Namun, ia tercengang saat melihat di depan itu. Marta masih mengenakan pakaian sebatas dada. Wajah cantiknya terlihat oleh pantulan cahaya rembulan. Gadis itu mengibaskan rambut panjang yang basah. Panji menelan saliva.Ia kemudian terkesiap, Marta menoleh ke arahnya. Mungkin baru menyadari ada yang datang. Gadis itu menyambar pakaian yang tersampir di atas dinding sebatas dada orang dewasa. Digunakan untuk menutupi kedua pundak yang masih terbuka."Mau apa kau di sini? Dasar pria jahat!" Teriak Marta saking paniknya. Bahkan dengan spontan, tangan sebelahnya mengambil air dan melemparkan ke wajah Panji."Apa-apaan ini?""Kau yang apa-apaan!" Marta membentak, berjalan cepat melewati Panji. Masuk rumah dengan langkah terhentak-hentak, meninggalkan Panji yang masih bengong seperti orang bodoh.Pria itu kemudian menggeleng, senyum samarnya menandakan pikiran masih merekam pemandangan indah yang ia lihat beberapa saat sebelumnya. Ia bahkan membiarkan pakaian bagian atas basah kuyup akibat
"Apakah aku benar-benar manusia yang tak layak lagi mendapatkan cinta dan kasih sayang? Kenapa semua orang yang kucintai pergi?" Panji meratap. Marta kini tak bisa bergerak, bibirnya bergetar halus. Tak percaya akan suara yang keluar dari mulut Panji itu. Masih dengan tersedu-sedu, pria yang duduk di bawah memukuli tanah. "Dulu, seluruh keluargaku mati karena pembantaian tak manusiawi itu. Kini, beberapa kali aku harus mengalami kegagalan cinta. Apa kau benar-benar sedang menghukumku, Tuhan .... " "Panji," Lirih Marta, tak tega juga ia melihat sosok histeris di depan mata. Ia sentuh, pundak yang sedang bersujud di atas tanah, tetapi seperti yang ia lakukan sebelumya. Pria itu menepis kasar tangan Marta. "Kau juga!" Pria itu bangkit, menuding sang gadis yang kemudian termangu keheranan. "Padahal aku sudah sangat mengharapkanmu, mencintaimu lebih dari cintaku pada diriku sendiri. Tapi apa balasan yang kudapat? Kau malah menolakku mentah-mentah! Kau sama saja dengan perempuan-peremp
Marta meringis, kembali bangkit dan hendak kembali mencoba. Namun, niatnya terhenti, karena panji tiba-tiba ada di samping. "Mau pergi lagi? Silahkan saja." Gadis itu terhenyak, ia menoleh sekilas lalu bermaksud melanjutkan niatnya. Namun lagi-lagi gagal, badannya terpental ke belakang seperti tadi. Dan di saat itulah, Marta baru menyadari, ada yang tidak beres. Ia kembali menoleh Panji yang tersenyum miring dengan kedua tangan bersilang dada. Untuk menutup malu, dengan bodohnya ia kembali bangkit dan melangkah. Badan sakitnya itu, harus terulang lagi. Marta meringkuk di atas rerumputan, memaki dalam hati, betapa bodoh dirinya saat ini. "Kenapa malah di situ? Katanya akan kabur lagi?" Panji bertanya dengan nada mengejek. Marta pun mengeraskan rahangnya, bangkit mendekati pemuda itu. "Apa yang kau lakukan dengan rumahmu?"Desis Marta, kehabisan cara untuk mengekspresikan amarahnya. " Ini rumahku sendiri. Jadi, aku bebas berbuat apapun dengan rumahku," Panji mengarahkan ujung telun
