Dua siluman yang sedang menyamar jadi manusia itu memasuki sebuah restaurant bernuansa mewah. Meski tak tahu, maksdunya baru pertama kali ini mereka benar-benar berbaur dengan kehidupan manusia yang modern. Namun, keduanya tak canggung. Mereka ikut saja arahan pelayan yang mengantar duduk di meja. Candra melihat sekeliling, kebanyakan yang datang lelakinya membawakan bunga mawar merah dan cincin emas putih bertakhtakan berlian. “Apa bagusnya bunga itu, cepat busuk dan tak wangi.” “Sudahlah, biarkan saja, hidung mereka berbeda dengan kita.” Pelayan datang dan memberikan daftar menu pada Damar dan Candra. Keduanya saling melirik dan tak bisa membaca tulisan latin. “Bawakan saja hidangan dari daging,” ucap Damar sambil mengembalikan daftar menu. “Lucu sekali, kenapa harus ke sini? Kita hidup di bukit tak susah untuk cari makan.” “Sekali-sekali nikmati hidup, Wen, kau terlalu kaku dan tinggal dalam telaga saja terus.” “Ya, karena siapa?” “Ya, sudahlah, jangan dibahas lagi.” Per
Damar pulang menuju rumahnya dengan perasaan bersalah. Di dalam kediaman kosong tanpa penghuni itu, dirinya dan Weni telah menjadi pengkhianat dan berbuat dosa besar. Lelaki itu tak bisa menolak ketika salah satu selir demang dengan penuh kesadaran menyodorkan tubuh padanya. Sebagai lelaki yang telah lama tak menyentuh wanita tentu ia tergoda. Entah hukuman apa yang akan diturunkan para dewa untuknya. Sayangnya dia amat sangat pecundang. Setelah merampas keperawanan Weni, Damar puas lalu ia pun tak mampu melihat wajah gadis itu lagi. Ia pulang mencari istrinya. Wanita baik hati yang telah memberinya dua anak. “Apa yang telah aku lakukan?” gumamnya sambil mengikat rambut. Bagaimana nanti kalau Kinanti tahu dan sedih. Bagaimana pula kalau Demang Ranu tahu dan membunuhnya? “Harusnya aku berpikir lebih jernih tadi. Rayuannya benar-benar dahsyat.” Menyesal pun Damar seribu kali tak akan bisa membawanya kembali ke masa lalu sepersekian saat yang telah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur
Weni memang kecewa dengan keputusan Damar. Tapi, dia akan melakukan segala cara lagi agar lelaki itu tak menolaknya. Baginya malam tempo hari bukanlah sebuah kebodohan. “Kenapa? Padahal aku sudah secantik ini jadi orang.” Weni mengelus pipinya yang halus. Saat malam kejadian, Damar senang sekali membelai dan mengecupnya. “Kau yakin bisa menghindar dariku? Aku tidak yakin, Paman. Aku saja mengagumi wajah cantikku. Apalagi lelaki kurang kasih sayag sepertimu.” Kemudian Weni tersenyum. Mungkin sekarang Damar masih merasa berdosa karena mengkhianati istrinya. Tapi kalau sudah berkali-kali tentu dosa itu akan terasa biasa-biasa saja. Weni pun menjalani hari-harinya seperti biasa. Bersikap jual mahal dengan babu itu, tapi tetap mempercantik dirinya. Seperti siang hari sekarang, Weni dipanggil oleh demangnya untuk memasuki puri bagian dalam. Tak banyak selir yang diperbolehkan ke sana, termasuk Kemangi atau Lintang. Demang Ranu telah jatuh hati sepenuhnya pada Weni. “Lihat, sudah lama
Murti diberikan oleh Damar satu kantong penuh perak. Ia tak tahu asalnya dari mana yang jelas kandanya ingin berbagi saja.“Kenapa tidak digunakan untuk pengobatan Dayu Kinanti saja, Kanda?” “Dia tak mau lagi berobat, dia sudah menyerah, Kanda pasrah saja,” jawab Damar waktu itu.Murti bimbang harus menggunakan perak itu untuk apa. Untuk kebutuhan makan sendiri ia rajin menanam, untuk pakaian dia bukan seperti gadis lain yang suka bersolek. Hanya saja hatinya terasa hampa. Terutama sejak Pawana memberitahu bahwa ia tak lama lagi akan dinikahkan mengikuti titah pangeran. “Dulu aku pernah bilang, aku tak peduli jadi selir atau apa pun asal bisa bersamamu, ternyata rasanya sesakit ini.” Murti mengemas peraknya. Ia letakkan bersisian di sebelah perak pemberian Pawana yang masih datang untuk makan di rumahnya. Sudah diusir lelaki itu tapi tak juga tahu diri. Hati mereka telah terpaut satu sama lain. “Mintalah pelayan di rumahmu untuk memasakkannya, aku tunjukkan caranya,” kata Murti t
