Hampir dua minggu, tapi rasanya seperti beberapa tahun Marta berada di rumah kecil ini. Di rumah bersama seorang pria bernama panji. Seorang pria yang menamakan dirinya sebagai suami Marta. Namun, hingga kini ia tetap tak bisa menganggap pria itu sebagai suaminya. Yah, selama itu pula, tak ada kontak fisik berlebihan layaknya pasangan suami istri. Marta tetap menolak, dan Panji, katanya akan tetap bersabar hingga kini. Kini, sudah tiga hari Panji selalu keluar rumah hingga sore hari. Bahkan hingga senja telah berakhir, alasannya memang masuk akal. Agar bisa mengobati rasa hatinya akan Marta, bila ia sering berada di rumah. Seperti kali ini, tak ada persediaan makanan apapun di rumah, dan Marta tak bisa pergi karena pagar tak kasat mata itu. Maka sejak siang tadi, ia hanya makan sepotong singkong rebus, dan itupun tinggal satu-satunya. Demi menenangkan perut melilit, ia baringkan badan dalam kamar. Marta terbangun saat mendengar suara pintu terbuka. Di sana, terlihat wajah lelah P
"Baginda juga tengah berduka, Marta. Kabarnya, Panglima Indra gugur bersama ratusan prajurit. Baginda sampai saat ini juga belum sehat.""Belum sehat, kenapa, Bi?" Tanya Marta terhenyak, setelah kepergiannya saat itu, ia benar-benar tidak tau apa yang terjadi di medan peperangan."Kau tidak tau? Baginda terluka parah." Marta tak menjawab, hanya tertegun memikirkan penjelasan Bibi Ratih. Seakan tak percaya, mana mungkin Baginda terluka."Ah, sudahlah." Tepukan Bibi di pundak, membuat Marta tersadar. "Kita ini cuma pegawai belakang. Yang penting istana tidak tumbang, kita akan tetap aman." Bibi menambahkan, seakan bisa membaca yang Marta pikirkan."Ini sudah larut malam, sebaiknya kau segera tidur. Besok pagi kita lanjutkan percakapan.""Ah, Bibi?" Ia mencekal lengan Bibi yang hendak pergi. "Apa masih ada makanan?" Tanya Marta, membuat Bibi mendelik, kembali duduk. "Kau belum makan?" Tanya Bibi dengan wajah tercengang. Apalagi melihat yang ditanya hanya menggeleng sambil tersenyum nyeng
"Aku sudah makan. Ini untuk Ayahmu. Atau kau yang akan mengantarkannya?" Marta menawarkan, menyodorkan nampan lebih dekat ke depan Mahesa. Pria itu bergerak mundur dengan tersenyum nyengir."Oh, kalau itu. Kau saja." Mahesa kemudian berlalu, membuat Marta mendelik tak habis pikir. Putra mahkota macam apa itu?Ia menarik nafas dalam-dalam. Untung saja yang datang adalah Mahesa, jika Bibi, mungkin dirinya akan kembali dicurigai. Kantong kecil yang kini kembali disembunyikan di balik baju, ia sentuh perlahan. Bersyukur dalam hati, pria tadi belum sempat melihatnya. Atau mungkin saja melihat, tetapi acuh dengan apa yang terjadi.Kini, ia membawa nampan makanan ke depan Baginda yang masih berbaring malas. Jika diamati benar-benar, Raja itu mungkin sedang banyak pikiran. Hingga membuat luka jiwanya tak kunjung sembuh."Baginda. Makanan Anda," Ucapnya sambil meletakkan nampan di meja depan Baginda. Pria yang kini terlihat lebih kurus itu hanya melirik sekilas, kemudian kembali memejamkan mat
Pangeran itu menurut, ketika ia melambaikan tangan, memintanya menyusul kemari. "Ada apa?" Mahesa bertanya tanpa peduli pada sang ayah yang sangat membutuhkannya.Mendengar pertanyaan itu, Marta melirik Baginda yang tetap acuh menatap air kolam. Ia bahkan sempat berfikir, apakah Ayah itu kini tak lagi berharap lebih pada pangeran kesayangannya."Em, Pangeran. Apa Anda sudah meminta tolong tabib istana untuk memeriksa kondisi Baginda?" Tanya Marta, saat Mahesa telah duduk di dekatnya. Seperti yang diduga, pangeran itu agak kebingungan hendak menjawab. Malah mengarahkan tatapannya kesana-kemari."Kemarin, pernah." Jawaban Mahesa didahului dengan melirik ragu ke arah sang Bapak."Apa Anda tau, apa yang menyebabkan Baginda tak kunjung sembuh?""Mana aku tau. Aku kan bukan tabib." Mahesa menyanggah."Tapi Anda kan anaknya.""Hanya anak. Bukan tabib, dan meskipun anak, bukan berarti harus tau semuanya. Harus bisa semuanya!" Marta mendelik, tak percaya Mahesa menjawab dengan sesengit itu."
