Ia tak sadar, ada panji yang mengintip dan mengamatinya sejak tadi. Pria itu tertegun, tersenyum tipis sambil menyeka sesuatu dari pipinya. Melihat bagaimana Marta dengan telaten, mengalirkan air sedikit demi sedikit. Dari dalam gelas, melalui bibir Bagas yang kaku. Gadis itu, bahkan mengelap lembut air yang meluber melewati sudut bibir sang pangeran. Cukup sudah. Panji tak kuasa menatap romantisme itu, ia membuang wajah dengan mata mengerjap. Tak kuasa lagi menampung linangan air yang semakin banyak. Setelah mengeluarkan desahan tanpa didengar siapapun, panji menutup pintu bilik. Pria itu kemudian duduk bersandar pada daun pintu kayu, matanya menerawang jauh. "Mereka pasangan yang sempurna. Apa aku salah, jika merusak cinta mereka?" Lirih Panji pada dirinya sendiri. Ia tahu, ini adalah sikap yang salah. Merebut yang bukan haknya adalah kejahatan. Namun, mengingat berapa terpuruk hidupnya selama belasan tahun ini, ia harus mengedepankan ego. Pagi datang, menyibak kelam malam. Ma
Semua penjuru ia sapu menggunakan sorot mata. Berharap menemukan sesuatu yang ia cari sejak kemarin."Kenapa kalian di sini?" Suara pria, membuat Marta tersenyum sebelum benar-benar melihat siapa pemiliknya.Saat menoleh, rupanya benar yang ia duga. Kakek benar-benar ada di sini, Marta sontak berlari ke arah pria tua. Memeluknya erat."Aku rindu sekali dengan kakek," Lirih Marta, persis seperti saat ia masih kecil. Senang bermanja dengan satu-satunya orang yang menyayangi sejak kecil."Maafkan Kakek, selama ini tidak bisa mengabari kalian, tentang tempat tinggal Kakek yang baru.""Oh, iya. Apa yang terjadi dengan Bagas?" Tanya Kakek saat sorot matanya tertuju pada murid kesayangan. Kening berkerutnya semakin berkerut saat yang dilihat tak bergerak seperti biasanya. "Kenapa dia?" Tanya Kakek lagi."Kek, dia terkena panah beracun," Jawab Marta, memegang lengan Kakek. Menuntunnya mendekati sang Pangeran yang tergeletak di atas rerumputan.Kakek tercengang, mengamati sekujur tubuh tak ber
"Bagas, kita sekarang sudah ada di tempat kakek. Kau juga sudah mendapatkan ramuan, kau akan segera sembuh."Marta membisik dengan suara berat. Selanjutnya tak bisa berkata lagi, air mata pun tak tertahan. Ia terisak-isak. Satu sisi menginginkan pria terkasih segera sembuh, dan di sisi lain, ia tak ingin pergi meninggalkannya, jika bagas sembuh nanti. Ia tersentak, sebab ada benda kecil mengenai jendela kayu di sebelahnya. Suaranya, seperti benda itu memang sengaja dilemparkan ke sana. Marta melepaskan genggaman tangannya dari jemari Bagas, melangkah awas mendekati jendela.Tok tok tok! Kembali, terdengar jendela diketuk perlahan. Marta terhenyak. "Buka jendelanya, ini aku," Perintah seseorang dari luar. Marta memicing, seperti suara Panji. Tapi, mana mungkin pria itu mengetahui ia sekarang ada di tempat ini? Gumamnya dalam hati. Namun, perlahan tangannya benar-benar membuka. Di luar sana, wajah panji memang terlihat. Benar, ia Panji. Pria itu sedang tersenyum lebar menatapnya, Ma
Sejak pagi tadi, Marta menunggu cemas di samping sang Pangeran.Meskipun, akan ia tinggalkan pria itu, harapnya masih sama. Ingin agar Bagas segera sadar, sebab daripada sebelumnya, wajah pria itu kini tak lagi pucat. Nyaris terasa bosan, tetapi saat Marta akan beranjak dari pinggiran dipan, tanpa sengaja melirik beberapa jemari Bagas bergerak samar. Spontan badannya kembali, menatap wajah sang pria yang telah menggerakkan sepasang matanya. Marta terhenyak, bukan senang, tetapi ia bingung bagaimana akan segera pergi dari rumah ini. Jika pergi lewat pintu depan, bisa saja Kakek tau. Ia kemudian berinisiatif untuk melompat dari jendela. Berhasil, dan ia melompat tinggi ke udara. Menghindari Kakek yang ternyata sedang beraktivitas di samping rumah kecilnya. Meski sebenarnya, ingin sekali ia melihat bagas tersadar, tetapi apa daya. Ia telah terlanjur membuat janji dengan seseorang. Saat ini, ia menjejakkan kaki di tengah hutan yang dikelilingi pohon lebat. Tatapannya menyapu ke segal
"Maju. Lawan aku!" Marta justru menantang. panji benar-benar maju, menyerang sang gadis yang kemudian dengan mudahnya menghindar. Mengetahui hal itu, sebenarnya panji kaget, karena baru kali ini melihat kelihaian Marta dalam menghindari serangan lawan. Namun karena amarahnya kian tak terkendali, pria itu kembali melakukan penyerangan. Kali ini ditembakkannya tendangan dengan lebih keras dari sebelumnya. Tendangan pertama, Marta memang masih bisa menghindar, tetapi panji tak ingin kalah. Pria itu semakin membabi buta, memberikan tendangan beruntun, hingga hentakan terakhir pun mengenai sasaran. Marta terjengkang dengan tangan mencengkeram dada. Akibat tendangan yang tak sebanding dengan kekuatannya sebagai seorang perempuan itu, mungkin telah membuat Marta benar-benar kesakitan. Rasa sesak dan perih pada permukaan kulit, membuat gadis itu meringis menahan sakit. Ia mungkin tidak tau, di depan sana, Panji tersenyum membanggakan diri. "Kau itu perempuan. Tidak akan bisa melawanku!"
