Setelahnya, ia menghempas ke atas tikar, dan tak butuh waktu lama, nafasnya bergerak teratur. Bagas tertidur sangat nyenyak, tidur yang baru kali ini didapatinya. Bahkan pemuda itu tak tau lagi awal kemunculan surya pagi seperti biasanya. Matanya terbuka saat angin lembut menerpa wajah. Angin yang masuk melewati jendela terbuka. Entah Kakek yang sengaja membukanya, atau memang ada angin usil. Karena kondisi jendela kayu yang tak lagi berfungsi dengan baik. Bagas bangkit dengan malas, dengan kedua mata masih setengah tertutup. Ia terperanjat, saat membukanya, dan melihat hari telah benderang. Bagas sontak melompat dari atas tempat tidur. "Kakek, kenapa tidak membangunkanku?" Tanyanya pada pria tua yang masih duduk di depan tungku, dengan kedua tangan sibuk entah membuat apa. Pria yang dipanggil Kakek itu hanya melirik sekilas, kemudian kembali fokus pada aktifitasnya. "Tidurmu sangat nyenyak, Bagas. Baru kali ini Kakek melihat kau tidur seenak itu, jadi Kakek tidak tega membangunk
"Percaya diri sekali, kau ini. Memang hanya gurumu saja yang memiliki jurus itu? Dasar!" Setelah berkata demikian, Panji berlari kencang, bahkan melompat tinggi meninggal Bagas yang menatap heran. Di tempatnya, Bagas menggeleng tak habis pikir, menatap pohon bergoyang yang belum lama dijejak panji. "Siapa orang itu tadi?" Ia bergumam seorang diri. "Aneh sekali."Bagas mengangkat bahu, tak ingin peduli dengan yang baru saja terjadi, ia memunguti beberapa ikan tadi. Tak lama, perapian pun menemaninya, di tengah hutan ini, pada siang menjelang sore yang dingin. Pemuda itu duduk, fokus pada ikan hampir matang di ujung tusukan bambu. Aroma lezat pun tercium, Bagas nampak tak sabar. Pada saat yang sama, di tempat lain, Marta tertegun seorang diri di pinggir kolam ikan. Usai menemani Baginda di kamarnya tadi, ia memilih duduk di tempat paling menyenangkan baginya. Pikiran Marta masih tertuju pada Bagas, yang entah bagaimana kondisinya saat ini. Jika telah berada di istana seperti ini, su
"Iya. Ini aku, Bagas. Calon suamimu. Apa kau sudah lupa?" Tanyanya, demi mengawali semua rasa yang tak mungkin ia ungkapan saat ini juga. Yang jelas, sesungguhnya ia ingin memeluk badan kecil kedinginan itu, tetapi kondisinya masih belum memungkinkan. "Bagaimana, kau bisa di sini?" Tanya Marta, wajah tercengangnya tak bisa disembunyikan. Terlihat jelas bagaimana gadis itu terperangah, antara percaya dan tidak. "Ceritanya panjang, yang jelas. Malam ini aku tidak bisa tidur, dan istingku meminta untuk terus berjalan meski tengah malam dan hari hujan. Aku juga tidak menyangka, ternyata bisa bertemu denganmu di sini." Bagas berucap dengan mata tak berkedip, menatap pada wajah cantik yang telah berapa lama ia rindukan. Gadis itu tertunduk, wajah meronanya terlihat oleh pantulan perapian di luar tenda. "Marta, kenapa kau tiba-tiba menghilang?" Tanya Bagas membuat sang gadis melirik sekilas, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke bawah. Mungkin takut akan mengatakan yang sebenarnya.