Setelahnya, ia menghempas ke atas tikar, dan tak butuh waktu lama, nafasnya bergerak teratur. Bagas tertidur sangat nyenyak, tidur yang baru kali ini didapatinya. Bahkan pemuda itu tak tau lagi awal kemunculan surya pagi seperti biasanya. Matanya terbuka saat angin lembut menerpa wajah. Angin yang masuk melewati jendela terbuka. Entah Kakek yang sengaja membukanya, atau memang ada angin usil. Karena kondisi jendela kayu yang tak lagi berfungsi dengan baik. Bagas bangkit dengan malas, dengan kedua mata masih setengah tertutup. Ia terperanjat, saat membukanya, dan melihat hari telah benderang. Bagas sontak melompat dari atas tempat tidur. "Kakek, kenapa tidak membangunkanku?" Tanyanya pada pria tua yang masih duduk di depan tungku, dengan kedua tangan sibuk entah membuat apa. Pria yang dipanggil Kakek itu hanya melirik sekilas, kemudian kembali fokus pada aktifitasnya. "Tidurmu sangat nyenyak, Bagas. Baru kali ini Kakek melihat kau tidur seenak itu, jadi Kakek tidak tega membangunk
"Percaya diri sekali, kau ini. Memang hanya gurumu saja yang memiliki jurus itu? Dasar!" Setelah berkata demikian, Panji berlari kencang, bahkan melompat tinggi meninggal Bagas yang menatap heran. Di tempatnya, Bagas menggeleng tak habis pikir, menatap pohon bergoyang yang belum lama dijejak panji. "Siapa orang itu tadi?" Ia bergumam seorang diri. "Aneh sekali."Bagas mengangkat bahu, tak ingin peduli dengan yang baru saja terjadi, ia memunguti beberapa ikan tadi. Tak lama, perapian pun menemaninya, di tengah hutan ini, pada siang menjelang sore yang dingin. Pemuda itu duduk, fokus pada ikan hampir matang di ujung tusukan bambu. Aroma lezat pun tercium, Bagas nampak tak sabar. Pada saat yang sama, di tempat lain, Marta tertegun seorang diri di pinggir kolam ikan. Usai menemani Baginda di kamarnya tadi, ia memilih duduk di tempat paling menyenangkan baginya. Pikiran Marta masih tertuju pada Bagas, yang entah bagaimana kondisinya saat ini. Jika telah berada di istana seperti ini, su
"Iya. Ini aku, Bagas. Calon suamimu. Apa kau sudah lupa?" Tanyanya, demi mengawali semua rasa yang tak mungkin ia ungkapan saat ini juga. Yang jelas, sesungguhnya ia ingin memeluk badan kecil kedinginan itu, tetapi kondisinya masih belum memungkinkan. "Bagaimana, kau bisa di sini?" Tanya Marta, wajah tercengangnya tak bisa disembunyikan. Terlihat jelas bagaimana gadis itu terperangah, antara percaya dan tidak. "Ceritanya panjang, yang jelas. Malam ini aku tidak bisa tidur, dan istingku meminta untuk terus berjalan meski tengah malam dan hari hujan. Aku juga tidak menyangka, ternyata bisa bertemu denganmu di sini." Bagas berucap dengan mata tak berkedip, menatap pada wajah cantik yang telah berapa lama ia rindukan. Gadis itu tertunduk, wajah meronanya terlihat oleh pantulan perapian di luar tenda. "Marta, kenapa kau tiba-tiba menghilang?" Tanya Bagas membuat sang gadis melirik sekilas, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke bawah. Mungkin takut akan mengatakan yang sebenarnya.