Murti tak paham apa maksud dari hutang darah yang dikatakan Pawana. Namun, tak butuh waktu lama baginya untuk mengerti. Ketika lelaki itu datang dan memeluk serta mengecup pipinya berkali-kali. “Haruskah hutang darah itu dibayar sekarang?” tanya Murti yang tak bisa menampik kalau ia juga suka. “Hutang darah bayar darah, kau paham maksuduku, kan? Hari ini kita lepas semuanya, besok aku sudah menikah dan aku akan datang kemari sering-serig sesuai janjiku.” Tanpa pikir panjang lagi, kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu naik ke rumah Murti. Dimulai dari melepas satu demi satu selendang, perhiasan tanda Pawana adalah lelaki berkasta tinggi. Murti menyerah di dalam rayuan indah Pawana. Prajurit itu juga sama saja, menyerah atas keindahan dan lekukan tubuh Murti. Tidak ada yang menggangu karena jarak antara satu rumah dan yang lain sangat jauh, apalagi Murti memutuskan menyendiri karena julukan perawan tua. Kini ia bukan perawan tua lagi dan Pawana bukan jejaka sebelum pernikahan
Tak terasa waktu berjalan sudah tiga purnama lamanya. Ular merah itu semakin betah berada di dalam tubuh Weni. Dan ia menunggu malam bulan purnama untuk keluar dan memanggil saudarinya. Selama tiga purnama pula kisah pengkhianatan terus saja berajalan. Damar dan Weni tak peduli lagi walau maut akan datang. Weni merasa tak aman, sebab bisa saja sewaktu-watku lelaki tua itu memergokinya. Lalu ia pun mati dipenggal dan tak sempat merasakan kebahagiaan bersama pamannya. “Padahal dia sudah kuberi minum setiap hari, kenapa tak mati-mati juga,” ucap Weni ketika melihat Demang Ranu justru di pagi hari wajahnya cerah. “Weni, kau tahu temanmu yang bernama Lintang, salah satu selirku juga?” tanya sang pemilik puri. “Tahu, kenapa dengannya, Kang Mas?” “Dia akan aku hukum mati pagi ini.” Demang Ranu mengambil pedangnya yang berat. Walau jatuh, diambilnya lagi menunjukkan ia masih sok kuat. Weni yang mendengar kabar itu jadi diam di tempatnya berdiri. “Kenapa?” tanya selir itu sambil menaha
“Tidak, Kanda!” Murti ingin melompat ke dalam api. Pawana kaget mengetahui selirnya ada di sana. Sontak ia memeluk Murti agar tak mati terbakar. Wanita yang sedang hamil itu meronta dan berusaha sekuat tenaga. Tapi api yang terus berkobar membuat semuanya hangus jadi abu dalam sekejap mata. “Kanda, Mbok, keponakanku, keluar!” jeritnya berkali-kali. “Lepakan aku!” Murti menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya ia mendapati Pawana dalang dari semuanya. “Memang bangsat kelakuanmu, setan alas. Apa salah mereka kau bakar hidup-hidup?” “Aku hanya menjalankan perintah dari pangeran, membasmi semua yang terlibat dan termasuk istri dan anak di dalamnya.” “Bodoh, mereka tak berdosa. Kau sembah sana kaki pangeranmu sekalian!” Sambil menghapus air mata, Murti meninggalkan sesuatu yang tak akan bisa diselamatkan lagi. “Murti, Dinda, tunggu, kau mau ke mana?” Pawana mengejar kekasihnya. “Bunuh diri, aku tak punya keluarga lagi.” “Jangan, masih ada aku di sini. Aku sudah menemukan cara membaw
Ular merah itu terus melata meninggalkan tubuh inangnya. Ia berjalan jauh demi menemui enam saudara yang menunggu di dalam hutan. Beberapa pemangsa secara alami tentu ditemukan sepanjang perjalanan. Namun, ia bukan ular yang ditakdirkan untuk mati dan menjalani hukuman seumur hidupnya. Ular itu bahkan membunuh yang memburu dengan bisanya. Sampailah dia di dalam hutan tempat di mana saudara-saudaranya menunggu. Tujuh ular itu saling menegakkan kepala dan si merah memimpin perjalanan. Awal mula mereka memang bertujuh. Namun, enam yang lain mendekati kakak tertua mereka kemudian saling membelit satu sama lain sambil berjalan. Perlahan-lahan ular itu menjadi satu warna layaknya pelangi yang indah. Ular itu berukuran amat sangat besar dengan panjang melebihi dahan pohon tua. Lidahnya bercabang menjadi tujuh dan setiap sisik yang rontok berubah menjadi batu-batu yang indah. Ke mana sang tuan pergi? Ular itu tak melihatnya, padahal Weni di dalam rumah kosong itu tadinya. Kemudian ular
Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai
“Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal
Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi
Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak
Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi