“Kau benar-benar tak punya tempat tujuan?” tanya Damar sekali lagi pada Samara. Gadis itu menggeleng saja. “Aku bisa mengantarmu pulang, cukup bayangkan saja tempatnya di mana?” Tawaran dari manusia harimau yang cukup menarik. “Aku tak mau pulang, Tuan. Nanti aku dijual lagi.”“Aku jamin tidak. Mungkin ini cukup buat kalian, kalau kurang akan aku tambah lagi.” Lelaki bermata biru itu menyodorkan beberapa emas putih dalam bentuk perhiasan. Siapa pun mendadak sugih kalau memilikinya. Samara sempat membelalak. Namun, ia tak ingin perhiasan. Gadis polos itu jauh lebih menginginkan sang pemilik emas. Iya, dari lubuk hati terdalam Samara telah jatuh dalam pesona sang manusia harimau. Siapa yang bisa menolak? Tidak ada. Damar terlaku rupawan. “Aku tidak mau emasnya,” ucap Samara dengan jantung berdegup kencang. Damar bisa merasakan dan mendengar. Tentu sebagai lelaki yang pernah jatuh cinta dengan hebat, ia tahu jenis perasaan apa itu. “Terserah kau saja, jangan ikuti aku lagi.” Damar
Tak butuh waktu lama bagi Damar untuk mendapatkan anak setelah dua sebelumnya tewas. Anak laki-laki dilahirkan oleh Samara, meski ibunya meregang nyawa dengan perut terbelah dan mata terbelalak. Harimau putih itu tak menangis sama sekali. Ia mengambil bayi yang jelas ada darah harimau juga lalu mengikat di tubuh bagian depan. Pertama kali ia susukan anaknya pada seekor indukan harimau yang sedang berbaring. Sebagai penguasa Bukit Buas, ia bisa mengatur semuanya. “Samara, aku akan membuatmu hidup kembali,” ucap Damar yang dibekali kemampuan dari langit. Binatang yang bersemayam di dalam tubuhnya peliharan salah satu dewa. Ia pun berjalan kaki mengelilingi Bukit Buas dan menemukan satu mayat harimau betina yang baru saja kaku. Jantungnya diambail dan jasadnya dikubur. Sesegera mungkin jantung manusia Samara digantikan dengan yang baru. Setelah selesai proses penyatuan, ia pun membawa Samara turun ke ke telaga dan membenamkan tubuh itu ke dalamnya. Selama dua belas purnama apabila
Semakin hari Tuan Putri merasakan sesak napas di dadanya. Disertai keringat dingin dan tangan gemetar. Setelah itu ia tak akan bisa bangun beberapa saat lamanya. “Tuan Putri, kau kenapa?” tanya Ruyi yang menyambangi kamar temannya. “Tak tahu, rasanya tubuhku semakin saja.” “Minta panggilkan tabib oleh Nyonya.”“Sudah, dan tak ada perubahan. Entah mengapa aku meras—” “Nyonya yang melakukan semua ini?” tebak Ruyi. “Bahkan aku tak berani menduga, tapi kau cukup berani.” “Hanya cukup berani tidak bisa menghadapinya. Aku merasa penguasa di puri ini bukannlah Tuan Pawana, melainkan dia. Sungguh kita tak berdaya dibuatnya, ditambah aku hanyalah tawanan kerajaan, aku tak punya pelayan sendiri. Aku tidak percaya dengan siapa pun.” “Karena itu jalan satu-satunya adalah tetap hidup dengan baik. Layani saja suami kita tanpa ada perlawanan. Dengan begitu mungkin Selir Murti akan berbelas kasihan dengan kita, Ruyi.” Tuan Putri menarik napas berat. Dadanya serasa dihujam seribu jarum tajam.“
Dengan penuh kesabaran Gita menunggu dari minggu menjadi bulan lalu tahun untuk mengambil hati Gusti Prabu. Dan kesabaran itu membuahkan hasil. Ia diangkat menjadi selir kesayangan dan melayani langsung kebutuhan sang raja tanpa menunggu perintah siapa pun. Hari demi hari dilalui dengan sangat manis. Gita yang telah dilatih menjadi pembunuh berdarah dingin melakukan semuanya dengan hati-hati tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Membunuh sang prabu tidak boleh terburu-buru. Maka Gita lakukan dengan penuh kematangan rencana, hingga suaminya jatuh sakit dari hari berubah menjadi minggu dan bulan lalu tahun. Pada tahun kedua sakit sang prabu tak lama kemudian ia pun tewas di pangkuan Gita yang menemaninya mengembuskan napas terakhir. “Selamat tinggal kekasihku, kau tidak lagi aku butuhkan, sekarang aku bebas dari baktiku pada ibu.” Gita membelai rambut sang prabu yang juga sudah beruban. Kabar kematian pun menyebar dengan cepat. Pawana sampai tertunduk lesu dibuatnya. Memang tidak t