"Aku memang telah menjadi janda. Tapi percayalah, selama pernikahan, kami belum pernah bersentuhan.""Bagaimana bisa?""Yah, karena aku tidak bisa memberikan cintaku pada pria temperamental itu.""Ah, iya. Aku tau," Seloroh Bagas membuat Marta mendongak bingung "kau pasti hanya bisa memberikan cintamu itu, padaku seorang, bukan?" Pertanyaan yang terlalu percaya diri memang. Tapi itulah Bagas, hanya dengan Marta ia bisa meluapkan semua perasaannya. Gadis itu tak lantas menjawab, tetapi semu merah di sepasang pipinya telah mewakilkan semuanya. "Mungkin.""Bukan mungkin. Tapi pasti," Bagas menambahkan, ia tersenyum lebar saat melihat sang gadis menundukkan wajah tersipu. "Aku yakin saja, suatu saat kita akan bertemu lagi. Dan ternyata benar." Bagas tak memberikan jawaban, tetapi ia menggerakkan tangan untuk mencari jemari Marta, menggenggamnya. Tak peduli bagaimana gadis itu terkesiap, bingung antara ingin menyembunyikan tangan dan membiarkan saja. Bagi seorang Bagas, raut wajah kiku
Ia kini dihadapkan kembali dengan persiapan serangan yang lebih dari sebelumnya. Namun, sebelum itu, Tiba-tiba ada sosok lain yang datang membantu. Melemparkan satu tendangan dan membuat mereka bertiga langsung terjatuh bersamaan. Sosok itu beberapa detik masih berdiri membelakangi Marta, hingga ia tak bisa melihat siapa. Apalagi di malam gelap seperti ini. Ia hanya bisa melihat, bahwa tiga orang jahat tadi saling menarik satu sama lain.Mereka berlari tunggang-langgang, meninggalkan Marta tercengang seorang diri. Dalam kepalanya mulai disinggahi rasa khawatir akan sosok yang tak juga membalikkan badan. Ia perlahan mendekat, dan semakin diamati, postur badan itu seperti tidak asing. Namun Marta tak berani menyimpulkan terlalu cepat. "Terimakasih, tuan. Telah membantu saya," Ucapnya pada sosok pria yang masih menyembunyikan wajah. Marta bisa melihat sosok itu, dari ujung kaki hingga ujung kepala yang mengenakan topi bambu. Pria itu, perlahan membalikkan badan. Marta tercengang. Tak
"Memang, apa kau tidak ingin terbuka dengan orang lain? Jangan hanya menutup diri seperti kemarin." Gading tak segera menjawab, pria itu malah menatapnya lekat-lekat, dengan pandangan yang tak bisa dimengerti."Kalau aku membuka hati, apa kau mau menerimanya?" Marta tercengang, baru menyadari bahwa pertanyaan tadi telah menjebak dirinya sendiri.Tak tau harus menjawab apa, kini Marta hanya menahan nafas dengan mengalihkan pandangannya. "Jadi bagaimana, Marta?" Tanya gading lagi, sebab belum mendapatkan jawaban. Sementara sang gadis seperti tak paham bahwa yang diajak bicara sangat mengharapkan jawaban."Aku, aku tidak paham dengan arah pembicaraanmu, Gading. Sebenarnya bagaimana?" Untuk lebih jelasnya, ia memang membutuhkan itu."Apa kau tidak paham juga, Marta? Saat ini aku sangat membutuhkan seorang teman yang bisa membuat hatiku kembali hidup seperti dulu." Marta belum berani menyahut, sebab dari sinipun sebenarnya ia telah mengerti."Tolong berikan hatimu padaku, Marta." Tiba-tiba