"Maaf, bisa membuat jarak, tidak?" Tanya Marta kemudian, dan mungkin Panji kaget, spontan menarik tali kuda hingga berhenti mendadak. Alhasil, badan Marta bukannya mencipta jarak, malah menempel sempurna di dada dan perut Panji. "Kau ini!" Pekik Marta serentak menarik diri. "Kau ini bagaimana, sih?""Bagaimana apa maksudmu?" Marta menjawab dengan pertanyaan, wajahnya kian jengkel. Sementara Panji tak menanggapi, malah menarik badan gadis itu, membawanya turun dari punggung kuda. Mendorong Marta duduk di bangku kayu pinggir taman, yang lebih sepi dari tempat lainnya. "Marta, tolonglah. Apalagi yang kau risaukan? Kita ini sudah sah sebagai pasangan suami istri." Panji menegaskan, kedua tangannya menggenggam erat jemari Marta, yang kini tak lagi berontak seperti biasa. Namun, wajah gadis itu masih enggan melihat sosok pria yang katanya kini telah menjadi suaminya. Ia justru memalingkan wajah, memandangi Ibu-ibu yang sedang menemani anaknya bermain di ujung sana. Indah, memang. Kini,
Entah apa yang akan terjadi, tetapi di saat yang sama, di tempat lain. Bagas terhenyak, piring yang sedang di tangan tiba-tiba terjatuh. Nasi yang belum ia makan itu tumpah ke lantai tanah. Kakek terperanjat. "Apa yang terjadi, Bagas?""Entahlah, kek. Tapi aku sedang memikirkan Marta. Apa yang terjadi dengannya?""Marta?" Gumam Kakek beranjak dari tempat duduk di depan tungku yang masih menyala. Pria tua itu, sejak dulu, setiap kali berada di rumah, tungkunya tak pernah berhenti menyala. Baginya, makan di depan tungku menyala menimbulkan kenikmatan tersendiri. "Menurutmu, apa yang terjadi padanya?" Kakek justru bertanya pada bagas, pemuda itu lantas menggeleng pasrah. "Aku tidak tau, Kek. Tapi, rasanya ia sedang dalam bahaya." Bagas yang tak jadi makan, beranjak begitu saja, dengan diikuti Kakek di belakangnya. "Aku harus mencarinya, kek." Ia bertekad, berdiri gagah di depan pintu terbuka lebar. Kakek menatap trenyuh, tau betul bagaimana rasanya kehilangan orang tercinta. "Bagas,"
"Aku mencintaimu, Marta. Aku menerimamu apa adanya. Karena aku akan berusaha memberikan cinta yang sempurna, semampuku." Tak kuasa menjawab, Marta tertegun mendengar kalimat menyentuh hati yang keluar dari bibir Panji barusan. Sementara pria itu seperti tak peduli, ia meletakkan kasur baru di atas dipan, yang memaksa Marta turun dari sana. "Sudah. Kau mandi saja dulu. Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu." Panji meminta. Masih seperti hari kemarin, pria itu begitu telaten melayani Marta. Sementara yang diminta, pergi begitu saja tanpa banyak bicara. Sejauh ini, Marta hanya ingin melihat. Sampai kapan Panji akan bersikap seperti itu, tanpa mendapatkan respon yang baik. Dari balik pintu kamar yang baru saja ia tutup, Marta tersenyum menyeringai. Benaknya sangat yakin, sikapnya itu, Lama-lama akan membuat Panji bosan dan meminta mengakhiri pernikahan yang tak menarik ini. Di belakang rumah, ia sengaja berlama-lama saat membersihkan badan. Rasa ingin kabur seperti kemarin telah tak
Ia berjalan perlahan mendekati dipan panji, mengamatinya sekilas. Lalu menggeleng khawatir. Marta mengalihkan diri dengan duduk di depan tungku, lalu menyalakan api agar ruangan lebih hangat. Duduk termenung beberapa saat, ia dikagetkan dengan suara Panji yang merintih seperti orang kesakitan. Ia menoleh, mendapati badan panji menegang. Racauan tak jelas muncul terdengar, ia mungkin bermimpi buruk. Mau tak mau Marta mendekati, duduk di pinggir dipan. Menatap wajah Panji dengan pandangan tak tega. "Jangan. Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku. Aku takut sendirian .... " Suara Panji terdengar berselang isakan lirih. Mendengar itu, Marta meremang entah kenapa. Kenapa begitu tragis suasana hati Panji, andai saja ia belum terlanjur mengikat hati dengan pria lain, mungkin akan direngkuh pria ini. "Panji, bangun." Ia meraba pundak sosok yang masih berbaring, dan terkesiap saat merasakan suhu badan tak biasa. Marta mengernyit. "Panji," Ucapnya lagi, sebab yang dipanggil belum menjawab, ma
