Beranda / Fantasi / Series Hutan Larangan / Bab 161 - Bab 170

Semua Bab Series Hutan Larangan : Bab 161 - Bab 170

191 Bab

Perkelahian

“Dan dari sanalah semuanya terjadi.” Damar menyentuh rambut Candramaya yang tergerai angin malam. Sudah beberapa malam mereka mengenang masa lalu yang lebih banyak pahit daripada manisnya. “Dan kau lupa padaku. Aku memang perempuan yang hadir sebentar saja dalam hatimu. Terlalu berharap, tidak ingin melihatmu mati, hanya ingin kau bahagia, aku bahkan lupa dengan kebahagiaanku sendiri. Bodoh sekali aku jadi orang dulu. Untungnya sekarang aku siluman, jika hal itu tak menguntungkan bagiku, akan aku tinggalkan.” Candramaya memang sudah banyak berubah daripada saat ia bernama Weni. “Lalu mengapa kau masih bertahan tinggal ratusan tahun di Bukit Buas, tak mengaku sama sekali, tak buka mulut?” “Karena kau menutup semua pintu hatimu. Sudah pernah kau hitung berapa banyak perempuan di sisimu setelah kau jadi raja, kau tahu aku tidak dalam masa bersaing dengan siapa pun. Tapi aku tak mau pergi, jadi aku memilih melukai diri sendiri dengan tetap berada di sisimu, hei babu,” ucap Candramaya s
Baca selengkapnya

Seterang Bulan Purnama

Akhirnya ranjang di kamar hotel itu berderit juga karena desakan hasrat dari seorang manusia harimau putih. Tentu ia tak mau melepas kesempatan seterang berlian di depan matanya. Candramaya yang kini menggunakan wajah aslinya membangkitkan semua kenangan masa lalu yang indah walau tak semuanya. Ular tujuh warna itu tak sanggup lagi berkelit. Ia tak mampu melawan kehendak penguasa yang sudah bosan hidup dengan manusia biasa. Deru AC di dalam kamar membuat kulit Candra semakin dingin dan semakin liarlah permainan dua siluman itu. Kuku yang tumbuh di tangan masing-masing membuat sprei, kasur dan bantal robek. Setiap goresan luka dari jemari Candra tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan rasa yang didapatkan Damar. Keduanya saling berburu dari setiap jengkal kulit lawan main dalam pelukan. Baik Candra maupun Damar sama beringasnya urusan ranjang. Tidak ada yang peduli berapa lama kamar itu berpenghuni. Damar hanya sedang mengulang adegan yang dulu katanya ia lakukan dalam keadaan
Baca selengkapnya

Karena Alkohol

Dua siluman yang sedang menyamar jadi manusia itu memasuki sebuah restaurant bernuansa mewah. Meski tak tahu, maksdunya baru pertama kali ini mereka benar-benar berbaur dengan kehidupan manusia yang modern. Namun, keduanya tak canggung. Mereka ikut saja arahan pelayan yang mengantar duduk di meja. Candra melihat sekeliling, kebanyakan yang datang lelakinya membawakan bunga mawar merah dan cincin emas putih bertakhtakan berlian. “Apa bagusnya bunga itu, cepat busuk dan tak wangi.” “Sudahlah, biarkan saja, hidung mereka berbeda dengan kita.” Pelayan datang dan memberikan daftar menu pada Damar dan Candra. Keduanya saling melirik dan tak bisa membaca tulisan latin. “Bawakan saja hidangan dari daging,” ucap Damar sambil mengembalikan daftar menu. “Lucu sekali, kenapa harus ke sini? Kita hidup di bukit tak susah untuk cari makan.” “Sekali-sekali nikmati hidup, Wen, kau terlalu kaku dan tinggal dalam telaga saja terus.” “Ya, karena siapa?” “Ya, sudahlah, jangan dibahas lagi.” Per
Baca selengkapnya

