"Kek, Marta di mana?" Kakek kaget mendengar pertanyaan Bagas barusan. "Marta, dia belum pulang?""Belum, Kek. Karena itu, saya ingin melihatnya di luar rumah. Siapa tau dia sedang berada di sekitar sini." Kakek tak menjawab, pria tua itu membalikkan badannya, menatap sekeliling. Sepi, tak ada siapapun."Kemana anak itu?" Gumam Kakek, kembali melangkah keluar pintu. Tak jauh, hanya beberapa langkah saja, sebab fokusnya kembali pada Bagas yang masih berdiri memegangi dada."Sudah, ayo kembali saja. Kita tunggu sampai menjelang petang nanti.""Bagaimana kalau dia tetap tidak pulang, Kek?""Tidak mungkin. Dia pasti pulang. Sudah, ayo." Kakek menuntun Bagas kembali ke kamarnya, membantu pemuda itu berbaring di atas dipan seperti tadi."Bagas. Tugasmu saat ini adalah, berkonsentrasi penuh untuk kesembuhanmu sendiri. Kau mengerti?" Tatapan tegas dari Kakek, membuat Bagas tertunduk patuh. Ia mengangguk, tanpa berani melakukan penolakan. Sebab baginya, titah sang guru adalah segalanya. Yang te
Namun, ia tercengang saat melihat di depan itu. Marta masih mengenakan pakaian sebatas dada. Wajah cantiknya terlihat oleh pantulan cahaya rembulan. Gadis itu mengibaskan rambut panjang yang basah. Panji menelan saliva.Ia kemudian terkesiap, Marta menoleh ke arahnya. Mungkin baru menyadari ada yang datang. Gadis itu menyambar pakaian yang tersampir di atas dinding sebatas dada orang dewasa. Digunakan untuk menutupi kedua pundak yang masih terbuka."Mau apa kau di sini? Dasar pria jahat!" Teriak Marta saking paniknya. Bahkan dengan spontan, tangan sebelahnya mengambil air dan melemparkan ke wajah Panji."Apa-apaan ini?""Kau yang apa-apaan!" Marta membentak, berjalan cepat melewati Panji. Masuk rumah dengan langkah terhentak-hentak, meninggalkan Panji yang masih bengong seperti orang bodoh.Pria itu kemudian menggeleng, senyum samarnya menandakan pikiran masih merekam pemandangan indah yang ia lihat beberapa saat sebelumnya. Ia bahkan membiarkan pakaian bagian atas basah kuyup akibat
"Apakah aku benar-benar manusia yang tak layak lagi mendapatkan cinta dan kasih sayang? Kenapa semua orang yang kucintai pergi?" Panji meratap. Marta kini tak bisa bergerak, bibirnya bergetar halus. Tak percaya akan suara yang keluar dari mulut Panji itu. Masih dengan tersedu-sedu, pria yang duduk di bawah memukuli tanah. "Dulu, seluruh keluargaku mati karena pembantaian tak manusiawi itu. Kini, beberapa kali aku harus mengalami kegagalan cinta. Apa kau benar-benar sedang menghukumku, Tuhan .... " "Panji," Lirih Marta, tak tega juga ia melihat sosok histeris di depan mata. Ia sentuh, pundak yang sedang bersujud di atas tanah, tetapi seperti yang ia lakukan sebelumya. Pria itu menepis kasar tangan Marta. "Kau juga!" Pria itu bangkit, menuding sang gadis yang kemudian termangu keheranan. "Padahal aku sudah sangat mengharapkanmu, mencintaimu lebih dari cintaku pada diriku sendiri. Tapi apa balasan yang kudapat? Kau malah menolakku mentah-mentah! Kau sama saja dengan perempuan-peremp
Marta meringis, kembali bangkit dan hendak kembali mencoba. Namun, niatnya terhenti, karena panji tiba-tiba ada di samping. "Mau pergi lagi? Silahkan saja." Gadis itu terhenyak, ia menoleh sekilas lalu bermaksud melanjutkan niatnya. Namun lagi-lagi gagal, badannya terpental ke belakang seperti tadi. Dan di saat itulah, Marta baru menyadari, ada yang tidak beres. Ia kembali menoleh Panji yang tersenyum miring dengan kedua tangan bersilang dada. Untuk menutup malu, dengan bodohnya ia kembali bangkit dan melangkah. Badan sakitnya itu, harus terulang lagi. Marta meringkuk di atas rerumputan, memaki dalam hati, betapa bodoh dirinya saat ini. "Kenapa malah di situ? Katanya akan kabur lagi?" Panji bertanya dengan nada mengejek. Marta pun mengeraskan rahangnya, bangkit mendekati pemuda itu. "Apa yang kau lakukan dengan rumahmu?"Desis Marta, kehabisan cara untuk mengekspresikan amarahnya. " Ini rumahku sendiri. Jadi, aku bebas berbuat apapun dengan rumahku," Panji mengarahkan ujung telun