Hampir dua minggu, tapi rasanya seperti beberapa tahun Marta berada di rumah kecil ini. Di rumah bersama seorang pria bernama panji. Seorang pria yang menamakan dirinya sebagai suami Marta. Namun, hingga kini ia tetap tak bisa menganggap pria itu sebagai suaminya. Yah, selama itu pula, tak ada kontak fisik berlebihan layaknya pasangan suami istri. Marta tetap menolak, dan Panji, katanya akan tetap bersabar hingga kini. Kini, sudah tiga hari Panji selalu keluar rumah hingga sore hari. Bahkan hingga senja telah berakhir, alasannya memang masuk akal. Agar bisa mengobati rasa hatinya akan Marta, bila ia sering berada di rumah. Seperti kali ini, tak ada persediaan makanan apapun di rumah, dan Marta tak bisa pergi karena pagar tak kasat mata itu. Maka sejak siang tadi, ia hanya makan sepotong singkong rebus, dan itupun tinggal satu-satunya. Demi menenangkan perut melilit, ia baringkan badan dalam kamar. Marta terbangun saat mendengar suara pintu terbuka. Di sana, terlihat wajah lelah P
Ia kini dihadapkan kembali dengan persiapan serangan yang lebih dari sebelumnya. Namun, sebelum itu, Tiba-tiba ada sosok lain yang datang membantu. Melemparkan satu tendangan dan membuat mereka bertiga langsung terjatuh bersamaan. Sosok itu beberapa detik masih berdiri membelakangi Marta, hingga ia tak bisa melihat siapa. Apalagi di malam gelap seperti ini. Ia hanya bisa melihat, bahwa tiga orang jahat tadi saling menarik satu sama lain.Mereka berlari tunggang-langgang, meninggalkan Marta tercengang seorang diri. Dalam kepalanya mulai disinggahi rasa khawatir akan sosok yang tak juga membalikkan badan. Ia perlahan mendekat, dan semakin diamati, postur badan itu seperti tidak asing. Namun Marta tak berani menyimpulkan terlalu cepat. "Terimakasih, tuan. Telah membantu saya," Ucapnya pada sosok pria yang masih menyembunyikan wajah. Marta bisa melihat sosok itu, dari ujung kaki hingga ujung kepala yang mengenakan topi bambu. Pria itu, perlahan membalikkan badan. Marta tercengang. Tak
"Memang, apa kau tidak ingin terbuka dengan orang lain? Jangan hanya menutup diri seperti kemarin." Gading tak segera menjawab, pria itu malah menatapnya lekat-lekat, dengan pandangan yang tak bisa dimengerti."Kalau aku membuka hati, apa kau mau menerimanya?" Marta tercengang, baru menyadari bahwa pertanyaan tadi telah menjebak dirinya sendiri.Tak tau harus menjawab apa, kini Marta hanya menahan nafas dengan mengalihkan pandangannya. "Jadi bagaimana, Marta?" Tanya gading lagi, sebab belum mendapatkan jawaban. Sementara sang gadis seperti tak paham bahwa yang diajak bicara sangat mengharapkan jawaban."Aku, aku tidak paham dengan arah pembicaraanmu, Gading. Sebenarnya bagaimana?" Untuk lebih jelasnya, ia memang membutuhkan itu."Apa kau tidak paham juga, Marta? Saat ini aku sangat membutuhkan seorang teman yang bisa membuat hatiku kembali hidup seperti dulu." Marta belum berani menyahut, sebab dari sinipun sebenarnya ia telah mengerti."Tolong berikan hatimu padaku, Marta." Tiba-tiba