Berkhianat

Damar pulang menuju rumahnya dengan perasaan bersalah. Di dalam kediaman kosong tanpa penghuni itu, dirinya dan Weni telah menjadi pengkhianat dan berbuat dosa besar. Lelaki itu tak bisa menolak ketika salah satu selir demang dengan penuh kesadaran menyodorkan tubuh padanya. Sebagai lelaki yang telah lama tak menyentuh wanita tentu ia tergoda. Entah hukuman apa yang akan diturunkan para dewa untuknya. Sayangnya dia amat sangat pecundang. Setelah merampas keperawanan Weni, Damar puas lalu ia pun tak mampu melihat wajah gadis itu lagi. Ia pulang mencari istrinya. Wanita baik hati yang telah memberinya dua anak. “Apa yang telah aku lakukan?” gumamnya sambil mengikat rambut. Bagaimana nanti kalau Kinanti tahu dan sedih. Bagaimana pula kalau Demang Ranu tahu dan membunuhnya? “Harusnya aku berpikir lebih jernih tadi. Rayuannya benar-benar dahsyat.” Menyesal pun Damar seribu kali tak akan bisa membawanya kembali ke masa lalu sepersekian saat yang telah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur
Baca selengkapnya

Minyak Wangi

Weni memang kecewa dengan keputusan Damar. Tapi, dia akan melakukan segala cara lagi agar lelaki itu tak menolaknya. Baginya malam tempo hari bukanlah sebuah kebodohan. “Kenapa? Padahal aku sudah secantik ini jadi orang.” Weni mengelus pipinya yang halus. Saat malam kejadian, Damar senang sekali membelai dan mengecupnya. “Kau yakin bisa menghindar dariku? Aku tidak yakin, Paman. Aku saja mengagumi wajah cantikku. Apalagi lelaki kurang kasih sayag sepertimu.” Kemudian Weni tersenyum. Mungkin sekarang Damar masih merasa berdosa karena mengkhianati istrinya. Tapi kalau sudah berkali-kali tentu dosa itu akan terasa biasa-biasa saja. Weni pun menjalani hari-harinya seperti biasa. Bersikap jual mahal dengan babu itu, tapi tetap mempercantik dirinya. Seperti siang hari sekarang, Weni dipanggil oleh demangnya untuk memasuki puri bagian dalam. Tak banyak selir yang diperbolehkan ke sana, termasuk Kemangi atau Lintang. Demang Ranu telah jatuh hati sepenuhnya pada Weni. “Lihat, sudah lama
Baca selengkapnya

Hutang Darah

Murti diberikan oleh Damar satu kantong penuh perak. Ia tak tahu asalnya dari mana yang jelas kandanya ingin berbagi saja.“Kenapa tidak digunakan untuk pengobatan Dayu Kinanti saja, Kanda?” “Dia tak mau lagi berobat, dia sudah menyerah, Kanda pasrah saja,” jawab Damar waktu itu.Murti bimbang harus menggunakan perak itu untuk apa. Untuk kebutuhan makan sendiri ia rajin menanam, untuk pakaian dia bukan seperti gadis lain yang suka bersolek. Hanya saja hatinya terasa hampa. Terutama sejak Pawana memberitahu bahwa ia tak lama lagi akan dinikahkan mengikuti titah pangeran. “Dulu aku pernah bilang, aku tak peduli jadi selir atau apa pun asal bisa bersamamu, ternyata rasanya sesakit ini.” Murti mengemas peraknya. Ia letakkan bersisian di sebelah perak pemberian Pawana yang masih datang untuk makan di rumahnya. Sudah diusir lelaki itu tapi tak juga tahu diri. Hati mereka telah terpaut satu sama lain. “Mintalah pelayan di rumahmu untuk memasakkannya, aku tunjukkan caranya,” kata Murti t
Baca selengkapnya

Pernikahan

Murti tak paham apa maksud dari hutang darah yang dikatakan Pawana. Namun, tak butuh waktu lama baginya untuk mengerti. Ketika lelaki itu datang dan memeluk serta mengecup pipinya berkali-kali. “Haruskah hutang darah itu dibayar sekarang?” tanya Murti yang tak bisa menampik kalau ia juga suka. “Hutang darah bayar darah, kau paham maksuduku, kan? Hari ini kita lepas semuanya, besok aku sudah menikah dan aku akan datang kemari sering-serig sesuai janjiku.” Tanpa pikir panjang lagi, kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu naik ke rumah Murti. Dimulai dari melepas satu demi satu selendang, perhiasan tanda Pawana adalah lelaki berkasta tinggi. Murti menyerah di dalam rayuan indah Pawana. Prajurit itu juga sama saja, menyerah atas keindahan dan lekukan tubuh Murti. Tidak ada yang menggangu karena jarak antara satu rumah dan yang lain sangat jauh, apalagi Murti memutuskan menyendiri karena julukan perawan tua. Kini ia bukan perawan tua lagi dan Pawana bukan jejaka sebelum pernikahan
Baca selengkapnya