"Maaf, bisa membuat jarak, tidak?" Tanya Marta kemudian, dan mungkin Panji kaget, spontan menarik tali kuda hingga berhenti mendadak. Alhasil, badan Marta bukannya mencipta jarak, malah menempel sempurna di dada dan perut Panji. "Kau ini!" Pekik Marta serentak menarik diri. "Kau ini bagaimana, sih?""Bagaimana apa maksudmu?" Marta menjawab dengan pertanyaan, wajahnya kian jengkel. Sementara Panji tak menanggapi, malah menarik badan gadis itu, membawanya turun dari punggung kuda. Mendorong Marta duduk di bangku kayu pinggir taman, yang lebih sepi dari tempat lainnya. "Marta, tolonglah. Apalagi yang kau risaukan? Kita ini sudah sah sebagai pasangan suami istri." Panji menegaskan, kedua tangannya menggenggam erat jemari Marta, yang kini tak lagi berontak seperti biasa. Namun, wajah gadis itu masih enggan melihat sosok pria yang katanya kini telah menjadi suaminya. Ia justru memalingkan wajah, memandangi Ibu-ibu yang sedang menemani anaknya bermain di ujung sana. Indah, memang. Kini,
Entah apa yang akan terjadi, tetapi di saat yang sama, di tempat lain. Bagas terhenyak, piring yang sedang di tangan tiba-tiba terjatuh. Nasi yang belum ia makan itu tumpah ke lantai tanah. Kakek terperanjat. "Apa yang terjadi, Bagas?""Entahlah, kek. Tapi aku sedang memikirkan Marta. Apa yang terjadi dengannya?""Marta?" Gumam Kakek beranjak dari tempat duduk di depan tungku yang masih menyala. Pria tua itu, sejak dulu, setiap kali berada di rumah, tungkunya tak pernah berhenti menyala. Baginya, makan di depan tungku menyala menimbulkan kenikmatan tersendiri. "Menurutmu, apa yang terjadi padanya?" Kakek justru bertanya pada bagas, pemuda itu lantas menggeleng pasrah. "Aku tidak tau, Kek. Tapi, rasanya ia sedang dalam bahaya." Bagas yang tak jadi makan, beranjak begitu saja, dengan diikuti Kakek di belakangnya. "Aku harus mencarinya, kek." Ia bertekad, berdiri gagah di depan pintu terbuka lebar. Kakek menatap trenyuh, tau betul bagaimana rasanya kehilangan orang tercinta. "Bagas,"
"Aku mencintaimu, Marta. Aku menerimamu apa adanya. Karena aku akan berusaha memberikan cinta yang sempurna, semampuku." Tak kuasa menjawab, Marta tertegun mendengar kalimat menyentuh hati yang keluar dari bibir Panji barusan. Sementara pria itu seperti tak peduli, ia meletakkan kasur baru di atas dipan, yang memaksa Marta turun dari sana. "Sudah. Kau mandi saja dulu. Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu." Panji meminta. Masih seperti hari kemarin, pria itu begitu telaten melayani Marta. Sementara yang diminta, pergi begitu saja tanpa banyak bicara. Sejauh ini, Marta hanya ingin melihat. Sampai kapan Panji akan bersikap seperti itu, tanpa mendapatkan respon yang baik. Dari balik pintu kamar yang baru saja ia tutup, Marta tersenyum menyeringai. Benaknya sangat yakin, sikapnya itu, Lama-lama akan membuat Panji bosan dan meminta mengakhiri pernikahan yang tak menarik ini. Di belakang rumah, ia sengaja berlama-lama saat membersihkan badan. Rasa ingin kabur seperti kemarin telah tak
Ia berjalan perlahan mendekati dipan panji, mengamatinya sekilas. Lalu menggeleng khawatir. Marta mengalihkan diri dengan duduk di depan tungku, lalu menyalakan api agar ruangan lebih hangat. Duduk termenung beberapa saat, ia dikagetkan dengan suara Panji yang merintih seperti orang kesakitan. Ia menoleh, mendapati badan panji menegang. Racauan tak jelas muncul terdengar, ia mungkin bermimpi buruk. Mau tak mau Marta mendekati, duduk di pinggir dipan. Menatap wajah Panji dengan pandangan tak tega. "Jangan. Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku. Aku takut sendirian .... " Suara Panji terdengar berselang isakan lirih. Mendengar itu, Marta meremang entah kenapa. Kenapa begitu tragis suasana hati Panji, andai saja ia belum terlanjur mengikat hati dengan pria lain, mungkin akan direngkuh pria ini. "Panji, bangun." Ia meraba pundak sosok yang masih berbaring, dan terkesiap saat merasakan suhu badan tak biasa. Marta mengernyit. "Panji," Ucapnya lagi, sebab yang dipanggil belum menjawab, ma