Marta memang tidak menimpa tanah, tetapi ia menindih bagas yang meringis kesakitan. Merasakan punggungnya menimpa benda kasar di bawah. Sepersekian detik, baik Marta maupun Bagas, saling diam, mengunci tatapan masing-masing. Hingga Marta yang lebih dulu menyadari, ia menarik diri secepat kilat. "E, ma, maaf. Maaf," Ucap Marta salah tingkah. Hembusan hangat nafas Bagas yang menerpa wajahnya tadi, masih terasa hingga detik ini. Kini, ia hanya sibuk menenangkan detak jantung yang membuat nafasnya pun berantakan. Marta bahkan melupakan Bagas yang masih meringis memegangi pundak, posisinya pun masih terduduk di atas tanah. "Marta, tolong aku," Pinta bagas kemudian, lalu kini Marta baru menyadari. Ia juga terhenyak, kembali berjongkok membantu Bagas untuk segera berdiri. "Apa yang sakit? Apa karena aku tadi?" Tanya Marta terlihat panik. "Iya. Kau harus bertanggung jawab." Suara Bagas masih sempat-sempatnya menggoda sang gadis. Ia malah tersenyum penuh rencana. "Iya. Aku harus apa?" T
"Jadi, sekarang kau tidak lagi berasa di sini, melayaniku, Marta?" Tanya baginda, keesokan harinya. Sesaat setelah Marta meminta ijin untuk mundur dari tugasnya sebagai seorang pelayan. Tugas yang ia dibebankan padanya sejak awal berada di sini. Ia mengangguk. Sebenarnya, jika ia menerima tugas baru ini, artinya ia akan jauh dari baginda, kecuali hanya tentang urusan kenegaraan saja. Berbeda dengan posisi sebelumnya, yang lebih intim dengan Raja itu. "Apa ada pelayan lain, yang sebaik kau, Marta?" Baginda bertanya lagi, pria itu terlihat khawatir jika Marta digantikan oleh yang lain. "Pasti ada, Baginda. Atau, sebelum menemani prajurit, saya bisa datang kemari setiap paginya?" Marta memberikan penawaran, dan itu membuat baginda mendongak kegirangan. "Yah, aku setuju. Karena aku benar-benar lebih nyaman denganmu, tidak dengan yang lain.""Iya, Baginda. Kalau begitu, saya akan mengambilkan makanan untuk baginda, baru setelah itu saya akan bergabung dengan para prajurit.""Aku tidak
Dua minggu sudah, Marta mendampingi prajurit dalam berlatih. Kedisiplinan dalam berlatih pun kian berkembang secara signifikan. Selama itu pula, kesehatan Baginda pun ikut membaik. Seperti siang menjelang sore ini, Baginda yang telah mengenakan pakaian kebesaran, bersama bagas melihat proses para prajurit berlatih. Hal yang jarang sekali sang raja lakukan. Sebelumnya, jangankan menyapa mereka. Melihat prajurit berlatih saja bisa dihitung. Baginda tidak sadar, sikapnya yang seperti ini, ternyata mampu menyuntikkan ribuan semangat dalam jiwa mereka. Sementara baginda, baru mau mengamatinya ketika ada Marta saja. Entah seistimewa apa gadis itu baginya, yang jelas, Baginda melihatnya mondar-mandir di antara prajurit itu, senyumnya selalu mengembang. "Latihan untuk hari ini cukup. Kalian boleh istirahat." Suara lantang Marta terdengar, kian membuat wajah para prajurit tersenyum lega. Gadis yang ternyata memiliki kemampuan bergerak gesit itu, memberikan kode pada anak buahnya untuk men
"Kita memang harus berterimakasih kepada pangeran Bagas, dan Panglima Marta." Ucapan lembut dari seorang Mahesa, membuat baginda dan Bagas terkesiap. Hanya Marta yang biasa saja dengan perubahan putra mahkota itu. Sebab ia yang menggemblengnya setiap hari. Gadis itu sempat melirik dua orang yang melihat tak biasa, ia bahkan tak begitu meresapi kalimat Pangeran tadi. "Karena berkat mereka berdualah, kemampuan berperang prajurit kita meningkat bagus, baginda. Saya pun akan ikut berusaha sekuat tenaga, untuk membela bangsa ini, hingga titik darah penghabisan." Baginda belum menjawab, ia hanya terhenyak. Mungkin tak percaya dengan anak pertamanya itu. Yang kini tampak lebih baik bila dibandingkan dengan sebelumnya. "Kakak tidak perlu berlebihan, sebab yang menemani prajurit berlatih setiap hari adalah Marta. Dialah yang memiliki andil besar dalam hal ini.""Ah, kalian ini yang berlebihan," Tak enak juga, Marta menyangkal dengan wajah merona. "Sudah, sudah. Kenapa aku jadi terharu deng
