Share

Pernikahan

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Murti tak paham apa maksud dari hutang darah yang dikatakan Pawana. Namun, tak butuh waktu lama baginya untuk mengerti. Ketika lelaki itu datang dan memeluk serta mengecup pipinya berkali-kali.

“Haruskah hutang darah itu dibayar sekarang?” tanya Murti yang tak bisa menampik kalau ia juga suka.

“Hutang darah bayar darah, kau paham maksuduku, kan? Hari ini kita lepas semuanya, besok aku sudah menikah dan aku akan datang kemari sering-serig sesuai janjiku.”

Tanpa pikir panjang lagi, kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu naik ke rumah Murti. Dimulai dari melepas satu demi satu selendang, perhiasan tanda Pawana adalah lelaki berkasta tinggi.

Murti menyerah di dalam rayuan indah Pawana. Prajurit itu juga sama saja, menyerah atas keindahan dan lekukan tubuh Murti.

Tidak ada yang menggangu karena jarak antara satu rumah dan yang lain sangat jauh, apalagi Murti memutuskan menyendiri karena julukan perawan tua.

Kini ia bukan perawan tua lagi dan Pawana bukan jejaka sebelum pernikahan
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Series Hutan Larangan    Karma

    Tak terasa waktu berjalan sudah tiga purnama lamanya. Ular merah itu semakin betah berada di dalam tubuh Weni. Dan ia menunggu malam bulan purnama untuk keluar dan memanggil saudarinya. Selama tiga purnama pula kisah pengkhianatan terus saja berajalan. Damar dan Weni tak peduli lagi walau maut akan datang. Weni merasa tak aman, sebab bisa saja sewaktu-watku lelaki tua itu memergokinya. Lalu ia pun mati dipenggal dan tak sempat merasakan kebahagiaan bersama pamannya. “Padahal dia sudah kuberi minum setiap hari, kenapa tak mati-mati juga,” ucap Weni ketika melihat Demang Ranu justru di pagi hari wajahnya cerah. “Weni, kau tahu temanmu yang bernama Lintang, salah satu selirku juga?” tanya sang pemilik puri. “Tahu, kenapa dengannya, Kang Mas?” “Dia akan aku hukum mati pagi ini.” Demang Ranu mengambil pedangnya yang berat. Walau jatuh, diambilnya lagi menunjukkan ia masih sok kuat. Weni yang mendengar kabar itu jadi diam di tempatnya berdiri. “Kenapa?” tanya selir itu sambil menaha

  • Series Hutan Larangan    Santet

    “Tidak, Kanda!” Murti ingin melompat ke dalam api. Pawana kaget mengetahui selirnya ada di sana. Sontak ia memeluk Murti agar tak mati terbakar. Wanita yang sedang hamil itu meronta dan berusaha sekuat tenaga. Tapi api yang terus berkobar membuat semuanya hangus jadi abu dalam sekejap mata. “Kanda, Mbok, keponakanku, keluar!” jeritnya berkali-kali. “Lepakan aku!” Murti menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya ia mendapati Pawana dalang dari semuanya. “Memang bangsat kelakuanmu, setan alas. Apa salah mereka kau bakar hidup-hidup?” “Aku hanya menjalankan perintah dari pangeran, membasmi semua yang terlibat dan termasuk istri dan anak di dalamnya.” “Bodoh, mereka tak berdosa. Kau sembah sana kaki pangeranmu sekalian!” Sambil menghapus air mata, Murti meninggalkan sesuatu yang tak akan bisa diselamatkan lagi. “Murti, Dinda, tunggu, kau mau ke mana?” Pawana mengejar kekasihnya. “Bunuh diri, aku tak punya keluarga lagi.” “Jangan, masih ada aku di sini. Aku sudah menemukan cara membaw

  • Series Hutan Larangan    Kutukan atau Pertolongan?

