Semakin hari Tuan Putri merasakan sesak napas di dadanya. Disertai keringat dingin dan tangan gemetar. Setelah itu ia tak akan bisa bangun beberapa saat lamanya. “Tuan Putri, kau kenapa?” tanya Ruyi yang menyambangi kamar temannya. “Tak tahu, rasanya tubuhku semakin saja.” “Minta panggilkan tabib oleh Nyonya.”“Sudah, dan tak ada perubahan. Entah mengapa aku meras—” “Nyonya yang melakukan semua ini?” tebak Ruyi. “Bahkan aku tak berani menduga, tapi kau cukup berani.” “Hanya cukup berani tidak bisa menghadapinya. Aku merasa penguasa di puri ini bukannlah Tuan Pawana, melainkan dia. Sungguh kita tak berdaya dibuatnya, ditambah aku hanyalah tawanan kerajaan, aku tak punya pelayan sendiri. Aku tidak percaya dengan siapa pun.” “Karena itu jalan satu-satunya adalah tetap hidup dengan baik. Layani saja suami kita tanpa ada perlawanan. Dengan begitu mungkin Selir Murti akan berbelas kasihan dengan kita, Ruyi.” Tuan Putri menarik napas berat. Dadanya serasa dihujam seribu jarum tajam.“
Dengan penuh kesabaran Gita menunggu dari minggu menjadi bulan lalu tahun untuk mengambil hati Gusti Prabu. Dan kesabaran itu membuahkan hasil. Ia diangkat menjadi selir kesayangan dan melayani langsung kebutuhan sang raja tanpa menunggu perintah siapa pun. Hari demi hari dilalui dengan sangat manis. Gita yang telah dilatih menjadi pembunuh berdarah dingin melakukan semuanya dengan hati-hati tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Membunuh sang prabu tidak boleh terburu-buru. Maka Gita lakukan dengan penuh kematangan rencana, hingga suaminya jatuh sakit dari hari berubah menjadi minggu dan bulan lalu tahun. Pada tahun kedua sakit sang prabu tak lama kemudian ia pun tewas di pangkuan Gita yang menemaninya mengembuskan napas terakhir. “Selamat tinggal kekasihku, kau tidak lagi aku butuhkan, sekarang aku bebas dari baktiku pada ibu.” Gita membelai rambut sang prabu yang juga sudah beruban. Kabar kematian pun menyebar dengan cepat. Pawana sampai tertunduk lesu dibuatnya. Memang tidak t
Ular tujuh warna itu sedang melingkar pada sebatang pohon. Ia sedang tidur panjang tanpa ingin diganggu oleh siapa pun. Cuaca dingin dan basah merupakan hal yang menyenangkan. Tapi tidak ada salahnya juga mencari kehangatan. Perlahan-lahan ular itu melata dan turun, kemudian kulit lamanya mengelupas dan terganti oleh kulit yang baru. Panjang sekali dan setelah pergantian kulit ia akan menjadi sangat lapar dan ganas. Binatang tujuh warna itu itu mengubah wujud menjadi manusia biasa. Weni menggunakan sutera berwarna kuning, dengan rambut panjang melewati pinggang serta kulit putih tanpa cela. Gigi-giginya yang rapi sesekali timbul taring kalau belum bisa mengendalikan diri. Perempuan itu menarik napas panjang. Aroma tubuh manusia tercium jelas di hidungnya. Ia berjalan mendekat dan sengaja mencari perhatian. Sejak menjadi ular, Weni sudah jauh berbeda. “Tuan, datanglah ke sini,” bisikannya terbawa angin. Ada seorang pemburu yang diutus oleh bangsawan ke tengah hutan untuk mencari
Hari demi hari makin santer berita terdengar tentang seekor ular ganas yang meresahkan warga. Sang prabu yang baru dinobatkan sampai mempercayakan hal ini pada orang-orangnya.Diutuslah beberapa kesatria pilih tanding, tetapi mereka lupa kalau yang dihadapi adalah siluman yang belum bisa mengendalikan diri. Tujuh yang pergi empat yang kembali, dua menjadi mayat satu menjadi santapan di perut Weni.Konon ular itu adalah kiriman dewa atas dosa-dosa rakyat yang gemar berbuat curang. Padahal Weni hanya butuh waktu untuk menyendiri. Tapi dia sering lapar hingga harus keluar mencari makan.Sang prabu tak sampai hati melihat korban terus berjatuhan. Dengan segala kerendahan hati, ia pun menyembah dewa dan meminta pertolongan agar ular tersebut mati saja atau pergi dari wilayahnya. Namun, beberapa hari lamanya doa sang prabu belum juga dijawab dan ia takut kalau ular itu melata ke istana untuk mencari korban yang baru. "Gusti Prabu, ampuni hamba, tapi ada orang suci di luar yang ingin bertem
Ular tujuh warna itu terdampar di daerah pinggiran. Perlahan-lahan, Weni melata naik ke atas pohon besar. Tempat yang ia huni sekarang begitu asing, seperti ia yang bangun dengan wajah berbeda. “Tempat apa ini? Mengapa jadi berbeda?” tanya ular tujuh warna itu pada desir angin yang berembus.Nasibnya kini sebatang kara tanpa kekasih tanpa orang tua. Namun, setelah menjadi siluman apa dia perlu kehadiran orang lain? Nyatanya Weni merasa kesepian di hutan yang sunyi itu. Ia hanya ditemani kodok, jangkrik, ular kecil-kecil dan binatang lainnya. Tak sampai hati pula memakan mereka yang lemah. “Lama-lama aku bisa gila tinggal di sini sendirian. Aku harus mencari tempat di mana ada orang. Aku juga butuh makan.” Perempuan dengan mata warna-warni itu baru saja ganti kulit. Tentu saja ia kelaparan. “Hei, kalian ke mana, kenapa tidak ribut lagi?” Weni berbicara dengan para penghuni di tubuhya. Tujuh ular itu sejak Weni bisa membuat banjir besar tak lagi memerintahnya harus ini dan itu. Mer
“Kang Mas.” Murti membawa Pawana menyingkir secepatnya, sebelum kena pengaruh sihir ular hitam.Binatang melata itu hanya memperhatikan kepergian dua manusia harimau yang membuatnya menelan ludah. Memang Murti dan Pawana bukanlah lawannya, tapi Damar lain lagi ceritanya. “Kenapa ada ular di bukit ini?” tanya Pawana yang dibawa Murti pergi jauh. “Namanya juga hutan, kita bisa apa?” “Kita bisa pergi dari sini, Dinda, kita bisa mencari wilayah lain.” Pawana mengikuti nalurinya sebagai harimau jantan. “Aku tidak mau, aku ingin bersama kandaku. Tolonglah, Kang Mas. Lagi pula apa yang kau cari lagi di luar sana. Di sini sudah enak, nyaman, sejuk dan tenang, tahu sendiri sejak jadi binatang darah kita panas.” “Tapi di sini aku hanya pecundang, Dinda.” Jatuh harga diri Pawana yang selama jadi manusia, dialah yang memerintah bahkan membunuh Damar dulu. “Tidak ada yang menganggapmu pecundang, Kang Mas. Sudahlah di sini saja, jangan ke mana-mana lagi, ya, ya.” Murti—perempuan yang rambutny
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun