagai suaminya. Yah, selama itu pula, tak ada kontak fisik berlebihan layaknya pasangan suami istri. Marta tetap menolak, dan Panji, katanya akan tetap bersabar hingga kini. Kini, sudah tiga hari Panji selalu keluar rumah hingga sore hari. Bahkan hingga senja telah berakhir, alasannya memang masuk akal. Agar bisa mengobati rasa hatinya akan Marta, bila ia sering berada di rumah. Seperti kali ini, tak ada persediaan makanan apapun di rumah, dan Marta tak bisa pergi karena pagar tak kasat mata itu. Maka sejak siang tadi, ia hanya makan sepotong singkong rebus, dan itupun tinggal satu-satunya. Demi menenangkan perut melilit, ia baringkan badan dalam kamar. Marta terbangun saat mendengar suara pintu terbuka. Di sana, terlihat wajah lelah P
Baca selengkapnya

Melihat Baginda

"Baginda juga tengah berduka, Marta. Kabarnya, Panglima Indra gugur bersama ratusan prajurit. Baginda sampai saat ini juga belum sehat.""Belum sehat, kenapa, Bi?" Tanya Marta terhenyak, setelah kepergiannya saat itu, ia benar-benar tidak tau apa yang terjadi di medan peperangan."Kau tidak tau? Baginda terluka parah." Marta tak menjawab, hanya tertegun memikirkan penjelasan Bibi Ratih. Seakan tak percaya, mana mungkin Baginda terluka."Ah, sudahlah." Tepukan Bibi di pundak, membuat Marta tersadar. "Kita ini cuma pegawai belakang. Yang penting istana tidak tumbang, kita akan tetap aman." Bibi menambahkan, seakan bisa membaca yang Marta pikirkan."Ini sudah larut malam, sebaiknya kau segera tidur. Besok pagi kita lanjutkan percakapan.""Ah, Bibi?" Ia mencekal lengan Bibi yang hendak pergi. "Apa masih ada makanan?" Tanya Marta, membuat Bibi mendelik, kembali duduk. "Kau belum makan?" Tanya Bibi dengan wajah tercengang. Apalagi melihat yang ditanya hanya menggeleng sambil tersenyum nyeng
Baca selengkapnya

Menemani Baginda

"Aku sudah makan. Ini untuk Ayahmu. Atau kau yang akan mengantarkannya?" Marta menawarkan, menyodorkan nampan lebih dekat ke depan Mahesa. Pria itu bergerak mundur dengan tersenyum nyengir."Oh, kalau itu. Kau saja." Mahesa kemudian berlalu, membuat Marta mendelik tak habis pikir. Putra mahkota macam apa itu?Ia menarik nafas dalam-dalam. Untung saja yang datang adalah Mahesa, jika Bibi, mungkin dirinya akan kembali dicurigai. Kantong kecil yang kini kembali disembunyikan di balik baju, ia sentuh perlahan. Bersyukur dalam hati, pria tadi belum sempat melihatnya. Atau mungkin saja melihat, tetapi acuh dengan apa yang terjadi.Kini, ia membawa nampan makanan ke depan Baginda yang masih berbaring malas. Jika diamati benar-benar, Raja itu mungkin sedang banyak pikiran. Hingga membuat luka jiwanya tak kunjung sembuh."Baginda. Makanan Anda," Ucapnya sambil meletakkan nampan di meja depan Baginda. Pria yang kini terlihat lebih kurus itu hanya melirik sekilas, kemudian kembali memejamkan mat
Baca selengkapnya

Bagas Si Murid Kesayangan

Pangeran itu menurut, ketika ia melambaikan tangan, memintanya menyusul kemari. "Ada apa?" Mahesa bertanya tanpa peduli pada sang ayah yang sangat membutuhkannya.Mendengar pertanyaan itu, Marta melirik Baginda yang tetap acuh menatap air kolam. Ia bahkan sempat berfikir, apakah Ayah itu kini tak lagi berharap lebih pada pangeran kesayangannya."Em, Pangeran. Apa Anda sudah meminta tolong tabib istana untuk memeriksa kondisi Baginda?" Tanya Marta, saat Mahesa telah duduk di dekatnya. Seperti yang diduga, pangeran itu agak kebingungan hendak menjawab. Malah mengarahkan tatapannya kesana-kemari."Kemarin, pernah." Jawaban Mahesa didahului dengan melirik ragu ke arah sang Bapak."Apa Anda tau, apa yang menyebabkan Baginda tak kunjung sembuh?""Mana aku tau. Aku kan bukan tabib." Mahesa menyanggah."Tapi Anda kan anaknya.""Hanya anak. Bukan tabib, dan meskipun anak, bukan berarti harus tau semuanya. Harus bisa semuanya!" Marta mendelik, tak percaya Mahesa menjawab dengan sesengit itu."
Baca selengkapnya

Bertemu Panji

Setelahnya, ia menghempas ke atas tikar, dan tak butuh waktu lama, nafasnya bergerak teratur. Bagas tertidur sangat nyenyak, tidur yang baru kali ini didapatinya. Bahkan pemuda itu tak tau lagi awal kemunculan surya pagi seperti biasanya. Matanya terbuka saat angin lembut menerpa wajah. Angin yang masuk melewati jendela terbuka. Entah Kakek yang sengaja membukanya, atau memang ada angin usil. Karena kondisi jendela kayu yang tak lagi berfungsi dengan baik. Bagas bangkit dengan malas, dengan kedua mata masih setengah tertutup. Ia terperanjat, saat membukanya, dan melihat hari telah benderang. Bagas sontak melompat dari atas tempat tidur. "Kakek, kenapa tidak membangunkanku?" Tanyanya pada pria tua yang masih duduk di depan tungku, dengan kedua tangan sibuk entah membuat apa. Pria yang dipanggil Kakek itu hanya melirik sekilas, kemudian kembali fokus pada aktifitasnya. "Tidurmu sangat nyenyak, Bagas. Baru kali ini Kakek melihat kau tidur seenak itu, jadi Kakek tidak tega membangunk
Baca selengkapnya

