Semua Bab Srikandi Antara Dendam Dan Cinta: Bab 61 - Bab 70

107 Bab

Malam Sunyi

Malam ini belum mencapai puncak, tetapi suasananya lebih sunyi. Tak seperti biasanya. Di luar, hanya ada puluhan pasukan berjaga-jaga tanpa bicara pada yang lain. Masing-masing dari mereka seperti sedang menyiapkan mental untuk berperang, yang entah lusa, esok hari. Atau bahkan malam ini jugaWajah tegang nan khawatir nampak jelas pada mereka. Tiap kali mendengar suara tak biasa, semuanya akan bersiap di tempat penjagaan masing-masing.Dari arah kamar, Marta dapat melihatnya dengan jelas. Sisi egoisnya merasa senang dengan kondisi mencekam ini, tetapi sebagai pendekar yang juga dibekali ilmu kemanusiaan, hatinya trenyuh.Pergolakan batin membuatnya enggan untuk menanggapi apapun. Merespon apapun yang terjadi di tempat ini. Ia hanya ingin menjadi penonton, ingin melihat bagaimana perkembangannya nanti. Siapa yang akan tumbang dan tetap berdiri tegak.Cukup lama ia termenung di dalam kamar, Marta tersentak saat ada seseorang mengetuk pintu. "Siapa?" Tanyanya menatap awas."Buka pintunya
Baca selengkapnya

Panah Beracun

"Katanya Baginda telah menyerahkan peperangan ini padamu. Jadi, kau harus memberikan kemenangan untuk Baginda. Benar, tidak?" Bagas tak sempat menjawab, mereka kemudian memandang ke arah yang sama. Ke arah suara riuh para penjaga di belakang istana. "Ayo kita lihat." Bagas serta merta menarik lengan Marta, mengajaknya menuju ke arah sana. Sang gadis pun tak sempat menolak, mau tak mau, ia harus mengikuti kemana langkah pemuda itu. Mereka menuju tempat prajurit berkerumun memamerkan kepanikan entah kenapa. Dan hal itu tentu saja membuat Bagas makin mempercepat langkah, yang didorong oleh rasa penasaran. "Ada apa ini?" Tanyanya menyibak belasan prajurit, lalu tanpa mereka jawab, ia telah melihat seorang penjaga menggelepar. Darah segar menyembur di dada yang tertancap kuat ujung panah, hingga hampir setengahnya. Bagas tercengang, Marta lebih dari itu. Melihat darah segar, memorinya kembali mengingatkan akan kematian Ibu dan Bapak yang dibunuh secara tak manusiawi. Dalam hati, ia mem
Baca selengkapnya

Pemberangkatan

"Baginda, pakaian Anda sudah siap," Ucap Marta membuyarkan lamunan sang Raja. Baginda menoleh dengan tatapan sayu. "Selagi aku makan, kau di sini saja. Menyiapkan baju perangku," Titah Baginda kemudian menatap serius. Sepeninggal Raja itu dari kamarnya, Marta tetap berada di sini, sesuai perintah dari Baginda. Setumpuk pakaian berlapis baja berada dalam pangkuan. Gadis itu mengamatinya, dengan sesekali mengusap permukaan baja.Terus terang, baru kali ini ia melihat baju perang seorang Raja. Dalam benaknya, mendadak terdengar desingan pedang beradu, dilumuri darah segar. Membuat hati siapapun berdesir. Dalam benaknya juga bertanya, akankah pedang tajam mampu menembus lapisan baja ini. Tanpa disadari, telah cukup lama ia termenung sendiri di kamar ini. Hingga Baginda kembali datang dan berdiri di depannya. Marta mendongak kaget. "Bantu aku memasangkan baju ini," Pinta Baginda. Marta mengangguk gemetar, segera melakukan apa yang diinginkan sang Raja. Tangannya pun bergetar entah ken
Baca selengkapnya