Keduanya berhenti akibat berpapasan dengan pohon besar, dengan posisi Marta berada di bawah badan Gading yang sama-sama membelalak kaget.Satu detik, dua detik. Marta bisa merasakan detak jantung Gading yang memacu cepat. Secepat pria itu membawanya berlari tadi. Setelah beberapa saat lamanya saling menatap, dan mengagumi dalam hati, Gading tersadar."Maaf." Pria itu spontan berdiri, tanpa menghiraukan Marta yang kepayahan menegakkan badan akibat tertindih olehnya.Dan sesaat setelah ia berhasil berdiri di depan Gading, Marta membelalak. Tak jauh di belakang pria itu, kucing besar tadi menyusul. Ia langsung menghunus anak panah di punggung gading, dan melemparkan tanpa perhitungan.Namun, ketika Gading menoleh, hewan itu telah menggelepar kesakitan. Tak lama, nafas terakhirnya pun menghembus panjang, kemudian badannya tak bergerak lagi."Dia ... Kau, membunuhnya?" Gading bergumam, wajahnya setengah tak percaya."Dia sangat berbahaya. Jadi biarkan saja mati," Jawab Marta berlalu dari h
Hanya Marta sesekali melirik, memperhatikan tangan kekar itu. Yang ternyata begitu telaten membersihkan kelinci, hingga memotong-motongnya menjadi beberapa bagian kecil yang siap dimasak. "Ambilkan panci itu." Suara gading terdengar, dan Marta sengaja acuh. Tetap fokus dengan sayuran di kedua tangannya. Dalam hati ingin melihat, bagaimana reaksi pria itu jika diperlakukan demikian. "Kau dengar, tidak?""Aku?" Marta malah bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Sementara yang tadi bertanya itu, kini berdecak kesal. "Mau menantang, kau rupanya?" Entah apa yang akan dilakukan, tangan Gading mendekati kepala Marta, dan tanpa ia sadari tiba-tiba lengannya terhempas kasar. Pria itu mendongak kaget, tak menyangka Marta gadis ini memiliki kecepatan luar biasa. Bahkan di saat ia belum sempat mengedipkan mata. Penasaran, gading kembali menggerakkan tangan, dan tangkisan Marta lebih tegas dari sebelumnya. Ia kini membelalak, apalagi melihat gadis cantik itu berdiri. Menatapnya dengan senyu
"Siapa suruh tidak makan," Celetuk Gading benar-benar membuat hati sakit. Andai saja kondisinya sehat, akan ia semprot dengan kalimat serupa. Dasar! Marta kini hanya bisa mengumpat dalam hati.Hanya ada sisa nasi beberapa butir, karena perut yang tak bisa lagi diajak bersabar, ia jumput nasi itu, dan makan. Aktifitas itu, sebenarnya tak luput dari pandangan aneh gading yang tak bisa dideskripsikan.Pria itu, sebenarnya sempat tertegun melihat sosok di depannya. Namun, tak ingin terlalu lama, Gading membuang wajah ke arah pintu.Sementara di sana, Marta tak menyadari. Setelah minum air dingin beberapa teguk, ia akan kembali ke kamar. Dengan langkah gontainya tadi, ia kadang jadi kehilangan keseimbangan, yang menyebabkan badannya oleng. Hampir ambruk, tetapi untung ia segera bisa membenahi posisi.Akan semakin kesal pria itu, jika ia harus merepotkan. Marta kembali ke kamar dan merebah lelah.Di luar kamar itu, gading mungkin penasaran tentang apa yang terjadi pada tamu perempuannya. Ia
Marta kesal, ia lemparkan daging tadi ke sebelah Gading yang kemudian mendongak kaget. "Dasar, manusia batu!" Umpat Marta berlari ke kamarnya. Sementara pria yang dikatakan manusia batu itu hanya melirik ke arah pintu yang masih bergerak akibat ditutup keras. Setelahnya, gading mengalihkan sorot mata pada beberapa tusuk daging, yang mungkin memang sengaja diperuntukkan baginya. Ia ambil tusukan mirip sate itu, menghirupnya sekilas dan menarik satu potong paling ujung menggunakan giginya. Gading menikmati, ia bergumam dalam hati, ternyata, gadis yang baginya cerewet itu pintar memasak. Gading membaringkan badan setelah menghabiskan semua sate tadi, dan membiarkan tusuknya tetap berserakan di samping badan. Bahkan hingga pagi, hingga Marta terbangun oleh hawa dingin tak biasa. Gadis itu mendekati tungku dan menyalakannya, di saat semua orang di rumah ini belum terdengar bangun. Marta memilih menghangatkan badannya di depan tungku. "Wah, wah. Kau rupanya sudah bangun, ya?" Suara Ibu