    Ular merah itu terus melata meninggalkan tubuh inangnya. Ia berjalan jauh demi menemui enam saudara yang menunggu di dalam hutan. Beberapa pemangsa secara alami tentu ditemukan sepanjang perjalanan. Namun, ia bukan ular yang ditakdirkan untuk mati dan menjalani hukuman seumur hidupnya. Ular itu bahkan membunuh yang memburu dengan bisanya. Sampailah dia di dalam hutan tempat di mana saudara-saudaranya menunggu. Tujuh ular itu saling menegakkan kepala dan si merah memimpin perjalanan. Awal mula mereka memang bertujuh. Namun, enam yang lain mendekati kakak tertua mereka kemudian saling membelit satu sama lain sambil berjalan. Perlahan-lahan ular itu menjadi satu warna layaknya pelangi yang indah. Ular itu berukuran amat sangat besar dengan panjang melebihi dahan pohon tua. Lidahnya bercabang menjadi tujuh dan setiap sisik yang rontok berubah menjadi batu-batu yang indah. Ke mana sang tuan pergi? Ular itu tak melihatnya, padahal Weni di dalam rumah kosong itu tadinya. Kemudian ular

  • Series Hutan Larangan    Dendam

    Pangeran telah naik takhta menjadi Gusti Prabu. Tentu saja kedudukan Pawana naik menjadi lebih tinggi. Keberhasilan telah mereka berdua raih, terutama setelah berhail menghabiskan kekuasaan Demang Ranu sampai ke akar-akarnya dan tak tersisa satu orang pun.Pawana memperoleh hadiah. Ia kini tinggal tak jauh dari istana. Puri yang besar, tanah yang luas, serta kuda-kuda terbaik, tak lupa pula orang-orang pilihan yang menjadi kepercayaannya. Termasuk pula istri yang masih berusia belum belasan tahun dan sedang bermain dengan pengasuhnya. Lelaki berkumis tebal itu hanya menghela napas saja. Ia jadi rindu Murti yang tinggal di luar rumah. Wanita itu belum memaafkannya. “Siapakan kuda juga pedati. Mau tak mau dia akan aku bawa ke rumah hari ini. Tidak ada yang bisa menghalangiku sekali pun Gusti Prabu!” perintah Pawana pada orang-orang kepercayannya. Berangkatlah mereka beberapa orang termasuk Pawana sekaligus. Terhitung sejak dua purnama sudah kejadian mengerikan ia membakar keluarga Da

  • Series Hutan Larangan    Sang Nyonya

    “Putraku, kau lahir juga akhirnya.” Pawana memegang anak lelaki yang belum lama dilahirkan oleh Murti. Sedangkan istrinya masih berbaring karena lelah. “Jemput ibundaku, katakan padanya kalau penerus keluarga ini sudah lahir.” Perintah telah turun dari pemilik puri. Kemudian berangkatlah beberapa orang dan pedati ke tempat sang ibu sembahyang. “Terima kasih, Dinda, kau memang takdir yang paling indah untukku.” Pawana memegang kepala Murti yang masih lemah. Wanita itu hanya tersenyum saja. Pawana mengatakan dirinya adalah takdir yang indah. ‘Sedangkan kau adalah takdir paling buruk yang pernah aku temui. Lihat saja, aku akan mulai mengambil satu demi satu darimu,’ gumam Murti dalam hati. Sekarang dia memang masih lelah. Tapi beberapa hari kemudian, Murti akan baik-baik saja dengan ramuan yang dukun beranak tinggalkan padanya. Sang ibu sampai dengan pakaian terbaiknya. Sudah lama wanita yang baru saja menjadi nenek itu tak berdandan rapi. Namun, demi cucu lelakinya akan ia abaikan