Keduanya berhenti akibat berpapasan dengan pohon besar, dengan posisi Marta berada di bawah badan Gading yang sama-sama membelalak kaget.Satu detik, dua detik. Marta bisa merasakan detak jantung Gading yang memacu cepat. Secepat pria itu membawanya berlari tadi. Setelah beberapa saat lamanya saling menatap, dan mengagumi dalam hati, Gading tersadar."Maaf." Pria itu spontan berdiri, tanpa menghiraukan Marta yang kepayahan menegakkan badan akibat tertindih olehnya.Dan sesaat setelah ia berhasil berdiri di depan Gading, Marta membelalak. Tak jauh di belakang pria itu, kucing besar tadi menyusul. Ia langsung menghunus anak panah di punggung gading, dan melemparkan tanpa perhitungan.Namun, ketika Gading menoleh, hewan itu telah menggelepar kesakitan. Tak lama, nafas terakhirnya pun menghembus panjang, kemudian badannya tak bergerak lagi."Dia ... Kau, membunuhnya?" Gading bergumam, wajahnya setengah tak percaya."Dia sangat berbahaya. Jadi biarkan saja mati," Jawab Marta berlalu dari h
Hanya Marta sesekali melirik, memperhatikan tangan kekar itu. Yang ternyata begitu telaten membersihkan kelinci, hingga memotong-motongnya menjadi beberapa bagian kecil yang siap dimasak. "Ambilkan panci itu." Suara gading terdengar, dan Marta sengaja acuh. Tetap fokus dengan sayuran di kedua tangannya. Dalam hati ingin melihat, bagaimana reaksi pria itu jika diperlakukan demikian. "Kau dengar, tidak?""Aku?" Marta malah bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Sementara yang tadi bertanya itu, kini berdecak kesal. "Mau menantang, kau rupanya?" Entah apa yang akan dilakukan, tangan Gading mendekati kepala Marta, dan tanpa ia sadari tiba-tiba lengannya terhempas kasar. Pria itu mendongak kaget, tak menyangka Marta gadis ini memiliki kecepatan luar biasa. Bahkan di saat ia belum sempat mengedipkan mata. Penasaran, gading kembali menggerakkan tangan, dan tangkisan Marta lebih tegas dari sebelumnya. Ia kini membelalak, apalagi melihat gadis cantik itu berdiri. Menatapnya dengan senyu
"Siapa suruh tidak makan," Celetuk Gading benar-benar membuat hati sakit. Andai saja kondisinya sehat, akan ia semprot dengan kalimat serupa. Dasar! Marta kini hanya bisa mengumpat dalam hati.Hanya ada sisa nasi beberapa butir, karena perut yang tak bisa lagi diajak bersabar, ia jumput nasi itu, dan makan. Aktifitas itu, sebenarnya tak luput dari pandangan aneh gading yang tak bisa dideskripsikan.Pria itu, sebenarnya sempat tertegun melihat sosok di depannya. Namun, tak ingin terlalu lama, Gading membuang wajah ke arah pintu.Sementara di sana, Marta tak menyadari. Setelah minum air dingin beberapa teguk, ia akan kembali ke kamar. Dengan langkah gontainya tadi, ia kadang jadi kehilangan keseimbangan, yang menyebabkan badannya oleng. Hampir ambruk, tetapi untung ia segera bisa membenahi posisi.Akan semakin kesal pria itu, jika ia harus merepotkan. Marta kembali ke kamar dan merebah lelah.Di luar kamar itu, gading mungkin penasaran tentang apa yang terjadi pada tamu perempuannya. Ia
Marta kesal, ia lemparkan daging tadi ke sebelah Gading yang kemudian mendongak kaget. "Dasar, manusia batu!" Umpat Marta berlari ke kamarnya. Sementara pria yang dikatakan manusia batu itu hanya melirik ke arah pintu yang masih bergerak akibat ditutup keras. Setelahnya, gading mengalihkan sorot mata pada beberapa tusuk daging, yang mungkin memang sengaja diperuntukkan baginya. Ia ambil tusukan mirip sate itu, menghirupnya sekilas dan menarik satu potong paling ujung menggunakan giginya. Gading menikmati, ia bergumam dalam hati, ternyata, gadis yang baginya cerewet itu pintar memasak. Gading membaringkan badan setelah menghabiskan semua sate tadi, dan membiarkan tusuknya tetap berserakan di samping badan. Bahkan hingga pagi, hingga Marta terbangun oleh hawa dingin tak biasa. Gadis itu mendekati tungku dan menyalakannya, di saat semua orang di rumah ini belum terdengar bangun. Marta memilih menghangatkan badannya di depan tungku. "Wah, wah. Kau rupanya sudah bangun, ya?" Suara Ibu