"Apa kau akan tetap mencintaiku, apapun yang terjadi?" Pertanyaan Marta langsung dijawab gelegar membahana.Gadis itu mendongak, menatap tanpa kedip wajah bagas, seakan tak berpengaruh sama sekali dengan suara yang sangat mengganggu. "Kenapa kau bertanya begitu?" Bukan jawaban, Bagas justru bertanya tak mengerti."Aku hanya ingin tau saja," Katanya. Tatapan Marta masih tak beralih, seolah memaksa Bagas untuk segera menjawab."Tentu saja aku akan tetap mencintaimu.""Walaupun, aku membuatmu kecewa?" Tanya Marta lagi, dan Bagas kembali memicing heran."Apa maksudmu, Marta? Aku bingung dengan pertanyaanmu. Kau bertanya, seolah-olah kau akan meninggalkan aku." Bagas mendesah lirih, menghindari sorot mata Marta yang tetap mengarah padanya."Bukan meninggalkan. Tapi, jika suatu saat aku berbuat sesuatu yang membuatmu kecewa, apa kau masih akan tetap mencintaiku?""Marta, seseorang yang benar-benar mencintai. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan yang dicintai, bukan malah sebal
Panji tak menghiraukan tatapan panik dari Bagas, saat ia menggiring Marta dengan ayunan pedangnya. Keduanya kini beradu ujung pedang di depan wajah. Saling mengunci gerakan sekuat tenaga, disertai tatapan tajam menghujam. "Aku tidak menyangka, kita akan kembali bertemu di sini, sayang." Panji tersenyum dingin, Sedingin hatinya yang saat ini telah kehilangan rasa cinta. Sedingin hatinya yang saat ini hanya ingin membenci dan membunuh. "Kenapa kau bisa berada dalam rombongan itu?" Desis Marta tak habis pikir, sebab rasanya belum lama ia meninggalkan rumah Panji. Kala itu. "Kenapa, kau kaget?" Panji berdecak, mendekatkan ujung pedang ke wajah Marta. Mengamati wajah memerah terkena panas surya itu lekat-lekat. Wajah yang pernah membuatnya terobsesi, dan dengan obsesi itu membuatnya kian gila. Panji terkekeh bangga dengan kegilaannya ini. Apalagi melihat netra bening di depannya membulat panik. "Aku merasa, hanya di tengah-tengah mereka, aku bisa merasakan hidup. Dicintai, disayangi, d
Ternyata seorang pria tua, menampilkan wajah tersenyum meneduhkan. Wajah yang selama ini menjadi idola dan panutan baginya. "Guru?" Gumam Bagas, menyambut senyum di tengah wajah berkerut halus itu. Rambut panjang berwarna putih, berserakan di atas pundak, sebagian menutup matanya. "Jangan takut, Pangeran. Mari, maju bersamaku," Ucapan lembut, selembut angin sepoi yang mendesis siang ini. Bagas tersenyum, percaya dirinya bangkit lebih banyak. Ia mengangguk tegas, bersama sang guru, kembali maju ke depan lawan. Kini, pemimpin rombongan itu berduel satu lawan satu. Yang berhadapan dengan Bagas tampak tak terpengaruh sama sekali, berbeda dengan yang melawan Kakek guru. Belum lama, badannya telah terhuyung. Belum sampai di tanah berumput, sang Kakek kembali mendorongnya dengan kekuatan serupa asap putih kebiruan. Badan kalah itu limbung, jatuh terpental ke atas tanah hingga beberapa kali. Hal itu, membuat saudaranya kehilangan fokus dalam melawan Bagas. Akibatnya, ia pun terkena ujung
Ia melangkah tegas, mendekati pria itu dan mengeluarkan pedang dari urat nadi. Diayunkannya pedang itu tinggi-tinggi, tetapi saat benda tajam itu siap diturunkan, Baginda membuka mata. "Marta?"Ia terhenyak. Tak habis pikir, kenapa akan melakukannya tanpa pikir panjang. Marta mengumpat dalam hati, gadis itu mematung sejenak saat Baginda benar-benar duduk dan memperhatikannya, dari atas ke bawah. "Kenapa kau di sini?" Tanya Raja itu, masih tersenyum di balik wajah paniknya. Kepalang tanggung, yang dilakukan telah sejauh ini. Ia akan malu jika tiba-tiba menghilang. Maka, ditariknya senyuman miring, yang membuat Baginda membelalak kaget. "Salah, jika Anda berfikir saya orang baik. Tujuan saya datang ke istana ini, tak lain adalah untuk menuntut balas kepada Anda.""Apa maksudmu?" Baginda masih tak mengerti. Sementara Marta bukannya menjawab, malah mengayunkan pedang ke arah Baginda. Raja itu tak benar-benar percaya dengan yang dikatakan Marta, sehingga tak melakukan persiapan sama sek