Ular tujuh warna itu sedang melingkar pada sebatang pohon. Ia sedang tidur panjang tanpa ingin diganggu oleh siapa pun. Cuaca dingin dan basah merupakan hal yang menyenangkan. Tapi tidak ada salahnya juga mencari kehangatan. Perlahan-lahan ular itu melata dan turun, kemudian kulit lamanya mengelupas dan terganti oleh kulit yang baru. Panjang sekali dan setelah pergantian kulit ia akan menjadi sangat lapar dan ganas. Binatang tujuh warna itu itu mengubah wujud menjadi manusia biasa. Weni menggunakan sutera berwarna kuning, dengan rambut panjang melewati pinggang serta kulit putih tanpa cela. Gigi-giginya yang rapi sesekali timbul taring kalau belum bisa mengendalikan diri. Perempuan itu menarik napas panjang. Aroma tubuh manusia tercium jelas di hidungnya. Ia berjalan mendekat dan sengaja mencari perhatian. Sejak menjadi ular, Weni sudah jauh berbeda. “Tuan, datanglah ke sini,” bisikannya terbawa angin. Ada seorang pemburu yang diutus oleh bangsawan ke tengah hutan untuk mencari
Hari demi hari makin santer berita terdengar tentang seekor ular ganas yang meresahkan warga. Sang prabu yang baru dinobatkan sampai mempercayakan hal ini pada orang-orangnya.Diutuslah beberapa kesatria pilih tanding, tetapi mereka lupa kalau yang dihadapi adalah siluman yang belum bisa mengendalikan diri. Tujuh yang pergi empat yang kembali, dua menjadi mayat satu menjadi santapan di perut Weni.Konon ular itu adalah kiriman dewa atas dosa-dosa rakyat yang gemar berbuat curang. Padahal Weni hanya butuh waktu untuk menyendiri. Tapi dia sering lapar hingga harus keluar mencari makan.Sang prabu tak sampai hati melihat korban terus berjatuhan. Dengan segala kerendahan hati, ia pun menyembah dewa dan meminta pertolongan agar ular tersebut mati saja atau pergi dari wilayahnya. Namun, beberapa hari lamanya doa sang prabu belum juga dijawab dan ia takut kalau ular itu melata ke istana untuk mencari korban yang baru. "Gusti Prabu, ampuni hamba, tapi ada orang suci di luar yang ingin bertem
Ular tujuh warna itu terdampar di daerah pinggiran. Perlahan-lahan, Weni melata naik ke atas pohon besar. Tempat yang ia huni sekarang begitu asing, seperti ia yang bangun dengan wajah berbeda. “Tempat apa ini? Mengapa jadi berbeda?” tanya ular tujuh warna itu pada desir angin yang berembus.Nasibnya kini sebatang kara tanpa kekasih tanpa orang tua. Namun, setelah menjadi siluman apa dia perlu kehadiran orang lain? Nyatanya Weni merasa kesepian di hutan yang sunyi itu. Ia hanya ditemani kodok, jangkrik, ular kecil-kecil dan binatang lainnya. Tak sampai hati pula memakan mereka yang lemah. “Lama-lama aku bisa gila tinggal di sini sendirian. Aku harus mencari tempat di mana ada orang. Aku juga butuh makan.” Perempuan dengan mata warna-warni itu baru saja ganti kulit. Tentu saja ia kelaparan. “Hei, kalian ke mana, kenapa tidak ribut lagi?” Weni berbicara dengan para penghuni di tubuhya. Tujuh ular itu sejak Weni bisa membuat banjir besar tak lagi memerintahnya harus ini dan itu. Mer
“Kang Mas.” Murti membawa Pawana menyingkir secepatnya, sebelum kena pengaruh sihir ular hitam.Binatang melata itu hanya memperhatikan kepergian dua manusia harimau yang membuatnya menelan ludah. Memang Murti dan Pawana bukanlah lawannya, tapi Damar lain lagi ceritanya. “Kenapa ada ular di bukit ini?” tanya Pawana yang dibawa Murti pergi jauh. “Namanya juga hutan, kita bisa apa?” “Kita bisa pergi dari sini, Dinda, kita bisa mencari wilayah lain.” Pawana mengikuti nalurinya sebagai harimau jantan. “Aku tidak mau, aku ingin bersama kandaku. Tolonglah, Kang Mas. Lagi pula apa yang kau cari lagi di luar sana. Di sini sudah enak, nyaman, sejuk dan tenang, tahu sendiri sejak jadi binatang darah kita panas.” “Tapi di sini aku hanya pecundang, Dinda.” Jatuh harga diri Pawana yang selama jadi manusia, dialah yang memerintah bahkan membunuh Damar dulu. “Tidak ada yang menganggapmu pecundang, Kang Mas. Sudahlah di sini saja, jangan ke mana-mana lagi, ya, ya.” Murti—perempuan yang rambutny
Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai
“Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal
Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi
Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak
Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi