Weni memang kecewa dengan keputusan Damar. Tapi, dia akan melakukan segala cara lagi agar lelaki itu tak menolaknya. Baginya malam tempo hari bukanlah sebuah kebodohan. “Kenapa? Padahal aku sudah secantik ini jadi orang.” Weni mengelus pipinya yang halus. Saat malam kejadian, Damar senang sekali membelai dan mengecupnya. “Kau yakin bisa menghindar dariku? Aku tidak yakin, Paman. Aku saja mengagumi wajah cantikku. Apalagi lelaki kurang kasih sayag sepertimu.” Kemudian Weni tersenyum. Mungkin sekarang Damar masih merasa berdosa karena mengkhianati istrinya. Tapi kalau sudah berkali-kali tentu dosa itu akan terasa biasa-biasa saja. Weni pun menjalani hari-harinya seperti biasa. Bersikap jual mahal dengan babu itu, tapi tetap mempercantik dirinya. Seperti siang hari sekarang, Weni dipanggil oleh demangnya untuk memasuki puri bagian dalam. Tak banyak selir yang diperbolehkan ke sana, termasuk Kemangi atau Lintang. Demang Ranu telah jatuh hati sepenuhnya pada Weni. “Lihat, sudah lama
Murti diberikan oleh Damar satu kantong penuh perak. Ia tak tahu asalnya dari mana yang jelas kandanya ingin berbagi saja.“Kenapa tidak digunakan untuk pengobatan Dayu Kinanti saja, Kanda?” “Dia tak mau lagi berobat, dia sudah menyerah, Kanda pasrah saja,” jawab Damar waktu itu.Murti bimbang harus menggunakan perak itu untuk apa. Untuk kebutuhan makan sendiri ia rajin menanam, untuk pakaian dia bukan seperti gadis lain yang suka bersolek. Hanya saja hatinya terasa hampa. Terutama sejak Pawana memberitahu bahwa ia tak lama lagi akan dinikahkan mengikuti titah pangeran. “Dulu aku pernah bilang, aku tak peduli jadi selir atau apa pun asal bisa bersamamu, ternyata rasanya sesakit ini.” Murti mengemas peraknya. Ia letakkan bersisian di sebelah perak pemberian Pawana yang masih datang untuk makan di rumahnya. Sudah diusir lelaki itu tapi tak juga tahu diri. Hati mereka telah terpaut satu sama lain. “Mintalah pelayan di rumahmu untuk memasakkannya, aku tunjukkan caranya,” kata Murti t
Murti tak paham apa maksud dari hutang darah yang dikatakan Pawana. Namun, tak butuh waktu lama baginya untuk mengerti. Ketika lelaki itu datang dan memeluk serta mengecup pipinya berkali-kali. “Haruskah hutang darah itu dibayar sekarang?” tanya Murti yang tak bisa menampik kalau ia juga suka. “Hutang darah bayar darah, kau paham maksuduku, kan? Hari ini kita lepas semuanya, besok aku sudah menikah dan aku akan datang kemari sering-serig sesuai janjiku.” Tanpa pikir panjang lagi, kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu naik ke rumah Murti. Dimulai dari melepas satu demi satu selendang, perhiasan tanda Pawana adalah lelaki berkasta tinggi. Murti menyerah di dalam rayuan indah Pawana. Prajurit itu juga sama saja, menyerah atas keindahan dan lekukan tubuh Murti. Tidak ada yang menggangu karena jarak antara satu rumah dan yang lain sangat jauh, apalagi Murti memutuskan menyendiri karena julukan perawan tua. Kini ia bukan perawan tua lagi dan Pawana bukan jejaka sebelum pernikahan
Tak terasa waktu berjalan sudah tiga purnama lamanya. Ular merah itu semakin betah berada di dalam tubuh Weni. Dan ia menunggu malam bulan purnama untuk keluar dan memanggil saudarinya. Selama tiga purnama pula kisah pengkhianatan terus saja berajalan. Damar dan Weni tak peduli lagi walau maut akan datang. Weni merasa tak aman, sebab bisa saja sewaktu-watku lelaki tua itu memergokinya. Lalu ia pun mati dipenggal dan tak sempat merasakan kebahagiaan bersama pamannya. “Padahal dia sudah kuberi minum setiap hari, kenapa tak mati-mati juga,” ucap Weni ketika melihat Demang Ranu justru di pagi hari wajahnya cerah. “Weni, kau tahu temanmu yang bernama Lintang, salah satu selirku juga?” tanya sang pemilik puri. “Tahu, kenapa dengannya, Kang Mas?” “Dia akan aku hukum mati pagi ini.” Demang Ranu mengambil pedangnya yang berat. Walau jatuh, diambilnya lagi menunjukkan ia masih sok kuat. Weni yang mendengar kabar itu jadi diam di tempatnya berdiri. “Kenapa?” tanya selir itu sambil menaha