Menjaga Istana

"Memang tidak, Bi. Tapi ini demi kemanusiaan, mereka sedang membutuhkan bantuan kita, kan?"Tak ada jawaban, Marta kembali mengayunkan langkah, dan tak ada lagi panggilan dari Bibi Ratih. Langkahnya terayun tegas menuju pondok prajurit yang sialnya harus melewati kamar Pangeran Mahesa. Tiba di depan kamar putra mahkota itu, Marta harus berpura-pura tuli, sebab terdengar suara desahan saling bersahut antara lelaki dan perempuan. Suara itu makin kencang saja, hingga membuat Marta menutup kedua telinganya. Tak dipungkiri, sebagai wanita normal, badannya meremang dihadapkan dengan suara sensitif seperti itu. Apalagi ia adalah gadis yang belum pernah melakukannya. Dalam hati ia mengumpat kesal, bisa-bisanya putra mahkota melajur nafsu di siang hari seperti ini. Sementara yang lain sedang berjuang di medan peperangan. Pangeran macam apa itu? Gumamnya dalam hati. Bahkan tak peduli ada beberapa pasukan yang masih meregang nyawa di pondokan. Sudah beberapa langkah lebih jauh dari kamar sang
Baca selengkapnya

Bagas Terluka

Saling menyerang dan menendang. Dari sini, Marta nyaris tak bisa mengetahui, mana kawan dan mana lawan. Ia mengernyit, melihat Panglima kewalahan menghadapi empat orang. Dua diantaranya adalah, Bara dan Dirga. Beberapa kali bisa mengimbangi serangan musuh, kemudian Panglima ambruk karena tendangan keras dari Bara. Marta tercengang, di antara orang istana, baru satu itu yang nampak di pandangan. Yang lain entah berada di mana. Ia tak bisa berdiam diri saat melihat bara tengah menarik anak panah dalam busurnya, dari jarak beberapa meter. Marta melenting, nekat menendang tangan bara dari arah samping. Hingga tangan yang sedang melakukan ancang-ancang itu, panahnya terlepas ke sembarang arah, busurnya jatuh. Pemiliknya mengumpat, kemudian kaget saat Marta menjejakkan kaki di depannya. "Kau rupanya?" Gumam Bara tersenyum menyeringai. Sementara Marta dengan cepat di tarik seseorang untuk menjauh. Rupanya Panglima. "Marta, apa yang kau lakukan di sini? Kau harus tetap di istana, bukan
Baca selengkapnya

Bermalam Di Hutan

Bagas kembali menarik lengan Marta, untuk berlari lebih cepat. Namun sayang. Keduanya tiba di jalan buntu, posisinya saat ini sedang berada di atas tebing tinggi, yang tak mungkin meluncur ke bawah sana tanpa alat apapun.Akan kembali, tetapi Bara, Dirga dan lainnya telah sampai. Senyum mereka semua mengembang, melihat lawannya tak bisa pergi kemanapun.Mereka semakin bergerak maju, Bagas siaga dengan memegang jemari Marta dari samping. Mengajaknya mundur, tetapi selangkah lagi, keduanya bisa terjatuh. Bagas melirik ke arah belakang yang membuat pandangan berayun, ia menggeleng samar. Menyadari dirinya tak bisa kemana-mana lagi."Kalian tidak bisa mengelak. Menyerahlah, dan ikut kami kembali." Bara bersuara tegas, membuat Bagas dan Marta saling menatap panik."Lebih baik mati, daripada menyerah pada kalian!" Jawaban Bagas tentu saja membuat bara dan yang lain terkekeh geli. Mengetahui di belakang mereka berdua ada jurang, Bara tertawa puas."Silahkan saja jika kalian memilih mati," Ka
Baca selengkapnya

Panji

"Ini punyaku!" Marta terhenyak, sebab ada tangan lain yang dengan santainya mengambil ikan-ikan itu. "Hey! Itu ikanku!" Teriak Marta tak terima. Sebab dari tadi ia berusaha menangkap ikan, meskipun pada akhirnya ia menggunakan cara cepat dengan mengerahkan kekuatan. Sementara sosok yang ternyata seorang pria itu masih dengan santainya, memunguti beberapa ikan yang tergeletak di tanah. Seperti tak peduli ada orang lain di dekatnya. "Hey, itu ikanku! Aku yang menangkap semua ikan-ikan itu. Enak saja kau yang mengambilnya!" Marta menggerutu, mendekati dan bermaksud hendak merebut ikan itu dari tangan pria asing. Namun, dengan cepat pria tadi menjauhkan ikan di tangannya. "Enak saja. Ini ikanku, aku yang setiap hari memberinya makan." Marta mendongak saat mendengar kalimat tadi. Menatap kaget pada sosok yang ternyata pria rupawan, dengan rambut bergelombang menjuntai hingga ke pundak. Sebagian dibiarkan berada di luar ikat kepala, menutup kening dan mata tegas. "Kau yang memelihara i
Baca selengkapnya