  • Series Hutan Larangan    Butiran Debu

    Damar tersadar setelah tubuhnya dibuang ke dalam jurang. Sakit, jauh lebih baik mati daripada menderita. Jimat yang ia gantungkan di leher bahkan tak bisa dibuka agar ia bisa mengembuskan napas terakhir. Lambat laun tubuh yang dulu gagah dan menjadi incaran Weni, tak lagi kekar. Ia mulai digerogoti cacing tanah, ulat, bahkan ada binatang buas yang mencabik dagingnya. Damar berharap tewas, tapi tidak juga. Atau ia berharap ada yang menarik jimatnya. Tapi tak ada manusia yang melintas di belantara rimba itu.“Dewa, apakah ini balasan atas pengkhianatanku pada Kinanti,” gumamnya ketika melihat seekor ular mencabik tubuhnya.Tulang Damar mulai kelihatan. Ia tak tahu sudah berapa lama terbaring di sana. Entah hari bulan atau tahun. Lelaki itu sudah memohon pada yang kuasa agar mengampuni dosanya. Juga meminta agar nyawanya dicabut. Lalu turun hujan deras, petir, berganti gemuruh, panas dan ragam cuaca telah ia lewati. Tubuhnya kerempeng bukan kurus lagi. Ia terus menangis mengingat Kin

  • Series Hutan Larangan    Melupakan Masa Lalu

    Damar menempuh perjalanan tanpa tujuan yang jelas. Setiap berjumpa dengan orang dia akan merasakan lapar luar biasa. Nurani manusianya masih ada, meski terkadang sulit untuk menghindar. Seperti siang ini ketika ia melihat dua orang lelaki menyeret paksa seorang gadis tak berdosa. Gadis itu masihlah amat sangat belia. Sedikit mengingatkannya pada seseorang. “Tapi aku lupa siapa namanya.” Lelaki berambut putih itu melupakan Weni sesuai dengan keinginannya dulu. Mata biru Damar lurus dan tajam memandang seorang gadis yang kainnya mulai dirobek. Mulutnya dibekap oleh salah satu lelaki dan dua kakinya mulai dibuka. Pada saat itulah Damar berlari menjauh, tetapi kemudian mengubah wujud menjadi harimau dan melompat serta menerkam salah satu lelaki yang hampir sedikit lagi merenggut kesucian sang gadis. Tak ayal lelaki bejad itu mati dalam keadaan leher berlubang besar. Tinggal tersisa satu lagi yang berlari sambil kencing di celana. Ia ketakutan setengah mati, tapi tetap saja mampus di

  • Series Hutan Larangan    Bukit Buas

    “Kau benar-benar tak punya tempat tujuan?” tanya Damar sekali lagi pada Samara. Gadis itu menggeleng saja. “Aku bisa mengantarmu pulang, cukup bayangkan saja tempatnya di mana?” Tawaran dari manusia harimau yang cukup menarik. “Aku tak mau pulang, Tuan. Nanti aku dijual lagi.”“Aku jamin tidak. Mungkin ini cukup buat kalian, kalau kurang akan aku tambah lagi.” Lelaki bermata biru itu menyodorkan beberapa emas putih dalam bentuk perhiasan. Siapa pun mendadak sugih kalau memilikinya. Samara sempat membelalak. Namun, ia tak ingin perhiasan. Gadis polos itu jauh lebih menginginkan sang pemilik emas. Iya, dari lubuk hati terdalam Samara telah jatuh dalam pesona sang manusia harimau. Siapa yang bisa menolak? Tidak ada. Damar terlaku rupawan. “Aku tidak mau emasnya,” ucap Samara dengan jantung berdegup kencang. Damar bisa merasakan dan mendengar. Tentu sebagai lelaki yang pernah jatuh cinta dengan hebat, ia tahu jenis perasaan apa itu. “Terserah kau saja, jangan ikuti aku lagi.” Damar

Bab terbaru

  • Series Hutan Larangan    Bunga Es

    Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai

  • Series Hutan Larangan    Harus Ke Mana?

    “Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal

  • Series Hutan Larangan    Diusir

    Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi

  • Series Hutan Larangan    Tersiksa

    Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita

  • Series Hutan Larangan    Perpisahan

    Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a

  • Series Hutan Larangan    Harapan

    Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak

  • Series Hutan Larangan    Kebun Bunga

    Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema

  • Series Hutan Larangan    Tak Sama Lagi

    Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun

  • Series Hutan Larangan    Nama Baru

    Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi

DMCA.com Protection Status