“Tidak, Kanda!” Murti ingin melompat ke dalam api. Pawana kaget mengetahui selirnya ada di sana. Sontak ia memeluk Murti agar tak mati terbakar. Wanita yang sedang hamil itu meronta dan berusaha sekuat tenaga. Tapi api yang terus berkobar membuat semuanya hangus jadi abu dalam sekejap mata. “Kanda, Mbok, keponakanku, keluar!” jeritnya berkali-kali. “Lepakan aku!” Murti menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya ia mendapati Pawana dalang dari semuanya. “Memang bangsat kelakuanmu, setan alas. Apa salah mereka kau bakar hidup-hidup?” “Aku hanya menjalankan perintah dari pangeran, membasmi semua yang terlibat dan termasuk istri dan anak di dalamnya.” “Bodoh, mereka tak berdosa. Kau sembah sana kaki pangeranmu sekalian!” Sambil menghapus air mata, Murti meninggalkan sesuatu yang tak akan bisa diselamatkan lagi. “Murti, Dinda, tunggu, kau mau ke mana?” Pawana mengejar kekasihnya. “Bunuh diri, aku tak punya keluarga lagi.” “Jangan, masih ada aku di sini. Aku sudah menemukan cara membaw
Ular merah itu terus melata meninggalkan tubuh inangnya. Ia berjalan jauh demi menemui enam saudara yang menunggu di dalam hutan. Beberapa pemangsa secara alami tentu ditemukan sepanjang perjalanan. Namun, ia bukan ular yang ditakdirkan untuk mati dan menjalani hukuman seumur hidupnya. Ular itu bahkan membunuh yang memburu dengan bisanya. Sampailah dia di dalam hutan tempat di mana saudara-saudaranya menunggu. Tujuh ular itu saling menegakkan kepala dan si merah memimpin perjalanan. Awal mula mereka memang bertujuh. Namun, enam yang lain mendekati kakak tertua mereka kemudian saling membelit satu sama lain sambil berjalan. Perlahan-lahan ular itu menjadi satu warna layaknya pelangi yang indah. Ular itu berukuran amat sangat besar dengan panjang melebihi dahan pohon tua. Lidahnya bercabang menjadi tujuh dan setiap sisik yang rontok berubah menjadi batu-batu yang indah. Ke mana sang tuan pergi? Ular itu tak melihatnya, padahal Weni di dalam rumah kosong itu tadinya. Kemudian ular
Pangeran telah naik takhta menjadi Gusti Prabu. Tentu saja kedudukan Pawana naik menjadi lebih tinggi. Keberhasilan telah mereka berdua raih, terutama setelah berhail menghabiskan kekuasaan Demang Ranu sampai ke akar-akarnya dan tak tersisa satu orang pun.Pawana memperoleh hadiah. Ia kini tinggal tak jauh dari istana. Puri yang besar, tanah yang luas, serta kuda-kuda terbaik, tak lupa pula orang-orang pilihan yang menjadi kepercayaannya. Termasuk pula istri yang masih berusia belum belasan tahun dan sedang bermain dengan pengasuhnya. Lelaki berkumis tebal itu hanya menghela napas saja. Ia jadi rindu Murti yang tinggal di luar rumah. Wanita itu belum memaafkannya. “Siapakan kuda juga pedati. Mau tak mau dia akan aku bawa ke rumah hari ini. Tidak ada yang bisa menghalangiku sekali pun Gusti Prabu!” perintah Pawana pada orang-orang kepercayannya. Berangkatlah mereka beberapa orang termasuk Pawana sekaligus. Terhitung sejak dua purnama sudah kejadian mengerikan ia membakar keluarga Da
“Putraku, kau lahir juga akhirnya.” Pawana memegang anak lelaki yang belum lama dilahirkan oleh Murti. Sedangkan istrinya masih berbaring karena lelah. “Jemput ibundaku, katakan padanya kalau penerus keluarga ini sudah lahir.” Perintah telah turun dari pemilik puri. Kemudian berangkatlah beberapa orang dan pedati ke tempat sang ibu sembahyang. “Terima kasih, Dinda, kau memang takdir yang paling indah untukku.” Pawana memegang kepala Murti yang masih lemah. Wanita itu hanya tersenyum saja. Pawana mengatakan dirinya adalah takdir yang indah. ‘Sedangkan kau adalah takdir paling buruk yang pernah aku temui. Lihat saja, aku akan mulai mengambil satu demi satu darimu,’ gumam Murti dalam hati. Sekarang dia memang masih lelah. Tapi beberapa hari kemudian, Murti akan baik-baik saja dengan ramuan yang dukun beranak tinggalkan padanya. Sang ibu sampai dengan pakaian terbaiknya. Sudah lama wanita yang baru saja menjadi nenek itu tak berdandan rapi. Namun, demi cucu lelakinya akan ia abaikan