Ular merah itu terus melata meninggalkan tubuh inangnya. Ia berjalan jauh demi menemui enam saudara yang menunggu di dalam hutan. Beberapa pemangsa secara alami tentu ditemukan sepanjang perjalanan. Namun, ia bukan ular yang ditakdirkan untuk mati dan menjalani hukuman seumur hidupnya. Ular itu bahkan membunuh yang memburu dengan bisanya. Sampailah dia di dalam hutan tempat di mana saudara-saudaranya menunggu. Tujuh ular itu saling menegakkan kepala dan si merah memimpin perjalanan. Awal mula mereka memang bertujuh. Namun, enam yang lain mendekati kakak tertua mereka kemudian saling membelit satu sama lain sambil berjalan. Perlahan-lahan ular itu menjadi satu warna layaknya pelangi yang indah. Ular itu berukuran amat sangat besar dengan panjang melebihi dahan pohon tua. Lidahnya bercabang menjadi tujuh dan setiap sisik yang rontok berubah menjadi batu-batu yang indah. Ke mana sang tuan pergi? Ular itu tak melihatnya, padahal Weni di dalam rumah kosong itu tadinya. Kemudian ular
Pangeran telah naik takhta menjadi Gusti Prabu. Tentu saja kedudukan Pawana naik menjadi lebih tinggi. Keberhasilan telah mereka berdua raih, terutama setelah berhail menghabiskan kekuasaan Demang Ranu sampai ke akar-akarnya dan tak tersisa satu orang pun.Pawana memperoleh hadiah. Ia kini tinggal tak jauh dari istana. Puri yang besar, tanah yang luas, serta kuda-kuda terbaik, tak lupa pula orang-orang pilihan yang menjadi kepercayaannya. Termasuk pula istri yang masih berusia belum belasan tahun dan sedang bermain dengan pengasuhnya. Lelaki berkumis tebal itu hanya menghela napas saja. Ia jadi rindu Murti yang tinggal di luar rumah. Wanita itu belum memaafkannya. “Siapakan kuda juga pedati. Mau tak mau dia akan aku bawa ke rumah hari ini. Tidak ada yang bisa menghalangiku sekali pun Gusti Prabu!” perintah Pawana pada orang-orang kepercayannya. Berangkatlah mereka beberapa orang termasuk Pawana sekaligus. Terhitung sejak dua purnama sudah kejadian mengerikan ia membakar keluarga Da
“Putraku, kau lahir juga akhirnya.” Pawana memegang anak lelaki yang belum lama dilahirkan oleh Murti. Sedangkan istrinya masih berbaring karena lelah. “Jemput ibundaku, katakan padanya kalau penerus keluarga ini sudah lahir.” Perintah telah turun dari pemilik puri. Kemudian berangkatlah beberapa orang dan pedati ke tempat sang ibu sembahyang. “Terima kasih, Dinda, kau memang takdir yang paling indah untukku.” Pawana memegang kepala Murti yang masih lemah. Wanita itu hanya tersenyum saja. Pawana mengatakan dirinya adalah takdir yang indah. ‘Sedangkan kau adalah takdir paling buruk yang pernah aku temui. Lihat saja, aku akan mulai mengambil satu demi satu darimu,’ gumam Murti dalam hati. Sekarang dia memang masih lelah. Tapi beberapa hari kemudian, Murti akan baik-baik saja dengan ramuan yang dukun beranak tinggalkan padanya. Sang ibu sampai dengan pakaian terbaiknya. Sudah lama wanita yang baru saja menjadi nenek itu tak berdandan rapi. Namun, demi cucu lelakinya akan ia abaikan
Damar tersadar setelah tubuhnya dibuang ke dalam jurang. Sakit, jauh lebih baik mati daripada menderita. Jimat yang ia gantungkan di leher bahkan tak bisa dibuka agar ia bisa mengembuskan napas terakhir. Lambat laun tubuh yang dulu gagah dan menjadi incaran Weni, tak lagi kekar. Ia mulai digerogoti cacing tanah, ulat, bahkan ada binatang buas yang mencabik dagingnya. Damar berharap tewas, tapi tidak juga. Atau ia berharap ada yang menarik jimatnya. Tapi tak ada manusia yang melintas di belantara rimba itu.“Dewa, apakah ini balasan atas pengkhianatanku pada Kinanti,” gumamnya ketika melihat seekor ular mencabik tubuhnya.Tulang Damar mulai kelihatan. Ia tak tahu sudah berapa lama terbaring di sana. Entah hari bulan atau tahun. Lelaki itu sudah memohon pada yang kuasa agar mengampuni dosanya. Juga meminta agar nyawanya dicabut. Lalu turun hujan deras, petir, berganti gemuruh, panas dan ragam cuaca telah ia lewati. Tubuhnya kerempeng bukan kurus lagi. Ia terus menangis mengingat Kin