Berkemah

"Percaya diri sekali, kau ini. Memang hanya gurumu saja yang memiliki jurus itu? Dasar!" Setelah berkata demikian, Panji berlari kencang, bahkan melompat tinggi meninggal Bagas yang menatap heran. Di tempatnya, Bagas menggeleng tak habis pikir, menatap pohon bergoyang yang belum lama dijejak panji. "Siapa orang itu tadi?" Ia bergumam seorang diri. "Aneh sekali."Bagas mengangkat bahu, tak ingin peduli dengan yang baru saja terjadi, ia memunguti beberapa ikan tadi. Tak lama, perapian pun menemaninya, di tengah hutan ini, pada siang menjelang sore yang dingin. Pemuda itu duduk, fokus pada ikan hampir matang di ujung tusukan bambu. Aroma lezat pun tercium, Bagas nampak tak sabar. Pada saat yang sama, di tempat lain, Marta tertegun seorang diri di pinggir kolam ikan. Usai menemani Baginda di kamarnya tadi, ia memilih duduk di tempat paling menyenangkan baginya. Pikiran Marta masih tertuju pada Bagas, yang entah bagaimana kondisinya saat ini. Jika telah berada di istana seperti ini, su
Baca selengkapnya

Bertemu Bagas

"Iya. Ini aku, Bagas. Calon suamimu. Apa kau sudah lupa?" Tanyanya, demi mengawali semua rasa yang tak mungkin ia ungkapan saat ini juga. Yang jelas, sesungguhnya ia ingin memeluk badan kecil kedinginan itu, tetapi kondisinya masih belum memungkinkan. "Bagaimana, kau bisa di sini?" Tanya Marta, wajah tercengangnya tak bisa disembunyikan. Terlihat jelas bagaimana gadis itu terperangah, antara percaya dan tidak. "Ceritanya panjang, yang jelas. Malam ini aku tidak bisa tidur, dan istingku meminta untuk terus berjalan meski tengah malam dan hari hujan. Aku juga tidak menyangka, ternyata bisa bertemu denganmu di sini." Bagas berucap dengan mata tak berkedip, menatap pada wajah cantik yang telah berapa lama ia rindukan. Gadis itu tertunduk, wajah meronanya terlihat oleh pantulan perapian di luar tenda. "Marta, kenapa kau tiba-tiba menghilang?" Tanya Bagas membuat sang gadis melirik sekilas, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke bawah. Mungkin takut akan mengatakan yang sebenarnya.
Baca selengkapnya

Perjalanan Indah

"Aku memang telah menjadi janda. Tapi percayalah, selama pernikahan, kami belum pernah bersentuhan.""Bagaimana bisa?""Yah, karena aku tidak bisa memberikan cintaku pada pria temperamental itu.""Ah, iya. Aku tau," Seloroh Bagas membuat Marta mendongak bingung "kau pasti hanya bisa memberikan cintamu itu, padaku seorang, bukan?" Pertanyaan yang terlalu percaya diri memang. Tapi itulah Bagas, hanya dengan Marta ia bisa meluapkan semua perasaannya. Gadis itu tak lantas menjawab, tetapi semu merah di sepasang pipinya telah mewakilkan semuanya. "Mungkin.""Bukan mungkin. Tapi pasti," Bagas menambahkan, ia tersenyum lebar saat melihat sang gadis menundukkan wajah tersipu. "Aku yakin saja, suatu saat kita akan bertemu lagi. Dan ternyata benar." Bagas tak memberikan jawaban, tetapi ia menggerakkan tangan untuk mencari jemari Marta, menggenggamnya. Tak peduli bagaimana gadis itu terkesiap, bingung antara ingin menyembunyikan tangan dan membiarkan saja. Bagi seorang Bagas, raut wajah kiku
Baca selengkapnya

Tugas Baru

Marta memang tidak menimpa tanah, tetapi ia menindih bagas yang meringis kesakitan. Merasakan punggungnya menimpa benda kasar di bawah. Sepersekian detik, baik Marta maupun Bagas, saling diam, mengunci tatapan masing-masing. Hingga Marta yang lebih dulu menyadari, ia menarik diri secepat kilat. "E, ma, maaf. Maaf," Ucap Marta salah tingkah. Hembusan hangat nafas Bagas yang menerpa wajahnya tadi, masih terasa hingga detik ini. Kini, ia hanya sibuk menenangkan detak jantung yang membuat nafasnya pun berantakan. Marta bahkan melupakan Bagas yang masih meringis memegangi pundak, posisinya pun masih terduduk di atas tanah. "Marta, tolong aku," Pinta bagas kemudian, lalu kini Marta baru menyadari. Ia juga terhenyak, kembali berjongkok membantu Bagas untuk segera berdiri. "Apa yang sakit? Apa karena aku tadi?" Tanya Marta terlihat panik. "Iya. Kau harus bertanggung jawab." Suara Bagas masih sempat-sempatnya menggoda sang gadis. Ia malah tersenyum penuh rencana. "Iya. Aku harus apa?" T
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status