Hari demi hari makin santer berita terdengar tentang seekor ular ganas yang meresahkan warga. Sang prabu yang baru dinobatkan sampai mempercayakan hal ini pada orang-orangnya.Diutuslah beberapa kesatria pilih tanding, tetapi mereka lupa kalau yang dihadapi adalah siluman yang belum bisa mengendalikan diri. Tujuh yang pergi empat yang kembali, dua menjadi mayat satu menjadi santapan di perut Weni.Konon ular itu adalah kiriman dewa atas dosa-dosa rakyat yang gemar berbuat curang. Padahal Weni hanya butuh waktu untuk menyendiri. Tapi dia sering lapar hingga harus keluar mencari makan.Sang prabu tak sampai hati melihat korban terus berjatuhan. Dengan segala kerendahan hati, ia pun menyembah dewa dan meminta pertolongan agar ular tersebut mati saja atau pergi dari wilayahnya. Namun, beberapa hari lamanya doa sang prabu belum juga dijawab dan ia takut kalau ular itu melata ke istana untuk mencari korban yang baru. "Gusti Prabu, ampuni hamba, tapi ada orang suci di luar yang ingin bertem
Ular tujuh warna itu terdampar di daerah pinggiran. Perlahan-lahan, Weni melata naik ke atas pohon besar. Tempat yang ia huni sekarang begitu asing, seperti ia yang bangun dengan wajah berbeda. “Tempat apa ini? Mengapa jadi berbeda?” tanya ular tujuh warna itu pada desir angin yang berembus.Nasibnya kini sebatang kara tanpa kekasih tanpa orang tua. Namun, setelah menjadi siluman apa dia perlu kehadiran orang lain? Nyatanya Weni merasa kesepian di hutan yang sunyi itu. Ia hanya ditemani kodok, jangkrik, ular kecil-kecil dan binatang lainnya. Tak sampai hati pula memakan mereka yang lemah. “Lama-lama aku bisa gila tinggal di sini sendirian. Aku harus mencari tempat di mana ada orang. Aku juga butuh makan.” Perempuan dengan mata warna-warni itu baru saja ganti kulit. Tentu saja ia kelaparan. “Hei, kalian ke mana, kenapa tidak ribut lagi?” Weni berbicara dengan para penghuni di tubuhya. Tujuh ular itu sejak Weni bisa membuat banjir besar tak lagi memerintahnya harus ini dan itu. Mer
“Kang Mas.” Murti membawa Pawana menyingkir secepatnya, sebelum kena pengaruh sihir ular hitam.Binatang melata itu hanya memperhatikan kepergian dua manusia harimau yang membuatnya menelan ludah. Memang Murti dan Pawana bukanlah lawannya, tapi Damar lain lagi ceritanya. “Kenapa ada ular di bukit ini?” tanya Pawana yang dibawa Murti pergi jauh. “Namanya juga hutan, kita bisa apa?” “Kita bisa pergi dari sini, Dinda, kita bisa mencari wilayah lain.” Pawana mengikuti nalurinya sebagai harimau jantan. “Aku tidak mau, aku ingin bersama kandaku. Tolonglah, Kang Mas. Lagi pula apa yang kau cari lagi di luar sana. Di sini sudah enak, nyaman, sejuk dan tenang, tahu sendiri sejak jadi binatang darah kita panas.” “Tapi di sini aku hanya pecundang, Dinda.” Jatuh harga diri Pawana yang selama jadi manusia, dialah yang memerintah bahkan membunuh Damar dulu. “Tidak ada yang menganggapmu pecundang, Kang Mas. Sudahlah di sini saja, jangan ke mana-mana lagi, ya, ya.” Murti—perempuan yang rambutny
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun
Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a