Marta meringis, kembali bangkit dan hendak kembali mencoba. Namun, niatnya terhenti, karena panji tiba-tiba ada di samping. "Mau pergi lagi? Silahkan saja." Gadis itu terhenyak, ia menoleh sekilas lalu bermaksud melanjutkan niatnya. Namun lagi-lagi gagal, badannya terpental ke belakang seperti tadi. Dan di saat itulah, Marta baru menyadari, ada yang tidak beres. Ia kembali menoleh Panji yang tersenyum miring dengan kedua tangan bersilang dada. Untuk menutup malu, dengan bodohnya ia kembali bangkit dan melangkah. Badan sakitnya itu, harus terulang lagi. Marta meringkuk di atas rerumputan, memaki dalam hati, betapa bodoh dirinya saat ini. "Kenapa malah di situ? Katanya akan kabur lagi?" Panji bertanya dengan nada mengejek. Marta pun mengeraskan rahangnya, bangkit mendekati pemuda itu. "Apa yang kau lakukan dengan rumahmu?"Desis Marta, kehabisan cara untuk mengekspresikan amarahnya. " Ini rumahku sendiri. Jadi, aku bebas berbuat apapun dengan rumahku," Panji mengarahkan ujung telun
"Maaf, bisa membuat jarak, tidak?" Tanya Marta kemudian, dan mungkin Panji kaget, spontan menarik tali kuda hingga berhenti mendadak. Alhasil, badan Marta bukannya mencipta jarak, malah menempel sempurna di dada dan perut Panji. "Kau ini!" Pekik Marta serentak menarik diri. "Kau ini bagaimana, sih?""Bagaimana apa maksudmu?" Marta menjawab dengan pertanyaan, wajahnya kian jengkel. Sementara Panji tak menanggapi, malah menarik badan gadis itu, membawanya turun dari punggung kuda. Mendorong Marta duduk di bangku kayu pinggir taman, yang lebih sepi dari tempat lainnya. "Marta, tolonglah. Apalagi yang kau risaukan? Kita ini sudah sah sebagai pasangan suami istri." Panji menegaskan, kedua tangannya menggenggam erat jemari Marta, yang kini tak lagi berontak seperti biasa. Namun, wajah gadis itu masih enggan melihat sosok pria yang katanya kini telah menjadi suaminya. Ia justru memalingkan wajah, memandangi Ibu-ibu yang sedang menemani anaknya bermain di ujung sana. Indah, memang. Kini,
Entah apa yang akan terjadi, tetapi di saat yang sama, di tempat lain. Bagas terhenyak, piring yang sedang di tangan tiba-tiba terjatuh. Nasi yang belum ia makan itu tumpah ke lantai tanah. Kakek terperanjat. "Apa yang terjadi, Bagas?""Entahlah, kek. Tapi aku sedang memikirkan Marta. Apa yang terjadi dengannya?""Marta?" Gumam Kakek beranjak dari tempat duduk di depan tungku yang masih menyala. Pria tua itu, sejak dulu, setiap kali berada di rumah, tungkunya tak pernah berhenti menyala. Baginya, makan di depan tungku menyala menimbulkan kenikmatan tersendiri. "Menurutmu, apa yang terjadi padanya?" Kakek justru bertanya pada bagas, pemuda itu lantas menggeleng pasrah. "Aku tidak tau, Kek. Tapi, rasanya ia sedang dalam bahaya." Bagas yang tak jadi makan, beranjak begitu saja, dengan diikuti Kakek di belakangnya. "Aku harus mencarinya, kek." Ia bertekad, berdiri gagah di depan pintu terbuka lebar. Kakek menatap trenyuh, tau betul bagaimana rasanya kehilangan orang tercinta. "Bagas,"
"Aku mencintaimu, Marta. Aku menerimamu apa adanya. Karena aku akan berusaha memberikan cinta yang sempurna, semampuku." Tak kuasa menjawab, Marta tertegun mendengar kalimat menyentuh hati yang keluar dari bibir Panji barusan. Sementara pria itu seperti tak peduli, ia meletakkan kasur baru di atas dipan, yang memaksa Marta turun dari sana. "Sudah. Kau mandi saja dulu. Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu." Panji meminta. Masih seperti hari kemarin, pria itu begitu telaten melayani Marta. Sementara yang diminta, pergi begitu saja tanpa banyak bicara. Sejauh ini, Marta hanya ingin melihat. Sampai kapan Panji akan bersikap seperti itu, tanpa mendapatkan respon yang baik. Dari balik pintu kamar yang baru saja ia tutup, Marta tersenyum menyeringai. Benaknya sangat yakin, sikapnya itu, Lama-lama akan membuat Panji bosan dan meminta mengakhiri pernikahan yang tak menarik ini. Di belakang rumah, ia sengaja berlama-lama saat membersihkan badan. Rasa ingin kabur seperti kemarin telah tak
