"Memang tidak, Bi. Tapi ini demi kemanusiaan, mereka sedang membutuhkan bantuan kita, kan?"Tak ada jawaban, Marta kembali mengayunkan langkah, dan tak ada lagi panggilan dari Bibi Ratih. Langkahnya terayun tegas menuju pondok prajurit yang sialnya harus melewati kamar Pangeran Mahesa. Tiba di depan kamar putra mahkota itu, Marta harus berpura-pura tuli, sebab terdengar suara desahan saling bersahut antara lelaki dan perempuan. Suara itu makin kencang saja, hingga membuat Marta menutup kedua telinganya. Tak dipungkiri, sebagai wanita normal, badannya meremang dihadapkan dengan suara sensitif seperti itu. Apalagi ia adalah gadis yang belum pernah melakukannya. Dalam hati ia mengumpat kesal, bisa-bisanya putra mahkota melajur nafsu di siang hari seperti ini. Sementara yang lain sedang berjuang di medan peperangan. Pangeran macam apa itu? Gumamnya dalam hati. Bahkan tak peduli ada beberapa pasukan yang masih meregang nyawa di pondokan. Sudah beberapa langkah lebih jauh dari kamar sang
Saling menyerang dan menendang. Dari sini, Marta nyaris tak bisa mengetahui, mana kawan dan mana lawan. Ia mengernyit, melihat Panglima kewalahan menghadapi empat orang. Dua diantaranya adalah, Bara dan Dirga. Beberapa kali bisa mengimbangi serangan musuh, kemudian Panglima ambruk karena tendangan keras dari Bara. Marta tercengang, di antara orang istana, baru satu itu yang nampak di pandangan. Yang lain entah berada di mana. Ia tak bisa berdiam diri saat melihat bara tengah menarik anak panah dalam busurnya, dari jarak beberapa meter. Marta melenting, nekat menendang tangan bara dari arah samping. Hingga tangan yang sedang melakukan ancang-ancang itu, panahnya terlepas ke sembarang arah, busurnya jatuh. Pemiliknya mengumpat, kemudian kaget saat Marta menjejakkan kaki di depannya. "Kau rupanya?" Gumam Bara tersenyum menyeringai. Sementara Marta dengan cepat di tarik seseorang untuk menjauh. Rupanya Panglima. "Marta, apa yang kau lakukan di sini? Kau harus tetap di istana, bukan
Bagas kembali menarik lengan Marta, untuk berlari lebih cepat. Namun sayang. Keduanya tiba di jalan buntu, posisinya saat ini sedang berada di atas tebing tinggi, yang tak mungkin meluncur ke bawah sana tanpa alat apapun.Akan kembali, tetapi Bara, Dirga dan lainnya telah sampai. Senyum mereka semua mengembang, melihat lawannya tak bisa pergi kemanapun.Mereka semakin bergerak maju, Bagas siaga dengan memegang jemari Marta dari samping. Mengajaknya mundur, tetapi selangkah lagi, keduanya bisa terjatuh. Bagas melirik ke arah belakang yang membuat pandangan berayun, ia menggeleng samar. Menyadari dirinya tak bisa kemana-mana lagi."Kalian tidak bisa mengelak. Menyerahlah, dan ikut kami kembali." Bara bersuara tegas, membuat Bagas dan Marta saling menatap panik."Lebih baik mati, daripada menyerah pada kalian!" Jawaban Bagas tentu saja membuat bara dan yang lain terkekeh geli. Mengetahui di belakang mereka berdua ada jurang, Bara tertawa puas."Silahkan saja jika kalian memilih mati," Ka
"Ini punyaku!" Marta terhenyak, sebab ada tangan lain yang dengan santainya mengambil ikan-ikan itu. "Hey! Itu ikanku!" Teriak Marta tak terima. Sebab dari tadi ia berusaha menangkap ikan, meskipun pada akhirnya ia menggunakan cara cepat dengan mengerahkan kekuatan. Sementara sosok yang ternyata seorang pria itu masih dengan santainya, memunguti beberapa ikan yang tergeletak di tanah. Seperti tak peduli ada orang lain di dekatnya. "Hey, itu ikanku! Aku yang menangkap semua ikan-ikan itu. Enak saja kau yang mengambilnya!" Marta menggerutu, mendekati dan bermaksud hendak merebut ikan itu dari tangan pria asing. Namun, dengan cepat pria tadi menjauhkan ikan di tangannya. "Enak saja. Ini ikanku, aku yang setiap hari memberinya makan." Marta mendongak saat mendengar kalimat tadi. Menatap kaget pada sosok yang ternyata pria rupawan, dengan rambut bergelombang menjuntai hingga ke pundak. Sebagian dibiarkan berada di luar ikat kepala, menutup kening dan mata tegas. "Kau yang memelihara i