"Aku memang telah menjadi janda. Tapi percayalah, selama pernikahan, kami belum pernah bersentuhan.""Bagaimana bisa?""Yah, karena aku tidak bisa memberikan cintaku pada pria temperamental itu.""Ah, iya. Aku tau," Seloroh Bagas membuat Marta mendongak bingung "kau pasti hanya bisa memberikan cintamu itu, padaku seorang, bukan?" Pertanyaan yang terlalu percaya diri memang. Tapi itulah Bagas, hanya dengan Marta ia bisa meluapkan semua perasaannya. Gadis itu tak lantas menjawab, tetapi semu merah di sepasang pipinya telah mewakilkan semuanya. "Mungkin.""Bukan mungkin. Tapi pasti," Bagas menambahkan, ia tersenyum lebar saat melihat sang gadis menundukkan wajah tersipu. "Aku yakin saja, suatu saat kita akan bertemu lagi. Dan ternyata benar." Bagas tak memberikan jawaban, tetapi ia menggerakkan tangan untuk mencari jemari Marta, menggenggamnya. Tak peduli bagaimana gadis itu terkesiap, bingung antara ingin menyembunyikan tangan dan membiarkan saja. Bagi seorang Bagas, raut wajah kiku
Marta memang tidak menimpa tanah, tetapi ia menindih bagas yang meringis kesakitan. Merasakan punggungnya menimpa benda kasar di bawah. Sepersekian detik, baik Marta maupun Bagas, saling diam, mengunci tatapan masing-masing. Hingga Marta yang lebih dulu menyadari, ia menarik diri secepat kilat. "E, ma, maaf. Maaf," Ucap Marta salah tingkah. Hembusan hangat nafas Bagas yang menerpa wajahnya tadi, masih terasa hingga detik ini. Kini, ia hanya sibuk menenangkan detak jantung yang membuat nafasnya pun berantakan. Marta bahkan melupakan Bagas yang masih meringis memegangi pundak, posisinya pun masih terduduk di atas tanah. "Marta, tolong aku," Pinta bagas kemudian, lalu kini Marta baru menyadari. Ia juga terhenyak, kembali berjongkok membantu Bagas untuk segera berdiri. "Apa yang sakit? Apa karena aku tadi?" Tanya Marta terlihat panik. "Iya. Kau harus bertanggung jawab." Suara Bagas masih sempat-sempatnya menggoda sang gadis. Ia malah tersenyum penuh rencana. "Iya. Aku harus apa?" T
"Jadi, sekarang kau tidak lagi berasa di sini, melayaniku, Marta?" Tanya baginda, keesokan harinya. Sesaat setelah Marta meminta ijin untuk mundur dari tugasnya sebagai seorang pelayan. Tugas yang ia dibebankan padanya sejak awal berada di sini. Ia mengangguk. Sebenarnya, jika ia menerima tugas baru ini, artinya ia akan jauh dari baginda, kecuali hanya tentang urusan kenegaraan saja. Berbeda dengan posisi sebelumnya, yang lebih intim dengan Raja itu. "Apa ada pelayan lain, yang sebaik kau, Marta?" Baginda bertanya lagi, pria itu terlihat khawatir jika Marta digantikan oleh yang lain. "Pasti ada, Baginda. Atau, sebelum menemani prajurit, saya bisa datang kemari setiap paginya?" Marta memberikan penawaran, dan itu membuat baginda mendongak kegirangan. "Yah, aku setuju. Karena aku benar-benar lebih nyaman denganmu, tidak dengan yang lain.""Iya, Baginda. Kalau begitu, saya akan mengambilkan makanan untuk baginda, baru setelah itu saya akan bergabung dengan para prajurit.""Aku tidak
Dua minggu sudah, Marta mendampingi prajurit dalam berlatih. Kedisiplinan dalam berlatih pun kian berkembang secara signifikan. Selama itu pula, kesehatan Baginda pun ikut membaik. Seperti siang menjelang sore ini, Baginda yang telah mengenakan pakaian kebesaran, bersama bagas melihat proses para prajurit berlatih. Hal yang jarang sekali sang raja lakukan. Sebelumnya, jangankan menyapa mereka. Melihat prajurit berlatih saja bisa dihitung. Baginda tidak sadar, sikapnya yang seperti ini, ternyata mampu menyuntikkan ribuan semangat dalam jiwa mereka. Sementara baginda, baru mau mengamatinya ketika ada Marta saja. Entah seistimewa apa gadis itu baginya, yang jelas, Baginda melihatnya mondar-mandir di antara prajurit itu, senyumnya selalu mengembang. "Latihan untuk hari ini cukup. Kalian boleh istirahat." Suara lantang Marta terdengar, kian membuat wajah para prajurit tersenyum lega. Gadis yang ternyata memiliki kemampuan bergerak gesit itu, memberikan kode pada anak buahnya untuk men
"Kita memang harus berterimakasih kepada pangeran Bagas, dan Panglima Marta." Ucapan lembut dari seorang Mahesa, membuat baginda dan Bagas terkesiap. Hanya Marta yang biasa saja dengan perubahan putra mahkota itu. Sebab ia yang menggemblengnya setiap hari. Gadis itu sempat melirik dua orang yang melihat tak biasa, ia bahkan tak begitu meresapi kalimat Pangeran tadi. "Karena berkat mereka berdualah, kemampuan berperang prajurit kita meningkat bagus, baginda. Saya pun akan ikut berusaha sekuat tenaga, untuk membela bangsa ini, hingga titik darah penghabisan." Baginda belum menjawab, ia hanya terhenyak. Mungkin tak percaya dengan anak pertamanya itu. Yang kini tampak lebih baik bila dibandingkan dengan sebelumnya. "Kakak tidak perlu berlebihan, sebab yang menemani prajurit berlatih setiap hari adalah Marta. Dialah yang memiliki andil besar dalam hal ini.""Ah, kalian ini yang berlebihan," Tak enak juga, Marta menyangkal dengan wajah merona. "Sudah, sudah. Kenapa aku jadi terharu deng