"Makanan masih ada, Gading.""Pasti perempuan tak diundang ini, yang telah menghabiskannya!" Mendengar suara sengit, Marta mendongak kesal."Maaf, tuan gading. Makanan masih ada. Jika anda belum kenyang dengan nasi ini, nanti akan saya buatkan untuk Anda," Marta menyahut. Gading tak menjawab, hanya mendengus kesal sambil menarik kasar bakul nasi yang berada di depan Marta.Dalam bakul itu, memang hanya tinggal seporsi nasi, dan pas untuk satu orang saja. Mungkin, bagi Gading yang baru saja pulang dari berburu, porsi itu masih kurang.Orang tua gading tak ikut bersuara, sebab mereka sibuk menyiapkan entah. Hanya saja si ibu kemudian duduk di dekat anaknya, dan bertanya. "Gading. Nanti, kau tidur di sini, ya. Biar Marta yang tidur di kamarmu.""Apa? Enak saja. Sudah numpang, masih mengganggu kamarku? Tidak, bu. Aku tidak mau!" Gading menjawab sengit. Nampaknya, pemuda itu memang angkuh dan egois. Terlihat sekali bahwa sosok itu susah diajak bekerjasama."Bu, tidak apa-apa. Biar saya yan
Bagas berhenti, menyandarkan punggung di tembok sambil memegangi keningnya. "Tuan bagas. Anda baik-baik saja?" Suara Bibi mendekat. Ia mengangguk lemah, ini pasti akibar dari perutnya yang kosong sejak pagi."Tidak apa-apa, Bibi. Aku hanya lapar," Jawabnya."Ya ampun, tuan. Kenapa tidak makan dulu, mari saya antar ke tempat makan." Bagas menurut, mengikuti langkah wanita itu di belakangnya.Hingga tiba di tempat biasa bagas makan bersama baginda, Mahesa dan semua penduduk istana. Kini, Bagas duduk di depan meja yang di atasnya terdapat banyak sekali menu makanan lezat.Ia membiarkan beberapa pelayan mengisi piring dan gelasnya, lalu memintanya makan seperti biasa. Namun, ada yang tak biasa sore ini. Bagas enggan makan, meski rasa perut keroncongan sejak tadi.Suasana sunyi, terasa lebih mencekam, apalagi di hatinya kehilangan dua orang sekaligus. Bukan segera makan, ia hanya memainkan nasi dengan jemarinya.Marta, nama itu masih berputar cepat dalam ingatan. Meski rasa benci, memaksan
Kini, ia kembali ke istana. Dan menghembus berat saat melihat semua orang istana berkumpul di tempat yang sama. Hatinya menyimpulkan sesuatu yang buruk tentang Baginda. Ia berlari mendekati Mahesa yang berada di pinggir, pria yang tersedu-sedu, dengan sesekali menyeka air mata. "Pangeran?" Teriaknya, menyentuh bahu sang Kakak yang kemudian menatap tajam. "Kemana saja kau?" Tanya Mahesa kesal, "lihatlah, Wyah kita telah tiada."Tak menjawab, Bagas menoleh ke arah yang ditunjukkan Mahesa. Nafasnya kemudian memberat. "Siapa yang telah melakukan semua ini, Bagas?" Pertanyaan yang tak mungkin ia jawab. Bagas malah menjauhi, berjalan mendekati jenazah Baginda yang telah selesai dimandikan. "Hey!" Mahesa menyusul, menyentuh kasar pundak Bagas yang mengabaikan pertanyaaia nnya. Ia menoleh, menatap lembut wajah Lakak yang penuh duka. "Kakak, untuk saat ini, kita urus dulu jenazah Ayah, ya. Baru setelah itu, kita bahas kejadiannya. Menurut, Mahesa mengangguk lemah. Menyusul Bagas berjalan m