Syarat Berat

"Apa dia putra Raja Danar?" Tanya Panji, dengan raut wajah berubah bengis, entah kenapa. "Iya." Marta menjawab dengan wajah mulai panik. Apalagi melihat Panji tiba-tiba menggebrak pinggir dipan tempat bagas terbaring. "Biarkan saja dia mati!""Apa?" Marta menyentak tak habis pikir, "kau ini, tega sekali dengan sesamamu, seperti tidak pernah membutuhkan orang lain saja!" "Jika aku tidak tega padanya, apakah dia juga akan tidak tega padaku?""Apa maksudmu?" Marta bergumam makin tak mengerti, apalagi yang ditanya hanya mendengus penuh amarah. "Dia .... " Panji menunjuk ke arah bagas. "Dan orang-orang istana yang tak punya hati itu, telah membuatku terpuruk seorang diri di tempat ini!" Suara Panji menggelegar memenuhi gubuk kecil ini. Bahkan mungkin memenuhi sudut hutan, membelah malam yang sunyi ini. Sementara Marta tercengang, tak percaya akan sebanyak ini orang-orang yang memendam benci pada Raja Danar dan seluruh orang istana. Ia baru paham, ternyata hal itu yang membuat panji en
Baca selengkapnya

Perjanjian

Ia tak sadar, ada panji yang mengintip dan mengamatinya sejak tadi. Pria itu tertegun, tersenyum tipis sambil menyeka sesuatu dari pipinya. Melihat bagaimana Marta dengan telaten, mengalirkan air sedikit demi sedikit. Dari dalam gelas, melalui bibir Bagas yang kaku. Gadis itu, bahkan mengelap lembut air yang meluber melewati sudut bibir sang pangeran. Cukup sudah. Panji tak kuasa menatap romantisme itu, ia membuang wajah dengan mata mengerjap. Tak kuasa lagi menampung linangan air yang semakin banyak. Setelah mengeluarkan desahan tanpa didengar siapapun, panji menutup pintu bilik. Pria itu kemudian duduk bersandar pada daun pintu kayu, matanya menerawang jauh. "Mereka pasangan yang sempurna. Apa aku salah, jika merusak cinta mereka?" Lirih Panji pada dirinya sendiri. Ia tahu, ini adalah sikap yang salah. Merebut yang bukan haknya adalah kejahatan. Namun, mengingat berapa terpuruk hidupnya selama belasan tahun ini, ia harus mengedepankan ego. Pagi datang, menyibak kelam malam. Ma
Baca selengkapnya

Bertemu Kakek

Semua penjuru ia sapu menggunakan sorot mata. Berharap menemukan sesuatu yang ia cari sejak kemarin."Kenapa kalian di sini?" Suara pria, membuat Marta tersenyum sebelum benar-benar melihat siapa pemiliknya.Saat menoleh, rupanya benar yang ia duga. Kakek benar-benar ada di sini, Marta sontak berlari ke arah pria tua. Memeluknya erat."Aku rindu sekali dengan kakek," Lirih Marta, persis seperti saat ia masih kecil. Senang bermanja dengan satu-satunya orang yang menyayangi sejak kecil."Maafkan Kakek, selama ini tidak bisa mengabari kalian, tentang tempat tinggal Kakek yang baru.""Oh, iya. Apa yang terjadi dengan Bagas?" Tanya Kakek saat sorot matanya tertuju pada murid kesayangan. Kening berkerutnya semakin berkerut saat yang dilihat tak bergerak seperti biasanya. "Kenapa dia?" Tanya Kakek lagi."Kek, dia terkena panah beracun," Jawab Marta, memegang lengan Kakek. Menuntunnya mendekati sang Pangeran yang tergeletak di atas rerumputan.Kakek tercengang, mengamati sekujur tubuh tak ber
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
11
DMCA.com Protection Status