Damar menempuh perjalanan tanpa tujuan yang jelas. Setiap berjumpa dengan orang dia akan merasakan lapar luar biasa. Nurani manusianya masih ada, meski terkadang sulit untuk menghindar. Seperti siang ini ketika ia melihat dua orang lelaki menyeret paksa seorang gadis tak berdosa. Gadis itu masihlah amat sangat belia. Sedikit mengingatkannya pada seseorang. “Tapi aku lupa siapa namanya.” Lelaki berambut putih itu melupakan Weni sesuai dengan keinginannya dulu. Mata biru Damar lurus dan tajam memandang seorang gadis yang kainnya mulai dirobek. Mulutnya dibekap oleh salah satu lelaki dan dua kakinya mulai dibuka. Pada saat itulah Damar berlari menjauh, tetapi kemudian mengubah wujud menjadi harimau dan melompat serta menerkam salah satu lelaki yang hampir sedikit lagi merenggut kesucian sang gadis. Tak ayal lelaki bejad itu mati dalam keadaan leher berlubang besar. Tinggal tersisa satu lagi yang berlari sambil kencing di celana. Ia ketakutan setengah mati, tapi tetap saja mampus di
“Kau benar-benar tak punya tempat tujuan?” tanya Damar sekali lagi pada Samara. Gadis itu menggeleng saja. “Aku bisa mengantarmu pulang, cukup bayangkan saja tempatnya di mana?” Tawaran dari manusia harimau yang cukup menarik. “Aku tak mau pulang, Tuan. Nanti aku dijual lagi.”“Aku jamin tidak. Mungkin ini cukup buat kalian, kalau kurang akan aku tambah lagi.” Lelaki bermata biru itu menyodorkan beberapa emas putih dalam bentuk perhiasan. Siapa pun mendadak sugih kalau memilikinya. Samara sempat membelalak. Namun, ia tak ingin perhiasan. Gadis polos itu jauh lebih menginginkan sang pemilik emas. Iya, dari lubuk hati terdalam Samara telah jatuh dalam pesona sang manusia harimau. Siapa yang bisa menolak? Tidak ada. Damar terlaku rupawan. “Aku tidak mau emasnya,” ucap Samara dengan jantung berdegup kencang. Damar bisa merasakan dan mendengar. Tentu sebagai lelaki yang pernah jatuh cinta dengan hebat, ia tahu jenis perasaan apa itu. “Terserah kau saja, jangan ikuti aku lagi.” Damar
Tak butuh waktu lama bagi Damar untuk mendapatkan anak setelah dua sebelumnya tewas. Anak laki-laki dilahirkan oleh Samara, meski ibunya meregang nyawa dengan perut terbelah dan mata terbelalak. Harimau putih itu tak menangis sama sekali. Ia mengambil bayi yang jelas ada darah harimau juga lalu mengikat di tubuh bagian depan. Pertama kali ia susukan anaknya pada seekor indukan harimau yang sedang berbaring. Sebagai penguasa Bukit Buas, ia bisa mengatur semuanya. “Samara, aku akan membuatmu hidup kembali,” ucap Damar yang dibekali kemampuan dari langit. Binatang yang bersemayam di dalam tubuhnya peliharan salah satu dewa. Ia pun berjalan kaki mengelilingi Bukit Buas dan menemukan satu mayat harimau betina yang baru saja kaku. Jantungnya diambail dan jasadnya dikubur. Sesegera mungkin jantung manusia Samara digantikan dengan yang baru. Setelah selesai proses penyatuan, ia pun membawa Samara turun ke ke telaga dan membenamkan tubuh itu ke dalamnya. Selama dua belas purnama apabila
Semakin hari Tuan Putri merasakan sesak napas di dadanya. Disertai keringat dingin dan tangan gemetar. Setelah itu ia tak akan bisa bangun beberapa saat lamanya. “Tuan Putri, kau kenapa?” tanya Ruyi yang menyambangi kamar temannya. “Tak tahu, rasanya tubuhku semakin saja.” “Minta panggilkan tabib oleh Nyonya.”“Sudah, dan tak ada perubahan. Entah mengapa aku meras—” “Nyonya yang melakukan semua ini?” tebak Ruyi. “Bahkan aku tak berani menduga, tapi kau cukup berani.” “Hanya cukup berani tidak bisa menghadapinya. Aku merasa penguasa di puri ini bukannlah Tuan Pawana, melainkan dia. Sungguh kita tak berdaya dibuatnya, ditambah aku hanyalah tawanan kerajaan, aku tak punya pelayan sendiri. Aku tidak percaya dengan siapa pun.” “Karena itu jalan satu-satunya adalah tetap hidup dengan baik. Layani saja suami kita tanpa ada perlawanan. Dengan begitu mungkin Selir Murti akan berbelas kasihan dengan kita, Ruyi.” Tuan Putri menarik napas berat. Dadanya serasa dihujam seribu jarum tajam.“