"Ini punyaku!" Marta terhenyak, sebab ada tangan lain yang dengan santainya mengambil ikan-ikan itu. "Hey! Itu ikanku!" Teriak Marta tak terima. Sebab dari tadi ia berusaha menangkap ikan, meskipun pada akhirnya ia menggunakan cara cepat dengan mengerahkan kekuatan. Sementara sosok yang ternyata seorang pria itu masih dengan santainya, memunguti beberapa ikan yang tergeletak di tanah. Seperti tak peduli ada orang lain di dekatnya. "Hey, itu ikanku! Aku yang menangkap semua ikan-ikan itu. Enak saja kau yang mengambilnya!" Marta menggerutu, mendekati dan bermaksud hendak merebut ikan itu dari tangan pria asing. Namun, dengan cepat pria tadi menjauhkan ikan di tangannya. "Enak saja. Ini ikanku, aku yang setiap hari memberinya makan." Marta mendongak saat mendengar kalimat tadi. Menatap kaget pada sosok yang ternyata pria rupawan, dengan rambut bergelombang menjuntai hingga ke pundak. Sebagian dibiarkan berada di luar ikat kepala, menutup kening dan mata tegas. "Kau yang memelihara i
"Apa dia putra Raja Danar?" Tanya Panji, dengan raut wajah berubah bengis, entah kenapa. "Iya." Marta menjawab dengan wajah mulai panik. Apalagi melihat Panji tiba-tiba menggebrak pinggir dipan tempat bagas terbaring. "Biarkan saja dia mati!""Apa?" Marta menyentak tak habis pikir, "kau ini, tega sekali dengan sesamamu, seperti tidak pernah membutuhkan orang lain saja!" "Jika aku tidak tega padanya, apakah dia juga akan tidak tega padaku?""Apa maksudmu?" Marta bergumam makin tak mengerti, apalagi yang ditanya hanya mendengus penuh amarah. "Dia .... " Panji menunjuk ke arah bagas. "Dan orang-orang istana yang tak punya hati itu, telah membuatku terpuruk seorang diri di tempat ini!" Suara Panji menggelegar memenuhi gubuk kecil ini. Bahkan mungkin memenuhi sudut hutan, membelah malam yang sunyi ini. Sementara Marta tercengang, tak percaya akan sebanyak ini orang-orang yang memendam benci pada Raja Danar dan seluruh orang istana. Ia baru paham, ternyata hal itu yang membuat panji en
Ia tak sadar, ada panji yang mengintip dan mengamatinya sejak tadi. Pria itu tertegun, tersenyum tipis sambil menyeka sesuatu dari pipinya. Melihat bagaimana Marta dengan telaten, mengalirkan air sedikit demi sedikit. Dari dalam gelas, melalui bibir Bagas yang kaku. Gadis itu, bahkan mengelap lembut air yang meluber melewati sudut bibir sang pangeran. Cukup sudah. Panji tak kuasa menatap romantisme itu, ia membuang wajah dengan mata mengerjap. Tak kuasa lagi menampung linangan air yang semakin banyak. Setelah mengeluarkan desahan tanpa didengar siapapun, panji menutup pintu bilik. Pria itu kemudian duduk bersandar pada daun pintu kayu, matanya menerawang jauh. "Mereka pasangan yang sempurna. Apa aku salah, jika merusak cinta mereka?" Lirih Panji pada dirinya sendiri. Ia tahu, ini adalah sikap yang salah. Merebut yang bukan haknya adalah kejahatan. Namun, mengingat berapa terpuruk hidupnya selama belasan tahun ini, ia harus mengedepankan ego. Pagi datang, menyibak kelam malam. Ma
Semua penjuru ia sapu menggunakan sorot mata. Berharap menemukan sesuatu yang ia cari sejak kemarin."Kenapa kalian di sini?" Suara pria, membuat Marta tersenyum sebelum benar-benar melihat siapa pemiliknya.Saat menoleh, rupanya benar yang ia duga. Kakek benar-benar ada di sini, Marta sontak berlari ke arah pria tua. Memeluknya erat."Aku rindu sekali dengan kakek," Lirih Marta, persis seperti saat ia masih kecil. Senang bermanja dengan satu-satunya orang yang menyayangi sejak kecil."Maafkan Kakek, selama ini tidak bisa mengabari kalian, tentang tempat tinggal Kakek yang baru.""Oh, iya. Apa yang terjadi dengan Bagas?" Tanya Kakek saat sorot matanya tertuju pada murid kesayangan. Kening berkerutnya semakin berkerut saat yang dilihat tak bergerak seperti biasanya. "Kenapa dia?" Tanya Kakek lagi."Kek, dia terkena panah beracun," Jawab Marta, memegang lengan Kakek. Menuntunnya mendekati sang Pangeran yang tergeletak di atas rerumputan.Kakek tercengang, mengamati sekujur tubuh tak ber