Karma

Tak terasa waktu berjalan sudah tiga purnama lamanya. Ular merah itu semakin betah berada di dalam tubuh Weni. Dan ia menunggu malam bulan purnama untuk keluar dan memanggil saudarinya. Selama tiga purnama pula kisah pengkhianatan terus saja berajalan. Damar dan Weni tak peduli lagi walau maut akan datang. Weni merasa tak aman, sebab bisa saja sewaktu-watku lelaki tua itu memergokinya. Lalu ia pun mati dipenggal dan tak sempat merasakan kebahagiaan bersama pamannya. “Padahal dia sudah kuberi minum setiap hari, kenapa tak mati-mati juga,” ucap Weni ketika melihat Demang Ranu justru di pagi hari wajahnya cerah. “Weni, kau tahu temanmu yang bernama Lintang, salah satu selirku juga?” tanya sang pemilik puri. “Tahu, kenapa dengannya, Kang Mas?” “Dia akan aku hukum mati pagi ini.” Demang Ranu mengambil pedangnya yang berat. Walau jatuh, diambilnya lagi menunjukkan ia masih sok kuat. Weni yang mendengar kabar itu jadi diam di tempatnya berdiri. “Kenapa?” tanya selir itu sambil menaha
Baca selengkapnya

Santet

“Tidak, Kanda!” Murti ingin melompat ke dalam api. Pawana kaget mengetahui selirnya ada di sana. Sontak ia memeluk Murti agar tak mati terbakar. Wanita yang sedang hamil itu meronta dan berusaha sekuat tenaga. Tapi api yang terus berkobar membuat semuanya hangus jadi abu dalam sekejap mata. “Kanda, Mbok, keponakanku, keluar!” jeritnya berkali-kali. “Lepakan aku!” Murti menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya ia mendapati Pawana dalang dari semuanya. “Memang bangsat kelakuanmu, setan alas. Apa salah mereka kau bakar hidup-hidup?” “Aku hanya menjalankan perintah dari pangeran, membasmi semua yang terlibat dan termasuk istri dan anak di dalamnya.” “Bodoh, mereka tak berdosa. Kau sembah sana kaki pangeranmu sekalian!” Sambil menghapus air mata, Murti meninggalkan sesuatu yang tak akan bisa diselamatkan lagi. “Murti, Dinda, tunggu, kau mau ke mana?” Pawana mengejar kekasihnya. “Bunuh diri, aku tak punya keluarga lagi.” “Jangan, masih ada aku di sini. Aku sudah menemukan cara membaw
Baca selengkapnya

Kutukan atau Pertolongan?

Ular merah itu terus melata meninggalkan tubuh inangnya. Ia berjalan jauh demi menemui enam saudara yang menunggu di dalam hutan. Beberapa pemangsa secara alami tentu ditemukan sepanjang perjalanan. Namun, ia bukan ular yang ditakdirkan untuk mati dan menjalani hukuman seumur hidupnya. Ular itu bahkan membunuh yang memburu dengan bisanya. Sampailah dia di dalam hutan tempat di mana saudara-saudaranya menunggu. Tujuh ular itu saling menegakkan kepala dan si merah memimpin perjalanan. Awal mula mereka memang bertujuh. Namun, enam yang lain mendekati kakak tertua mereka kemudian saling membelit satu sama lain sambil berjalan. Perlahan-lahan ular itu menjadi satu warna layaknya pelangi yang indah. Ular itu berukuran amat sangat besar dengan panjang melebihi dahan pohon tua. Lidahnya bercabang menjadi tujuh dan setiap sisik yang rontok berubah menjadi batu-batu yang indah. Ke mana sang tuan pergi? Ular itu tak melihatnya, padahal Weni di dalam rumah kosong itu tadinya. Kemudian ular
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
151617181920
DMCA.com Protection Status