"Kek, Marta di mana?" Kakek kaget mendengar pertanyaan Bagas barusan. "Marta, dia belum pulang?""Belum, Kek. Karena itu, saya ingin melihatnya di luar rumah. Siapa tau dia sedang berada di sekitar sini." Kakek tak menjawab, pria tua itu membalikkan badannya, menatap sekeliling. Sepi, tak ada siapapun."Kemana anak itu?" Gumam Kakek, kembali melangkah keluar pintu. Tak jauh, hanya beberapa langkah saja, sebab fokusnya kembali pada Bagas yang masih berdiri memegangi dada."Sudah, ayo kembali saja. Kita tunggu sampai menjelang petang nanti.""Bagaimana kalau dia tetap tidak pulang, Kek?""Tidak mungkin. Dia pasti pulang. Sudah, ayo." Kakek menuntun Bagas kembali ke kamarnya, membantu pemuda itu berbaring di atas dipan seperti tadi."Bagas. Tugasmu saat ini adalah, berkonsentrasi penuh untuk kesembuhanmu sendiri. Kau mengerti?" Tatapan tegas dari Kakek, membuat Bagas tertunduk patuh. Ia mengangguk, tanpa berani melakukan penolakan. Sebab baginya, titah sang guru adalah segalanya. Yang te
Namun, ia tercengang saat melihat di depan itu. Marta masih mengenakan pakaian sebatas dada. Wajah cantiknya terlihat oleh pantulan cahaya rembulan. Gadis itu mengibaskan rambut panjang yang basah. Panji menelan saliva.Ia kemudian terkesiap, Marta menoleh ke arahnya. Mungkin baru menyadari ada yang datang. Gadis itu menyambar pakaian yang tersampir di atas dinding sebatas dada orang dewasa. Digunakan untuk menutupi kedua pundak yang masih terbuka."Mau apa kau di sini? Dasar pria jahat!" Teriak Marta saking paniknya. Bahkan dengan spontan, tangan sebelahnya mengambil air dan melemparkan ke wajah Panji."Apa-apaan ini?""Kau yang apa-apaan!" Marta membentak, berjalan cepat melewati Panji. Masuk rumah dengan langkah terhentak-hentak, meninggalkan Panji yang masih bengong seperti orang bodoh.Pria itu kemudian menggeleng, senyum samarnya menandakan pikiran masih merekam pemandangan indah yang ia lihat beberapa saat sebelumnya. Ia bahkan membiarkan pakaian bagian atas basah kuyup akibat
"Apakah aku benar-benar manusia yang tak layak lagi mendapatkan cinta dan kasih sayang? Kenapa semua orang yang kucintai pergi?" Panji meratap. Marta kini tak bisa bergerak, bibirnya bergetar halus. Tak percaya akan suara yang keluar dari mulut Panji itu. Masih dengan tersedu-sedu, pria yang duduk di bawah memukuli tanah. "Dulu, seluruh keluargaku mati karena pembantaian tak manusiawi itu. Kini, beberapa kali aku harus mengalami kegagalan cinta. Apa kau benar-benar sedang menghukumku, Tuhan .... " "Panji," Lirih Marta, tak tega juga ia melihat sosok histeris di depan mata. Ia sentuh, pundak yang sedang bersujud di atas tanah, tetapi seperti yang ia lakukan sebelumya. Pria itu menepis kasar tangan Marta. "Kau juga!" Pria itu bangkit, menuding sang gadis yang kemudian termangu keheranan. "Padahal aku sudah sangat mengharapkanmu, mencintaimu lebih dari cintaku pada diriku sendiri. Tapi apa balasan yang kudapat? Kau malah menolakku mentah-mentah! Kau sama saja dengan perempuan-peremp