"Makanan masih ada, Gading.""Pasti perempuan tak diundang ini, yang telah menghabiskannya!" Mendengar suara sengit, Marta mendongak kesal."Maaf, tuan gading. Makanan masih ada. Jika anda belum kenyang dengan nasi ini, nanti akan saya buatkan untuk Anda," Marta menyahut. Gading tak menjawab, hanya mendengus kesal sambil menarik kasar bakul nasi yang berada di depan Marta.Dalam bakul itu, memang hanya tinggal seporsi nasi, dan pas untuk satu orang saja. Mungkin, bagi Gading yang baru saja pulang dari berburu, porsi itu masih kurang.Orang tua gading tak ikut bersuara, sebab mereka sibuk menyiapkan entah. Hanya saja si ibu kemudian duduk di dekat anaknya, dan bertanya. "Gading. Nanti, kau tidur di sini, ya. Biar Marta yang tidur di kamarmu.""Apa? Enak saja. Sudah numpang, masih mengganggu kamarku? Tidak, bu. Aku tidak mau!" Gading menjawab sengit. Nampaknya, pemuda itu memang angkuh dan egois. Terlihat sekali bahwa sosok itu susah diajak bekerjasama."Bu, tidak apa-apa. Biar saya yan
Bagas berhenti, menyandarkan punggung di tembok sambil memegangi keningnya. "Tuan bagas. Anda baik-baik saja?" Suara Bibi mendekat. Ia mengangguk lemah, ini pasti akibar dari perutnya yang kosong sejak pagi."Tidak apa-apa, Bibi. Aku hanya lapar," Jawabnya."Ya ampun, tuan. Kenapa tidak makan dulu, mari saya antar ke tempat makan." Bagas menurut, mengikuti langkah wanita itu di belakangnya.Hingga tiba di tempat biasa bagas makan bersama baginda, Mahesa dan semua penduduk istana. Kini, Bagas duduk di depan meja yang di atasnya terdapat banyak sekali menu makanan lezat.Ia membiarkan beberapa pelayan mengisi piring dan gelasnya, lalu memintanya makan seperti biasa. Namun, ada yang tak biasa sore ini. Bagas enggan makan, meski rasa perut keroncongan sejak tadi.Suasana sunyi, terasa lebih mencekam, apalagi di hatinya kehilangan dua orang sekaligus. Bukan segera makan, ia hanya memainkan nasi dengan jemarinya.Marta, nama itu masih berputar cepat dalam ingatan. Meski rasa benci, memaksan
Kini, ia kembali ke istana. Dan menghembus berat saat melihat semua orang istana berkumpul di tempat yang sama. Hatinya menyimpulkan sesuatu yang buruk tentang Baginda. Ia berlari mendekati Mahesa yang berada di pinggir, pria yang tersedu-sedu, dengan sesekali menyeka air mata. "Pangeran?" Teriaknya, menyentuh bahu sang Kakak yang kemudian menatap tajam. "Kemana saja kau?" Tanya Mahesa kesal, "lihatlah, Wyah kita telah tiada."Tak menjawab, Bagas menoleh ke arah yang ditunjukkan Mahesa. Nafasnya kemudian memberat. "Siapa yang telah melakukan semua ini, Bagas?" Pertanyaan yang tak mungkin ia jawab. Bagas malah menjauhi, berjalan mendekati jenazah Baginda yang telah selesai dimandikan. "Hey!" Mahesa menyusul, menyentuh kasar pundak Bagas yang mengabaikan pertanyaaia nnya. Ia menoleh, menatap lembut wajah Lakak yang penuh duka. "Kakak, untuk saat ini, kita urus dulu jenazah Ayah, ya. Baru setelah itu, kita bahas kejadiannya. Menurut, Mahesa mengangguk lemah. Menyusul Bagas berjalan m