Ia berjalan perlahan mendekati dipan panji, mengamatinya sekilas. Lalu menggeleng khawatir. Marta mengalihkan diri dengan duduk di depan tungku, lalu menyalakan api agar ruangan lebih hangat. Duduk termenung beberapa saat, ia dikagetkan dengan suara Panji yang merintih seperti orang kesakitan. Ia menoleh, mendapati badan panji menegang. Racauan tak jelas muncul terdengar, ia mungkin bermimpi buruk. Mau tak mau Marta mendekati, duduk di pinggir dipan. Menatap wajah Panji dengan pandangan tak tega. "Jangan. Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku. Aku takut sendirian .... " Suara Panji terdengar berselang isakan lirih. Mendengar itu, Marta meremang entah kenapa. Kenapa begitu tragis suasana hati Panji, andai saja ia belum terlanjur mengikat hati dengan pria lain, mungkin akan direngkuh pria ini. "Panji, bangun." Ia meraba pundak sosok yang masih berbaring, dan terkesiap saat merasakan suhu badan tak biasa. Marta mengernyit. "Panji," Ucapnya lagi, sebab yang dipanggil belum menjawab, ma
Hampir dua minggu, tapi rasanya seperti beberapa tahun Marta berada di rumah kecil ini. Di rumah bersama seorang pria bernama panji. Seorang pria yang menamakan dirinya sebagai suami Marta. Namun, hingga kini ia tetap tak bisa menganggap pria itu sebagai suaminya. Yah, selama itu pula, tak ada kontak fisik berlebihan layaknya pasangan suami istri. Marta tetap menolak, dan Panji, katanya akan tetap bersabar hingga kini. Kini, sudah tiga hari Panji selalu keluar rumah hingga sore hari. Bahkan hingga senja telah berakhir, alasannya memang masuk akal. Agar bisa mengobati rasa hatinya akan Marta, bila ia sering berada di rumah. Seperti kali ini, tak ada persediaan makanan apapun di rumah, dan Marta tak bisa pergi karena pagar tak kasat mata itu. Maka sejak siang tadi, ia hanya makan sepotong singkong rebus, dan itupun tinggal satu-satunya. Demi menenangkan perut melilit, ia baringkan badan dalam kamar. Marta terbangun saat mendengar suara pintu terbuka. Di sana, terlihat wajah lelah P
"Baginda juga tengah berduka, Marta. Kabarnya, Panglima Indra gugur bersama ratusan prajurit. Baginda sampai saat ini juga belum sehat.""Belum sehat, kenapa, Bi?" Tanya Marta terhenyak, setelah kepergiannya saat itu, ia benar-benar tidak tau apa yang terjadi di medan peperangan."Kau tidak tau? Baginda terluka parah." Marta tak menjawab, hanya tertegun memikirkan penjelasan Bibi Ratih. Seakan tak percaya, mana mungkin Baginda terluka."Ah, sudahlah." Tepukan Bibi di pundak, membuat Marta tersadar. "Kita ini cuma pegawai belakang. Yang penting istana tidak tumbang, kita akan tetap aman." Bibi menambahkan, seakan bisa membaca yang Marta pikirkan."Ini sudah larut malam, sebaiknya kau segera tidur. Besok pagi kita lanjutkan percakapan.""Ah, Bibi?" Ia mencekal lengan Bibi yang hendak pergi. "Apa masih ada makanan?" Tanya Marta, membuat Bibi mendelik, kembali duduk. "Kau belum makan?" Tanya Bibi dengan wajah tercengang. Apalagi melihat yang ditanya hanya menggeleng sambil tersenyum nyeng
"Aku sudah makan. Ini untuk Ayahmu. Atau kau yang akan mengantarkannya?" Marta menawarkan, menyodorkan nampan lebih dekat ke depan Mahesa. Pria itu bergerak mundur dengan tersenyum nyengir."Oh, kalau itu. Kau saja." Mahesa kemudian berlalu, membuat Marta mendelik tak habis pikir. Putra mahkota macam apa itu?Ia menarik nafas dalam-dalam. Untung saja yang datang adalah Mahesa, jika Bibi, mungkin dirinya akan kembali dicurigai. Kantong kecil yang kini kembali disembunyikan di balik baju, ia sentuh perlahan. Bersyukur dalam hati, pria tadi belum sempat melihatnya. Atau mungkin saja melihat, tetapi acuh dengan apa yang terjadi.Kini, ia membawa nampan makanan ke depan Baginda yang masih berbaring malas. Jika diamati benar-benar, Raja itu mungkin sedang banyak pikiran. Hingga membuat luka jiwanya tak kunjung sembuh."Baginda. Makanan Anda," Ucapnya sambil meletakkan nampan di meja depan Baginda. Pria yang kini terlihat lebih kurus itu hanya melirik sekilas, kemudian kembali memejamkan mat