"Apa dia putra Raja Danar?" Tanya Panji, dengan raut wajah berubah bengis, entah kenapa. "Iya." Marta menjawab dengan wajah mulai panik. Apalagi melihat Panji tiba-tiba menggebrak pinggir dipan tempat bagas terbaring. "Biarkan saja dia mati!""Apa?" Marta menyentak tak habis pikir, "kau ini, tega sekali dengan sesamamu, seperti tidak pernah membutuhkan orang lain saja!" "Jika aku tidak tega padanya, apakah dia juga akan tidak tega padaku?""Apa maksudmu?" Marta bergumam makin tak mengerti, apalagi yang ditanya hanya mendengus penuh amarah. "Dia .... " Panji menunjuk ke arah bagas. "Dan orang-orang istana yang tak punya hati itu, telah membuatku terpuruk seorang diri di tempat ini!" Suara Panji menggelegar memenuhi gubuk kecil ini. Bahkan mungkin memenuhi sudut hutan, membelah malam yang sunyi ini. Sementara Marta tercengang, tak percaya akan sebanyak ini orang-orang yang memendam benci pada Raja Danar dan seluruh orang istana. Ia baru paham, ternyata hal itu yang membuat panji en
Ia tak sadar, ada panji yang mengintip dan mengamatinya sejak tadi. Pria itu tertegun, tersenyum tipis sambil menyeka sesuatu dari pipinya. Melihat bagaimana Marta dengan telaten, mengalirkan air sedikit demi sedikit. Dari dalam gelas, melalui bibir Bagas yang kaku. Gadis itu, bahkan mengelap lembut air yang meluber melewati sudut bibir sang pangeran. Cukup sudah. Panji tak kuasa menatap romantisme itu, ia membuang wajah dengan mata mengerjap. Tak kuasa lagi menampung linangan air yang semakin banyak. Setelah mengeluarkan desahan tanpa didengar siapapun, panji menutup pintu bilik. Pria itu kemudian duduk bersandar pada daun pintu kayu, matanya menerawang jauh. "Mereka pasangan yang sempurna. Apa aku salah, jika merusak cinta mereka?" Lirih Panji pada dirinya sendiri. Ia tahu, ini adalah sikap yang salah. Merebut yang bukan haknya adalah kejahatan. Namun, mengingat berapa terpuruk hidupnya selama belasan tahun ini, ia harus mengedepankan ego. Pagi datang, menyibak kelam malam. Ma
Semua penjuru ia sapu menggunakan sorot mata. Berharap menemukan sesuatu yang ia cari sejak kemarin."Kenapa kalian di sini?" Suara pria, membuat Marta tersenyum sebelum benar-benar melihat siapa pemiliknya.Saat menoleh, rupanya benar yang ia duga. Kakek benar-benar ada di sini, Marta sontak berlari ke arah pria tua. Memeluknya erat."Aku rindu sekali dengan kakek," Lirih Marta, persis seperti saat ia masih kecil. Senang bermanja dengan satu-satunya orang yang menyayangi sejak kecil."Maafkan Kakek, selama ini tidak bisa mengabari kalian, tentang tempat tinggal Kakek yang baru.""Oh, iya. Apa yang terjadi dengan Bagas?" Tanya Kakek saat sorot matanya tertuju pada murid kesayangan. Kening berkerutnya semakin berkerut saat yang dilihat tak bergerak seperti biasanya. "Kenapa dia?" Tanya Kakek lagi."Kek, dia terkena panah beracun," Jawab Marta, memegang lengan Kakek. Menuntunnya mendekati sang Pangeran yang tergeletak di atas rerumputan.Kakek tercengang, mengamati sekujur tubuh tak ber
"Bagas, kita sekarang sudah ada di tempat kakek. Kau juga sudah mendapatkan ramuan, kau akan segera sembuh."Marta membisik dengan suara berat. Selanjutnya tak bisa berkata lagi, air mata pun tak tertahan. Ia terisak-isak. Satu sisi menginginkan pria terkasih segera sembuh, dan di sisi lain, ia tak ingin pergi meninggalkannya, jika bagas sembuh nanti. Ia tersentak, sebab ada benda kecil mengenai jendela kayu di sebelahnya. Suaranya, seperti benda itu memang sengaja dilemparkan ke sana. Marta melepaskan genggaman tangannya dari jemari Bagas, melangkah awas mendekati jendela.Tok tok tok! Kembali, terdengar jendela diketuk perlahan. Marta terhenyak. "Buka jendelanya, ini aku," Perintah seseorang dari luar. Marta memicing, seperti suara Panji. Tapi, mana mungkin pria itu mengetahui ia sekarang ada di tempat ini? Gumamnya dalam hati. Namun, perlahan tangannya benar-benar membuka. Di luar sana, wajah panji memang terlihat. Benar, ia Panji. Pria itu sedang tersenyum lebar menatapnya, Ma