"Bagas, kita sekarang sudah ada di tempat kakek. Kau juga sudah mendapatkan ramuan, kau akan segera sembuh."Marta membisik dengan suara berat. Selanjutnya tak bisa berkata lagi, air mata pun tak tertahan. Ia terisak-isak. Satu sisi menginginkan pria terkasih segera sembuh, dan di sisi lain, ia tak ingin pergi meninggalkannya, jika bagas sembuh nanti. Ia tersentak, sebab ada benda kecil mengenai jendela kayu di sebelahnya. Suaranya, seperti benda itu memang sengaja dilemparkan ke sana. Marta melepaskan genggaman tangannya dari jemari Bagas, melangkah awas mendekati jendela.Tok tok tok! Kembali, terdengar jendela diketuk perlahan. Marta terhenyak. "Buka jendelanya, ini aku," Perintah seseorang dari luar. Marta memicing, seperti suara Panji. Tapi, mana mungkin pria itu mengetahui ia sekarang ada di tempat ini? Gumamnya dalam hati. Namun, perlahan tangannya benar-benar membuka. Di luar sana, wajah panji memang terlihat. Benar, ia Panji. Pria itu sedang tersenyum lebar menatapnya, Ma
Sejak pagi tadi, Marta menunggu cemas di samping sang Pangeran.Meskipun, akan ia tinggalkan pria itu, harapnya masih sama. Ingin agar Bagas segera sadar, sebab daripada sebelumnya, wajah pria itu kini tak lagi pucat. Nyaris terasa bosan, tetapi saat Marta akan beranjak dari pinggiran dipan, tanpa sengaja melirik beberapa jemari Bagas bergerak samar. Spontan badannya kembali, menatap wajah sang pria yang telah menggerakkan sepasang matanya. Marta terhenyak, bukan senang, tetapi ia bingung bagaimana akan segera pergi dari rumah ini. Jika pergi lewat pintu depan, bisa saja Kakek tau. Ia kemudian berinisiatif untuk melompat dari jendela. Berhasil, dan ia melompat tinggi ke udara. Menghindari Kakek yang ternyata sedang beraktivitas di samping rumah kecilnya. Meski sebenarnya, ingin sekali ia melihat bagas tersadar, tetapi apa daya. Ia telah terlanjur membuat janji dengan seseorang. Saat ini, ia menjejakkan kaki di tengah hutan yang dikelilingi pohon lebat. Tatapannya menyapu ke segal
"Maju. Lawan aku!" Marta justru menantang. panji benar-benar maju, menyerang sang gadis yang kemudian dengan mudahnya menghindar. Mengetahui hal itu, sebenarnya panji kaget, karena baru kali ini melihat kelihaian Marta dalam menghindari serangan lawan. Namun karena amarahnya kian tak terkendali, pria itu kembali melakukan penyerangan. Kali ini ditembakkannya tendangan dengan lebih keras dari sebelumnya. Tendangan pertama, Marta memang masih bisa menghindar, tetapi panji tak ingin kalah. Pria itu semakin membabi buta, memberikan tendangan beruntun, hingga hentakan terakhir pun mengenai sasaran. Marta terjengkang dengan tangan mencengkeram dada. Akibat tendangan yang tak sebanding dengan kekuatannya sebagai seorang perempuan itu, mungkin telah membuat Marta benar-benar kesakitan. Rasa sesak dan perih pada permukaan kulit, membuat gadis itu meringis menahan sakit. Ia mungkin tidak tau, di depan sana, Panji tersenyum membanggakan diri. "Kau itu perempuan. Tidak akan bisa melawanku!"
"Kek, Marta di mana?" Kakek kaget mendengar pertanyaan Bagas barusan. "Marta, dia belum pulang?""Belum, Kek. Karena itu, saya ingin melihatnya di luar rumah. Siapa tau dia sedang berada di sekitar sini." Kakek tak menjawab, pria tua itu membalikkan badannya, menatap sekeliling. Sepi, tak ada siapapun."Kemana anak itu?" Gumam Kakek, kembali melangkah keluar pintu. Tak jauh, hanya beberapa langkah saja, sebab fokusnya kembali pada Bagas yang masih berdiri memegangi dada."Sudah, ayo kembali saja. Kita tunggu sampai menjelang petang nanti.""Bagaimana kalau dia tetap tidak pulang, Kek?""Tidak mungkin. Dia pasti pulang. Sudah, ayo." Kakek menuntun Bagas kembali ke kamarnya, membantu pemuda itu berbaring di atas dipan seperti tadi."Bagas. Tugasmu saat ini adalah, berkonsentrasi penuh untuk kesembuhanmu sendiri. Kau mengerti?" Tatapan tegas dari Kakek, membuat Bagas tertunduk patuh. Ia mengangguk, tanpa berani melakukan penolakan. Sebab baginya, titah sang guru adalah segalanya. Yang te